Langsung ke konten utama

HALAMAN TETANGGA


Pagi masih terlalu dingin, kutarik kembali selimut merah maroon favoritku dan kembali kurebahkan badan ini di atas California King Bed yang sudah tiga tahun menemani tidurku. Ah indahnya minggu pagi, batinku. Ada aroma hujan yang wanginya menggegerkan otakku untuk kembali mengenang  sebuah momen masa lalu, you name it ‘Petrichor’. Masih bersama aroma petrichor, momen dimana aku masih disibukkan dengan tugas-tugas kantor dan deadline yang membuatku benar-benar ‘feeling dead’. Yah, it was me. Seorang workaholic yang pada saat itu buta akan prioritas. Apakah aku yang terlalu mencintai pekerjaanku ataukah semua itu hanya sebuah cover atas nama keegoanku semata? Atau mungkin saja target kehidupanku terlalu unrealistic, mungkin iya bagi beberapa orang. Tapi bagiku hidup harus luar biasa, harus besar dan luas serta tidak terbatas. Yah mungkin disitulah kesalahanku, aku sendiri bahkan tidak paham dengan batasan sehingga hal itulah yang kemudian menjadi boomerang dalam kehidupan karirku. Long short story, kehidupan berkarirku harus aku ikhlaskan setelah aku berumah tangga.

Aku masih melamun, tidak jadi rebahan karena pikiranku sudah travelling terlalu jauh. Kulihat waktu masih menujukkan pukul 05.49. Tidak lama kemudian terdengar suara gerimis untuk yang kesekian kalinya. Air hujan itu seakan mengetuk lembut  genteng rumahku dan berpadu dengan suara bising tetangga yang sedang memanaskan mesin mobilnya. Masih sepagi ini untuk bergaul dengan asap kendaraan. Aku tersenyum sambil beranjak dari tempat tidur. Suamiku masih asyik di ruang tengah dengan cangkir kopi yang hanya bersisa ampasnya. Minggu pagi adalah hari yang paling dinantikannya karena hanya di hari Minggu lah dia bisa bebas untuk main game atau apalah itu. Another masculine stuff.

You’re not going anywhere?” tanyaku.

“Enggak sih kayaknya. Kamu jadi belanja? Aku bisa kok temenin.” Jawabnya.

“Lihat nanti ya, Sayang. Kok males banget ya hujan-hujan gini jadi pengen nonton Netflix aja.” Tukasku sambil mengambil handuk baru di lemari baju berwarna cokelat terang seraya berjalan menuju kamar mandi. Tidak lama kemudian terdengar notifikasi chatku berbunyi.

#Message from Rani Adriana :

Babe, hang out yuuk!! Lg off day nih.

Ternyata it was Rani, my best soulmate friend ever.

#Reply to Rani Adriaana :

Siangan gpp kn? Ak tunggu di Heiss. Sendiri aja ga perlu ajk Ilham hehehe…

 

Rani bukanlah orang yang bisa kapan saja diajak hang out atau sekedar jajan Suki Grill di mall. Pekerjaannya tidak memungkinkan dia untuk mendapatkan off day sesuka hati. Bahkan Minggu atau hari besar pun kadang masih sibuk on duty dengan urusan client. She is so mobile and I love to see her today. Kapan lagi aku bisa ngobrol private sama dia. Mumpung nih, aku cengir-cengir sendiri sambil berkata kepada suamiku, “Aku boleh ya hang out sama Rani sebentar aja.”

“Monggo, with pleasure.” Jawabnya sambil mengangkat cangkir kopi dan membawanya ke dapur. Such a nice husband, doesn’t he?

*********

 

Heiss Café, 2nd Floor.

                Tempat ini adalah tempat favorit sekaligus memorable bagiku. Terlebih aku pertama kali bertemu dengan suamiku di Café ini. Selalu ada yang bisa dikenang di setiap sudut ruangannya. Aroma manis dari kue muffin cokelat yang sedang dioven berpadu dengan aroma wangi khas kopi hitam yang mengisi ruangan ini seakan bisa menghipnotis siapa saja untuk tinggal lebih lama. Ditambah dekorasi lampu gantung klasik dengan penerangan yang cukup serta alunan music Jazz yang lirih terdengar seakan menambah ambience tempat ini menjadi lebih romantis. That’s why I Love to visit this place anyway. Café ini juga tidak terlalu padat pengunjung, sepertinya memang sengaja didesign demikian supaya pengunjung benar-benar bisa menikmati quality time-nya. It’s a semi private café menurut versiku sendiri.

    Jam dinding vintage sudut ruangan menunjukkan pukul 09.45, tepat 7 menit setelah aku tiba disini Rani pun menyusul. Masih dengan tentengan tas kerja dan tablet putih usangnya yang setia menemani kemanapun ia pergi.

           “Tolong ya Buk itu tablet sudah saatnya purna tugas diminggirin dulu bisa ngga?” godaku sambil tertawa sembari memeluk erat sahabat yang kurang lebih sudah satu tahun tidak bertemu itu.

                “Eh jangan salah, berkat ini nih gue bisa menghasilkan banyak pundi-pundi rupiah hahaha.” Gelak tawa kami pecah mengisi ruangan yang tadinya cukup tenang.

              Ah, rasanya sangat menyenangkan bertemu sahabat lawas. Kebetulan Rani sedang ada project di Kotaku sehingga untuk beberapa hari ke depan sepertinya aku masih bisa bertemu dengannya kembali. Menjadi consultant keuangan sebuah perusahaan mengharuskan dia untuk bekerja dimana saja tergantung perusahaan mana yang meng-hiring-nya. It was challenging and tiring at the same time, katanya.

                “Jadi kapan lo ada rencana resign, Na?” tanyaku pada perempuan yang kerap disapa Nana itu.

                “Ngga tau ya kok kayaknya makin kesini makin banyak aja nih tuntutan dan pengeluarannya hahaha. Beneran deh habis nikah itu berasa semuanya serba cepet gak sih waooow luar biasalah pokoknya. Elo sih mendinglah rumah sudah ada, kendaraan ga perlu nyicil. Lha gue sam Ilham ya harus kerja mati-matian dulu lah.” Candanya sambil menyeruput Green Tea Latte favoritnya.

                “Gue hanya beruntung aja, Na.” Belaku dengan sangat diplomatis.

                “Ah elo mah dari dulu beruntung mulu, kapan buntungnya ya kan? Hmm jadi gimana rasanya jadi pensiunan muda haha duitnya segepok ya Buk sampai bingung mau diapain.” Ucapnya sambil terkekeh.

                “Engga juga siapa bilang resign itu enak, Na. Ya mungkin iya sih bagi sebagian orang. Tapi susahnya banget gue ngejalaninnya. Kayak ada something missing gitulo dan gue gak tau itu apa. Lo ngerti gak sih kadang kita kan dibutuhin sama orang dan merasa exist lah, while pada saat ini gue merasa ga ada apa-apanya. Kayak gak berguna aja.” Curhatku sambil menggingit ujung kue muffin dengan topping caramel.

                “Eh gila lo jangan kepikiran jadi orang gak berguna gitu juga kali, Jes. Gue kasian aja sih sama Pak Jokowi kalo sampe lo ikutan jadi sampah masyarakat hahaha. Ya memang sih lo harus belajar untuk switch itu. Ngga mudah, tapi lo harus coba untuk bisa menikmatinya. Kan sayang kalo udah setaun ini lo ga menikmati masa-masa beruntung itu. Ingat ya ga semua orang seberuntung elo. Dan gak semua suami semulia dan sebudiman suami elo. Kenapa gue bilang gini? Karena diluaran sana banyak Jes yang sebetulnya lakiknya mampu untuk menafkahi bininya secara full I mean bini gak perlu susah-susah banting tulang juga tapi lakiknya gak mau melakukannya. Atau ada juga yang pengen banget menafkahi bininya secara utuh tanpa harus membiarkannya bekerja diluar rumah tapi ada daya kehidupan meraka tidak semerlang itu bisa melakukannya. Yah contohnya kayak gue sama Ilham gini. Dan sekali lagi keep in your mind bahwa elu sangat beruntung suami lo mampu dan mau.” Rani menutup ceramahnya yang sangat menyentuh itu dengan memasukkan satu potongan besar kue mochi berwarna pink ke dalam mulutnya.

                “Iya juga sih. Gue kurang bersyukur kali ya. Lagian dengan resign kan gue  bisa lebih fokus ke promil gue. Ngga kepikiran aja sih gue.”

              “Nah lhoo itu pinter tuh.” Celetuknya sambil mengacungkan kedua jempol kanan dan kirinya.

           “Jes, kalo lo mandangnya hanya dari kacamata lo aja pasti hidup ini gak pernah ada enak-enaknya karena gue tau lo orangnya sangat gila tantangan. Gue berani taruhan kalo sekarang elo disuruh ngisi posisi mentereng di perusahaan lama lo pasti lo bakal ngambil ya kan? Tapi, coba deh sekali aja renungkan. Renungkan dan tolong lepas kacamata kehidupan lo yang dulu. Sekarang udah beda, Jes. Elo ga bisa pakai kacamata yang sama lagi. Ngga bakalan pernah nemulah. Yang elo lihat adalah rekan-rekan lo yang sekarang udah sukses atau temen lo bahkan tetangga lo yang sekarang sudah jadi pembicara di seminar nasional yang bergengsi. No no no. Ngga bisa.” Nada suaranya berubah lembut.

                “Dan ga semua orang juga Jes mau dan bisa survive kayak gue. Lo tau ngga bulan lalu nyokap dirawat di Rumah Sakit aja gue ga bisa ada disana. Yuk Sum yang nemenin, pembantu gue. Bayangin gimana rasanya hati lo pasti ancur banget lah pokoknya. Gue aja pengen kayak lo beneran. Bisa fokus dengan aktivitas apapun di rumah tanpa harus dikejar dan diburu client, tanpa harus ada panggilan bisnis yang tidak mengenal waktu. It was so suck actually. Maybe I choose resign too Jes, tapi ngga sekarang karena gue butuh nabung untuk mempersiapkan semuanya. It’s all about time aja, pasti ada saatnya gue kembali ke rumah dan meninggalkan semua ini. 

                “Lo beneran pengen resign?” tanyaku serius.

                “Pengenlah gila, pengen banget. Gue juga pengen punya anak  kali Jes dan pengen merawat mereka sendiri. I think semua wanita memimpikannya. Masak elo ngga?” Pertanyaan yang ringan namun cukup berhasil membangunkan diriku yang “tertidur” pulas.

             Kadang manusia memang terlalu banyak berencana, banyak wacana, banyak sekali acara, tanpa mereka sadari bahwa sebetulnya sudah ada jalan yang harus dilalui tanpa perlu repot-repot lagi mencari. Manusia hanya kurang peka saja dan sedikit sekali rasa syukurnya. Yang kita pikir baik, belum tentu benar-benar baik. Yang menurut kita hijau belum tentu benar-benar hijau. Bisa saja rumput di halaman tetangga lebih hijau, tetapi kita tidak pernah menyadari bahwa rumput di halaman kita lebih subur.

 

 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hai Januari

Hai, Januari. Bulan suciku. Bulan dimana aku 22 tahun yang lalu hanya seonggok daging yang bisa jadi dihidupkan. Atau bisa jadi kehidupan itu dibatalkan. Januari berbekas seperti sisi luka yang tidak pernah mereka tahu. Mereka hanya melihat, tidak menatap tajam. Mereka hanya lewat, tidak merapat. Bulan yang penuh hujan air mata. Ah, andai aku bisa membendungnya. Sedikit saja agar mata ini tidak membengkak kemudian mengumbar tanya. Ada apa dengan matamu? Kemudian aku buru-buru membungkusnya dengan kerutan senyum yang aku buat sendiri. Sembari mengucapkan aku tidak apa-apa versiku sendiri. Hai, Januari. Kau ingat lilin yang meleleh di pelataran tart mewah itu? Kau ingat bungkusan indah yang terbalut pita biru muda yang anggun? Aku masih mengingatnya, tetapi seingatku aku telah lama membuangnya. Bagiku semua itu sudah tidak ada pengaruhnya pada hati yang mulai meradang ini. Radangnya sudah bercabang, hingga membentuk kubangan luka yang ku sebut...

It's Just for Nothing

KARENA SEMUA INI PERCUMA. Percuma. Percuma setiap hari aku berharap kau membaca semua tulisanku. Percuma setiap saat aku berharap kau akan sadar bahwa aku ada untukmu. Percuma setip waktu aku berharap kau akan datang kepadaku. Benar-benar payah. Lebih baik aku lepaskan saja sosokmu itu. Yang dahulu merogoh masuk ke dalam jiwaku dan menembus menguliti dinding hatiku yang kelam. Sudah tidak berarti saat ini. Sudah tidak berpengaruh lagi. Hari ini aku putuskan untuk tidak lagi menjadi manusia menyedihkan bernama diriku. Bukankah seharusnya cinta itu diperjuangkan berdua, bukan sendiri? Aku terbahak dalam imajiku sendiri. Mengumpat pasrah tentang paradox rasa yang hingga saat ini masih susah aku cerna. Aku tersedak dalam stigma-stigma yang bahkan aku sendiri tidak paham tentangnya. Aku tersudut di ujung pikiranku yang tumpul. Aku tersisih di penghujung hatiku yang kian membeku.  Aku terbawa arus hingga ke seberang dan aku tidak mampu berenang, pun menyelam. Sem...

Pesan Singkat

12 November 2014 Tuhan, aku malu. Aku malu memandang wajah teduh yang menyilangkan senyum pasi itu. Aku malu melihat senyum yang sebaiknya tidak pernah kulihat itu. Aku terlampau malu hingga aku hanya bisa memandang jari kakiku sendiri. Tuhan, bolehkah aku melihatnya sekali lagi? Sebelum aku mengurung semua uap-uap memoar ini dalam bingkai kenangan? Hari ini aku berpikir kau tidak akan datang. Satu, dua, tiga, dan aku terus menghitung hingga detik ke sekian ribu. Aku masih saja belum mencium aroma tubuhmu. Aku kembali menghitung, dan pada hitungan kesekian aku teringat kembali serentetan kejadian yang seharusnya tidak pernah terjadi. Yang seharusnya tidak pernah berubah menjadi kenangan yang hanya akan usang dan berdebu seperti aroma rumah tua yang ditinggalkan penghuninya.  Aku kembali duduk santai di tempat duduk dimana aku mengerjakan tugas akhirku. Ada hasrat menghubungimu, tetapi untuk keperluan apa? Aku bahkan bukan partnermu. Aku hanyalah wanita dengan bol...