Langsung ke konten utama

Andai Kau Perempuan



Andai kau perempuan. Aku tidak perlu repot-repot menerjemahkan pesakitanku pada halusnya secarik kertas itu. Aku tidak perlu mereka ulang kembali alur kejadian yang akan mengentarkanmu ke gerbang dimana aku dulu pernah menjadi pemeran utama, sebelum akhirnya aku diseret dengan kejam oleh manusia-manusia dari jenismu. 

Andai kau perempuan. Aku tidak perlu repot-repot memasangkan kembali payet pada kebaya lusuh ini hanya untuk meyakinkanmu bahwa aku benar-benar pernah memakainya. Aku tidak perlu mengukir kembali retakan luka yang sempat kubawa berlari hingga kesini sembari mengendus aroma darahku sendiri.

Andai kau perempuan. Aku tidak perlu memperagakan bahasa keperempuanku kepadamu. Aku tidak perlu menyungnggingkan senyum pasi untuk mendeskripsikan kepayahanku pada alur agung yang Tuhan berikan. Tetapi, sayangnya kau hanya sebentuk manusia yang kutahu bernama laki-laki. Dan aku menaruh luka yang sangat dalam pada manusia-manusia yang sejenis denganmu. Entahlah sejak kapan aku tidak begitu ingat tepatnya. 

Waktu itu, aku hanyalah gadis biasa yang mulai menginjak dewasa. Secara penampilan, aku mewarisi kecantikan leluhurku hingga membentuk sesosok keindahan yang mereka bilang sempurna. Meski aku sendiri tidak pernah menikmati kesempurnaanku. Ada bekas luka yang memanas dan membuatku meringis kesakitan ketika aku melihat wajahku di cermin. Bukan karena parasku yang cantik telah sirna. Bukan. Bahkan tidak ada yang berubah setelah kejadian itu. Aku hanya sedikit benci melihat wajahku sendiri. Wajah yang lebih baik tidak pernah ada. Wajah sempurna yang justru menjadi penyebab dari segala malapetaka.

Andai kau perempuan. Aku tidak perlu menyeka air mataku dengan pasir. Aku hanya perlu memandangmu dengan tatapan sesama perempuan yang pernah menjadi “istimewa” karena suatu alasan. Yang pernah menjadi Sang Dewi sebelum akhirnya diludahi dan dicoret dari peradabanmu sendiri. Sayangnya kau laki-laki. Aku harus menyembunyikan setitik air hangat yang akan turun ke lesung pipiku yang halus agar aku tetap terlihat tegar di hadapanmu.

Sayangnya, kau hanya seorang laki-laki. Dan aku tidak bisa menghardik alur agung Tuhan karena telah mengirimkanmu kepadaku. Disini. Di tempat ini. Di bahari ini. Diiringi suara debur ombak dan hangatnya sinar matahari yang menyemburkan warna jingga di kaki cakrawala. 

Sayangnya, kau hanya manusia yang secara penampilan memiliki persamaan dengan laki-laki yang pernah menorehkan getir di dalam dadaku. 

Kau sama sekali tidak pernah berbicara kepadaku. Dan aku selalu duduk sejauh dua meter di sebelahmu. Kau tidak pernah melihatku, menatapku ataupun memalingkan sekali saja wajahmu kepada wajahku. Bukankah kau sangat penasaran dengan paras ayuku? Bukankah kau juga akan berniat menorehkan luka yang sama dengan makhluk sejawatmu? Atau justru kau ingin menorehkan luka yang lebih lebar dibandingkan mereka. Sehingga kau seolah membuatku semakin penasaran dengan tindakanmu. Aku mulai curiga padamu.

Kau selalu duduk menghadap pantai yang teduh itu. Dan aku selalu memandang hamparan langit yang luas. Dua objek yang berbeda. Ketika bercerita, aku lebih sering menengadah. Menyaksikan lukisan Ilahi yang sangat sempurna dan tanpa cacat. Dan tentu saja, tidak ada yang mampu menorah luka disana. Tidak ada yang berani membuatnya keruh hingga tak berwarna. Mungkin saja karena jaraknya yang terlampau jauh, jutaan tahun cahaya. Jika saja ada yang mampu menggapai langit itu, pasti hari ini aku tidak dapat menikmati indahnya warna jingga yang menebarkan kehangatan. Tidak ada lagi mega berarak merah yang aku temui di waktu senja. 
(Sumber : www.google.com)
Kau tidak pernah sekalipun menanyakan namaku. Dan aku juga tidak berniat menanyakan hal serupa kepadamu. Hanya langit dan pantai di kala senja yang menjadi saksi tentang pertemuan rahasia itu. Tentang kau yang tidak pernah sekalipun menatapku. Dan aku yang terjebak dalam seribu satu macam rasa penasara yang membanjiri otakku. Serta jejak kaki yang terhapus oleh desiran ombak yang halus. Itu saja.

Andai kau perempuan. Kau akan langsung tahu kalau namaku adalah Senja. Hanya dengan menatapku sekali saja. 

Pertemuan itu sudah berlangsung kesekian kalinya. Kau yang semakin tahu kebencianku terhadap manusia yang berbeda jenis denganku. Dan aku yang tidak pernah sekalipun tahu namamu atau tempat tinggalmu. Aku yang selalu duduk sejauh dua meter di sebelahmu, karena aku takut dengan bahasa laki-laki macam manapun, tidak terkecuali kau. Tetapi, kau sekalipun tidak pernah berkalimat. Kau hanya bergumam dan seringkali mengangguk sebagai tanda bahwa kau mengerti. Hanya itu.

Kau tidak pernah menampakan seluruh wajahmu karena kau adalah orang pertama yang selalu duduk di pasir itu dan aku selalu menjadi yang nomor dua setelahmu sehingga  aku tidak pernah sekalipun melihat wajahmu seutuhnya. Yang aku tahu, kau memiliki proporsi wajah yang nyaris sempurna. Hidungmu memiliki tingkat kemiringan yang tepat. Alismu yang selalu mengangkat ketika kau mendengar argumenku yang sangat cadas, cenderung kadang terlalu kasar dan frontal. Mungkin kau tipe laki-laki yang menyukai perempuan yang anggun, lemah lembut, dan sopan ketika berbicara. Tetapi aku sama sekali tidak berniat menjadi diriku yang dulu. 

Dan kali itu adalah senja terakhir aku bertemu denganmu.

Seperti biasa kau duduk di atas pasir yang halus. Aku mengambil jarak yang pas disebelahmu. Kali ini lebih dekat. Mungkin hanya terpaut satu meter jauhnya. 

Aku kembali bercerita. Tentang apapun. Tentang segala hal yang selama ini menggantung di dalam jiwaku. Terkadang aku melemparkan pertanyaan retoris yang tidak perlu dijawab. Sekali waktu aku melihat alismu terangkat ke atas. Dan sebentar lagi aku mendapatimu tersenyum. Walau hanya terlihat dari samping. Aku bisa melihat kombinasi yang sempurna di dalam senyum itu. 

Aku mengungkapkan sesuatu yang belum pernah aku ungkapkan sebelumnya kepadamu.
Tentang segala kecurigaanku kepadamu. Tentang segala ketakutan yang menghinggapi diriku ketika aku berbicara dengan laki-laki. Tentang segala pertahanan yang aku bangun ketika aku berdekatan dengan laki-laki. Saat itu, aku berniat meruntuhkan segala bentuk pertahanan diriku dan mempersilahkan dirimu untuk masuk ke dalamnya. Mungkin aku sudah terlampau lelah hidup seperti ini. 

Tetapi, semua tampaknya terlambat.

Kau, untuk pertama kalinya sejak pertemuan rahasia itu kau berani memalingkan wajah. Menatapku lekat-lekat. Dan berkata, “Aku tidak pernah melihat sesuatu dari penampakan. Aku tidak pernah menilai sesuatu dari bentuk nyata. Mengapa kau masih percaya kepada Tuhan jika kau tahu bahwa Tuhan tidak berwujud?”
Aku tersentak kaget. Seketika bulu kudukku berdiri dan aliran darahku mengalir lebih cepat, jantungku berdegub dengan irama yang sama sekali tidak teratur.

Dan selama ini, aku terlalu bodoh untuk menyadari. Kau kemudian berdiri, mengambil tongkat yang selalau kau sembunyikan di gundukan pasir itu, tepat di sisi kirimu. Dan aku tahu alasanmu mengapa selama ini tidak pernah sekalipun menatapku. Karena aku tidak melihat sinar yang mengenai retina di mata coklatmu. Kemudian kau berlalu dengan bantuan tongkat itu. Dan tidak pernah kembali. 


Dhe

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hai Januari

Hai, Januari. Bulan suciku. Bulan dimana aku 22 tahun yang lalu hanya seonggok daging yang bisa jadi dihidupkan. Atau bisa jadi kehidupan itu dibatalkan. Januari berbekas seperti sisi luka yang tidak pernah mereka tahu. Mereka hanya melihat, tidak menatap tajam. Mereka hanya lewat, tidak merapat. Bulan yang penuh hujan air mata. Ah, andai aku bisa membendungnya. Sedikit saja agar mata ini tidak membengkak kemudian mengumbar tanya. Ada apa dengan matamu? Kemudian aku buru-buru membungkusnya dengan kerutan senyum yang aku buat sendiri. Sembari mengucapkan aku tidak apa-apa versiku sendiri. Hai, Januari. Kau ingat lilin yang meleleh di pelataran tart mewah itu? Kau ingat bungkusan indah yang terbalut pita biru muda yang anggun? Aku masih mengingatnya, tetapi seingatku aku telah lama membuangnya. Bagiku semua itu sudah tidak ada pengaruhnya pada hati yang mulai meradang ini. Radangnya sudah bercabang, hingga membentuk kubangan luka yang ku sebut...

It's Just for Nothing

KARENA SEMUA INI PERCUMA. Percuma. Percuma setiap hari aku berharap kau membaca semua tulisanku. Percuma setiap saat aku berharap kau akan sadar bahwa aku ada untukmu. Percuma setip waktu aku berharap kau akan datang kepadaku. Benar-benar payah. Lebih baik aku lepaskan saja sosokmu itu. Yang dahulu merogoh masuk ke dalam jiwaku dan menembus menguliti dinding hatiku yang kelam. Sudah tidak berarti saat ini. Sudah tidak berpengaruh lagi. Hari ini aku putuskan untuk tidak lagi menjadi manusia menyedihkan bernama diriku. Bukankah seharusnya cinta itu diperjuangkan berdua, bukan sendiri? Aku terbahak dalam imajiku sendiri. Mengumpat pasrah tentang paradox rasa yang hingga saat ini masih susah aku cerna. Aku tersedak dalam stigma-stigma yang bahkan aku sendiri tidak paham tentangnya. Aku tersudut di ujung pikiranku yang tumpul. Aku tersisih di penghujung hatiku yang kian membeku.  Aku terbawa arus hingga ke seberang dan aku tidak mampu berenang, pun menyelam. Sem...

Pesan Singkat

12 November 2014 Tuhan, aku malu. Aku malu memandang wajah teduh yang menyilangkan senyum pasi itu. Aku malu melihat senyum yang sebaiknya tidak pernah kulihat itu. Aku terlampau malu hingga aku hanya bisa memandang jari kakiku sendiri. Tuhan, bolehkah aku melihatnya sekali lagi? Sebelum aku mengurung semua uap-uap memoar ini dalam bingkai kenangan? Hari ini aku berpikir kau tidak akan datang. Satu, dua, tiga, dan aku terus menghitung hingga detik ke sekian ribu. Aku masih saja belum mencium aroma tubuhmu. Aku kembali menghitung, dan pada hitungan kesekian aku teringat kembali serentetan kejadian yang seharusnya tidak pernah terjadi. Yang seharusnya tidak pernah berubah menjadi kenangan yang hanya akan usang dan berdebu seperti aroma rumah tua yang ditinggalkan penghuninya.  Aku kembali duduk santai di tempat duduk dimana aku mengerjakan tugas akhirku. Ada hasrat menghubungimu, tetapi untuk keperluan apa? Aku bahkan bukan partnermu. Aku hanyalah wanita dengan bol...