Langsung ke konten utama

di pojokan Miniblek



24 April 2014
Mungkin ini saatnya untuk sedikit menjadi low profile namun tetap elegan.
Hari ini, aku belajar untuk tidak menghirup aroma kopi. Lebih tepatnya karena stock kopiku di dapur memang sudah tidak ada. Aku beralih ke secangkir teh. Manis, ada rasa sepat dan sedikit getir. Backround music tidak lagi alunan music DJ yang selalu aku teriakkan dengan sagat keras di kamarku. Ada yang berbeda. Aku memilih Saras Dewi dengan Lembayung Balinya.

Hari ini, aku mendapat kegembiraan tingkat tinggi karena gajiku sebagai pengajar privat akhirnya keluar. Senang, setidaknya bisa menyambung hidup untuk beberapa minggu terakhir ini. Sebelumnya, aku bahkan mengidap insomnia akut selama dua hari berturut turut, tidur baru bisa benar-benar terlelalap di atas pukul 03.00 pagi. Bangun pun terlambat, dengan kata lain hidupku semrawut. Semrawut memilikirkan masalah finansial, tekanan kerja, tekanan sosial, dan juga tekanan yang tidak langsung aku rasakan di kampus.

Kacau. Bahkan lebih kacau dari yang pernah aku rasakan dulu. Dan aku menyadari banyak hal, ketika yang aku tampilkan di muka public hanyalah kamuflase atau bentuk lain dari sebuah “ketidakrelaan” atas upaya penutupan diriku yang sesungguhnya sangat hancur.

Hari ini, aku memilih lain.
Aku memilih hal yang lebih smooth, yang lebih sentiment untuk diriku sendiri dan yang lebih manusiawi untuk kujalani. Dua hari bertutut-turut ada teman yang menemaniku di kedai kopi kesayangan. Sahabat lawas yang hadir kembali dengan kemasan namun dengan hati dan iiwa yang masih sama, sama persis seperti 3 tahun yang lalu.

Dia. Dia yang menemukanku dengan kabar menyedihkan di pojokan Miniblek dan menyungging senyum palsu. Dia yang membuka topengku dan menelanjangiku sampai aku tahu bahwa selama ini aku tidak pernah benar-benar merasa “aman” dan “baik”.
Aku baru bisa menangis, tetapi tetap saja egois. Aku berusaha menahan tangis selama ini, padahal air mata bukanlah sebuah ide yang sagat buruk. Tidak cukup memalukan jika itu memang diperlukan. Aka lebih baik jika sesuai dengan proporsinya. Bukankah di dunia ini tidak ada yang benar-benar absolut, bahkan kebenaran sendiri tidak pernah sekalipun absolut. Lantas, kalau aku menangis, apakah itu hal yang salah? Mungkin tidak, tapi akan lebih baik jika aku tahu dimana aku harus melakukannya dan bagaimana aku seharusnya melakukannya.

Selama ini, aku cenderung bermetamorfosa menjadi manusia bertekad besi namun aku tidak pernah cukup kuat menopang diriku sendiri. Terlebih antara hati dan pikiranku. Ada perdebatan sengit di antara keduanya yang terlambat aku sadari, sampai akhirnya aku baru sadar bahwa selama ini otakku marah dan membuat hatiku menangis. Dalam banyak hal. Dan kini, otakku sudah benar-benar marah dan murka.

Aku menyadarinya baru sekarang? Kenapa? Karena manusia seringkali harus tumbang terlebih dahulu sebelum tenggelam di dasar. Untuk dapat mengamati hakikat dan esensi dari hidup yang mereka jalani sampai sejauh ini.

Kadang aku berpikir, apakah ini benar-benar jalanku? Apakah ini benar-benar orbit yang telah ditetapkan Tuhan untukku? Jangan-jangan orbitku yang sesungguhnya bukanlah disini, bukanlah di tempat atau di raga ini. Entahlah, kalaupun memang tidak demikian, aku sudah terlanjur masuk dari yang sebelumnya hanya menunggu antrian panjang di loby.

So what now? Sekarang masa itu telah mengajarkanku untuk menghargai kehidupan dan bertanggungjawab atas hidupku sendiri. Setidaknya itulah yang saat ini aku coba. Memutar kembali siklus hidupku yang normal, dan menerima segala amarah yang dilontarkan otakkua atas segala kebodohan yang dilakukan hatiku selama ini. Hatiku sekarang sedang menangis dan memohon ampun kepada otakku, aku hanya perlu mendamaikan keduanya kemudian lelap tertidur.

Besok aku akan kembali ke duniaku. Sebagai anak, sebagai teman, sebagai sahabat, sebagai pengajar privat, sebagai mahasiswa, dan sebagai orang lain.
Masalah yang ada tidak akan benar-benar selesai sampai kita semua menyambutnya dengan penerimaan tingkat tinggi, hingga tidak ada lagi investasi emosi yang membuatnya meledak. Keluarkalah selagi bisa dan lakukanlah dengan segera. Jika tidak, siap-siap otakmu akan lebih marah dan bahkan akan menggugat jiwamu untuk segera pergi karena tidak becus menjaga hati.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hari ini kita tidak ada bedanya..

Hari ini. Hari dimana sebuah kata menjelma segumpal peluk hangat dan secangkir manisnya persaudaraan. Hari ini. Hari dimana seorang aku ternyata bukan hanya sebatas aku, tetapi tentang apapun itu yang menggantung di pundakku hingga kuku tanganku kaku karena membeku. Tidak seburuk itu, karena hidup ini bukan skripsi, jadi tidak ada revisi. Tidak seperti yang kau pikir di otak bebalmu itu, karena hidup ini memang tidak semudah itu.  Hari ini, lagi kumaknai hari dimana siapapun berhak memiliki dan berjuang atas nama sesuatu. Mobil mewah, apartemen megah, suami setia atau apapun yang mereka sebut cita-cita. Tidak ada batas, tidak ada beda. Kamu, yang menjadikanku pemilih dalam hidup. Pemilih atas sesuatu yang telah aku tentukan sebelumnya, akhirnya aku memilih jalanku. Jalanku yang kau bilang berliku. Tetapi kau selalu memegang pundakku dari jauh. Jangan sampai terjatuh, karena aku bahkan tidak bisa membedakan mana jurang mana jalan.   Itulah kau, yang kusebut nyawa baru bag...

Paket Mimpi

They said "Follow your dreams!". But, if my dreams broke into thousand pieces. Which one I should follow? “Makan, yuk?” tanyaku sambil menjepit smartphone di antara bahu dan telinga kananku. Bastian Faldanu, nama pria yang tertera di layar smartphone Sonyku. “Makan dimana?” tanyanya sambil menguap. Kebiasaan. Jam segini baru bangun. Batinku terkekeh.  “Biasanya aja?” aku balik bertanya sambil membereskan file-file mengajarku dan memasukkannya ke tas ransel. Hap. Beres.  “Jangan deh. Padang, yuk?” tawarnya.  “Okay. Aku jemput ya, bentar lagi berangkat.” Ucapku sambil mengakhiri pembicaraan di telfon. Pagi itu, oh mungkin agak siangan. Pukul 10.30, aku bergegas mengendarai kendaraanku ke arah tempat kos sahabatku. Sangat cepat. Takut keburu kres dengan waktu mengajar privatku.  Tidak lama kemudian, pria itu keluar dari pagar kosnya dengan menggunakan celana pendek abu-abu dan polo shirt warna merah maroon. Dan, sebagai tambahan saja. Dia...