Agustusku, mana Agustusku?
Lenyap seperti kertas yang dibakar dan tidak sempat mengucapkan selamat tinggal
pada pensil kayu. Hallo kamu? Oh aku lupa. Sudah lama tidak ada kata ganti
milik di kamus kehidupanku. Beku. Seperti badai yang tersiku sampai di hulu. Lalu
hanya tersisa uap-uap kertas yang aroma apinya masih mampu kucium dengan benar.
Sejauh aku tidak menderita gagal penciuman kronis. Kertas yang dulu menggali
banyak air mata dan pelukan hangat. Sekarang berubah menjadi sepi yang
menjadikan bulu kuduk manusia normal berdiri. Mungkin, selama ini aku kurang
normal. Atau konsep normalku jauh lebih tinggi dibandingkan manusia sejawatku? Entahlah.
Karena hingga pusaran detik ini, aku belum mencium aroma senja. Sejak kertas
itu kubakar dan melukai mataku.
Agustusku, sedikit
bercampur dengan bau keringat kakek penjual mainan dan juga bunga sedap malam
di teras belakang. Menimbulkan kombinasi sensoris kelas tinggi. Ada rasa yang
ingin kugali dan kusematkan pada penghujung hari yang hening itu. Agar tidak
sampai kudengar elegi menyedihkan dari tetangga sebelah. Atau tangisan bayi di
kala malam menjemput senja di kaki langit selatan. Andai aku bisa, sedikit saja
mengambilnya. Tapi, aku terlalu menyedihkan untuk bisa berjalan sampai di tepinya.
Nyawaku hilang sebelah seperti burung kehilangan satu sayapnya. Meski getir itu
kadang masih bisa aku hapus dengan sedikit siraman tawa yang renyah dan juga
secangkir kopi yang meneduhkan. Tapi, semua itu belum cukup. Untuk menebus
kembali Agustusku yang kian sumbang.
(Sumber : www.google.com)
Tuhan, apa doaku
selama ini terikut arus hingga ke pulau seberang? Hingga Kau tak mampu memahami
isyarat wanita sepertiku? Hingga Kau tak mampu memahami bahasa kewanitaanku
yang kian redup? Tuhan, menjadi wanita sepertiku apakah begitu menjijikkannya?
Hingga kunang-kunang saja enggan berteman denganku. Atau aku yang terlalu tuli
dalam mendengar pesan dari semesta? Mungkinkah seperti itu? Ataukah ada
gambaran kemungkinan lain yang lebih realitis?
Tuhan, aku suka sendiri.
Aku memaknai hidup dengan berdiri tanpa tongkat dari malaikat manapun. Aku menghargai
hidup dengan menjadikan diriku wanita yang lebih menghargai manusia lain. Tapi,
di lain perjumpaanku dengan kehidupan, ada batasan yang tidak mungkin aku
sebrangi. Karena aku hanyalah manusia. Aku hanyalah wanita. Wanita yang
tersesat di perlintasan bulan Juli dan Agustus. Wanita yang hanya sekali saja
mengepakkan sayapnya lalu jatuh hingga ke dimensi yang tak dikenal. Sebut saja
dimensi kosong. Wanita yang sangat
mencintai hidupnya dan segalanya tentang ke-wanita-annya. Wanita yang rela
berlari demi mencapai satu level lebih tinggi.
Tapi, bukan
sepenuhnya salah semesta. Bukan sepenuhnya salah mereka, dan bukan sepenuhnya
salahku sebagai wanita. Benarkah? Masih ada kertas lain yang akan aku tulisi
dengan tinta dari-Mu Tuhan. Dan aku tidak akan pernah membakarnya lagi. Dan Agustusku.
Akan kumeriahkan dengan pesta bersama kunang-kunang.
Komentar
Posting Komentar