Langsung ke konten utama

Di Bawah Gerimis



Maaf, hanya surat kaleng lagi.

Hari ini hujan. Menggagalkan rencanaku untuk menghabiskan jumat malam di suatu tempat yang penuh bianglala dan lampu-lampu malam yang temaram. Akhirnya aku habiskan dua jam yang berarti di kedai makan pinggir jalan karena hujan telah menggerus manusia-manusia kecil seperti kami untuk segera menyingkir dan berteduh. Hujan yang tidak terlalu deras. Tetapi cukup untuk mengiris hati yang tampaknya semakin kelabu.

Maaf masih sering mengeluh. Masih sering menghitung luka di bawah banyaknya gemintang malam. Harusnya aku tahu, lukaku tidak sebanyak apa yang telah Kau berikan kepadaku. Lalu apa yang menyilaukanku selama ini? Mungkin hanya sesuatu yang tampak.

Lantas salah siapa jika selama ini aku hidup bersama orang yang memperlakukanku seperti mesin berjalan? Bekerja terus-menerus. Dilarang mengeluh. Dilarang menangis. Meskipun pada akhirnya aku mencuri barang 5 atau 10 menit untuk mengibaskan setiap penat di toilet dan membasuhnya tepat di mataku. Terkadang tertawa dalam lebamnya luka, di sisi lain harus menangis di antara kibasan slip gaji. Benarkah ini kehidupan yang dari dulu aku harapkan? Benarkah? Sepertinya bukan seperti ini.

Lantas siapa yang akan bertanggungjawab jika pada akhirnya aku mewarisi darah itu. Darah dari seseorang yang penuh ambisi dan grafik kehidupan yang dipaksa naik. Bagaimana? Sementara semakin hari langkahku semakin jauh ke arah sana. Bukankah itu semua hanya sebuah angka? Tidak lebih bahkan. 

Aku terdiam lama. Menunggu minuman yang aku pesan di kedai makan pinggir jalan itu.
Pertanyaanku hanya satu. Apakah yang sebenarnya aku cari dalam kehidupan ini? Apakah manusia dilahirkan untuk mencari? Lantas mengapa selama ini aku tidak pernah merasa puas? Kesuksesan justru membuatku merasa aku tidak bisa berbuat apa-apa. Lama-lama aku merasa diperbudak oleh pola pikirku sendiri. 

Ini sudah tidak baik. Pikirku semakin merambat ke arah yang tidak mampu aku kendalikan. Apa mungkin ini yang disebut tanda-tanda awal kegilaan? Hahahaha aku tertawa getir di bawah rintikan air hujan yang menjatuhi tenda hijau tua itu.

Tuhan aku merindukan hadir-Mu.
Itu saja.

.dhe

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Insomnia

Aku terlempar dan bepilinkan tanah. Ada kilatan cahaya yang tidak mampu ditangkap retina mataku. Terlalu silau. Aku melihatnya lagi. Aku berbicara dengannya lagi. Sosok yang kutahu bernama entah. Tetapi dia cukup menawan. Ah, bukan itu masalahnya. Dia sudah hampir tujuh hari menghancurkan siklus tidurku dan membangunkanku larut malam. Pesannya selalu sama, “Jangan menyerah dulu, aku segera datang.” Dan aku selalu mananyakan pertanyaan yang sama pula, “Apa maksudmu?” *** Hari ini aku terlambat lagi. Mengingat ada beberapa deadline yang harus terbengkalai gara-gara insomniaku belakangan ini, ah kacau semuanya. Aku menginjak pedal gas lebih dalam dari biasanya. Menyetir lebih liar dari biasanya. Dan aku berharap bapak-bapak polisi di perempatan jalan akan bersikap lebih kalem dari biasanya. Gedung pencakar langit ibukota telah terlihat, tetapi seperti biasa, bukan ibukota namanya kalau tidak macet. Tiga puluh menit setelah berjubel dengan kerasnya jalanan dan kepulan ...

Namanya Andrea

Namanya Andrea. Aku suka memandang matanya. Aku suka melihat gaya bicaranya yang lugu ketika pertama kali ia memperkenalkan diri di depan kelas. Waktu itu, aku hanyalah murid kelas 3 SD yang tidak begitu paham cara menyapa seseorang yang belum dikenal. "Apa kabar?" ataukah "Hallo selamat siang!" apa mungkin "Apakah harimu menyenangkan?". Entahlah.   Namaku Andrian. Waktu itu aku hanyalah bocah kelas 3 SD yang hanya mempedulikan layang-layang dan komik. Itu saja. Tidak ternah terbesit di benakku untuk melakukan hal yang lebih dibandingkan berlarian di tengah teriknya matahari untuk mengejar layang-layang yang putus atau berdiam diri di kamar berjam-jam hanya untuk menamatkan satu komik Inuyasha. Tapi, kali ini beda. Ada suara sesuatu yang pecah di dalam jantungku. Sesuatu yang berat tampaknya. Tidak lama kemudian aku merasa aliran darah yang melalui pembuluh nadiku mendadak sesak dan seperti ingin keluar saja. Keluar menyapa Andrea dan b...

Tudo Passa - Everything Passes

Aku ingin mengakhirinya. Sekarang juga. Sepertinya aku masih saja sama. Tidak berubah. Aku masih seperti yang dulu. Yang sempat kau patahkan lantas kau tinggalkan di tengah jalan yang gelap. Aku masih sama. Tidak ada klise kuat yang akan menjelaskan metamorfosaku. Pada akhirnya, aku juga akan terjerembab pada kenyataan pahit bahwa aku masih benar-benar serupa meski sudah satu tahun berlalu. Yah, sudah satu tahun berlalu sejak semua itu menjadi batu dan membeku. Entah siapa yang menyihirnya. Yang aku tahu, aku tidak lagi bisa mencairkannya. Sudah terlanjur membatu bersama sejuta angan dan perasaan yang lebur di dalamnya. Dan sejak saat itu, aku berhenti mencari. Everything Is Over Karena tidak selamanya yang kau cari akan segera datang di depan matamu. Terkadang, kau tidak perlu mencari. Kau hanya perlu menjaga apa yang telah Tuhan beri. Di satu sisi, kau juga harus rajin mencari, untuk melengkapi apa yang Tuhan tidak beri. Adilkah itu? Mungkin. Siapa tahu? Tuhan m...