Langsung ke konten utama

Block Note



Kau masih ingat aroma Paris yang menggegerkan otakmu? Kau masih ingat ide tentang berteriak di Monte Carlo? Kau masih ingat tentang konsep ciuman pertama di Venice? Aku lupa, entah sejak kapan aku melupakannya. Tentang senja di ujung kota itu, tentang Kota Air yang selalu mengusik keceriaanmu. Tentang semua itu. Terkubur hening di bawah tanah merah. Kemana? Kemana kompasku yang dulu? Sudah tidak ada kompas dan peta. Karena aku menandainya dengan hati. 






 (Sumber : www.google.com)

Aku ingin kembali. Ke kota itu. Ke kota yang selama 5 tahun ini menjadikan alasanku untuk berlari. Jika semua itu hilang, aku hanyalah boneka. Boneka menyedihkan. Oiya aku ingat, ada seseorang yang datang sekitar 6 bulan yang lalu dan menentang konsep tentang semua itu. Peta itu disobeknya dan tinggallah air mataku yang meluruh. Semua itu membuatku sedikit kehilangan arah. Dan kini, aku menemukan kembali block note itu, dengan tulisan tangan seperti ini :
“Impianku tidak banyak dan tidak muluk-muluk. Aku hanya ingin merasakan kebahagiaan level tinggi dengan berbagi. Menikmati secangkir kopi dan menulis apapun sesukaku. Berjalan-jalan ke pantai dengan mobil pribadiku dan terbebas dari kemacetan lalu lintas. Aku akan tertawa sepuasnya dengan sahabat lawas yang tumbuh mendewasa. Aku akan menciptakan imajinasi di ruang hampa dimensi dan bernyanyi keras di caffee kesayanganku. Aku juga akan ke Venice, sstt janga bilang-bilang Ayah dan Bunda ya. Tertanda Dhe.”

Venice, maaf harus membuatmu menunggu lebih lama. Dan saat itu juga ada tetesan air hangat yang menjatuhi pipiku.
Paris, aku harus membuat check pembebasan yang baru. Maaf, jiwa ini terlalu lama lumpuh dan mengalami orientation dissorder.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aku ingin pulang......

Pulang. Aku ingin pulang dan menghambur pelukan yang hangat pada siapapun yang kusebut “dia”. Aku ingin pulang dan meletakkan semua kesedihan pada karung kumal untuk kusembunyikan di gudang penyimpanan. Biar tikus dan kecoa menghancurkannya perlahan. Perlahan hingga tanpa sisa, tanpa bekas sedikitpun. Aku lupa arah yang membawaku ke jalan dimana aku kecil adalah Putri Kecil. Aku mungkin akan pulang membawa luka yang lebih parah dari sebelumnya. Tapi aku tidak akan terlihat begitu menyedihkan. Hanya saja aku akan datang dengan kemasan yang berbeda. Menyembunyikan sedikit memar yang tampak. Menyuguhkan senyum manja. Seperti yang sudah-sudah, aku akan mengangkat tinggi-tinggi kepalaku dan tidak akan menunduk lagi.    Pulang. Sudah lama aku tidak merasakan kehangatan roti buatan bunda atau cerita pendek ayah sepulang kerja. Sudah lama hingga aku sadar selama ini aku hanya ditemani nyamuk-nyamuk yang putus harapan. Atau kotak-kotak indah yang dalamnya ternyata hanyalah s...

Now...

Karena hidup adalah sekarang. Bukan kemarin, bukan besok. Dan aku butuh waktu lama untuk menyadarinya. Secuil aku secara tidak sadar mulai hidup kembali dengan kemasan yang baru. Dengan raga yang baru. Dengan ketangguhan yang setiap hari kuamini di setiap doa atas nama orang-orang terkasih. Seperti itulah proses kehidupan, dari sebuah titik hingga menjadi kalimat. Dari sebuah aku sampai menjadi kita. Seperti itulah cara Tuhan menjaga keseimbangan semesta raya dengan rumus empirisnya.  Hidup akan mengikis siapapun yang memilih diam. Yang memilih   menggali lubangnya sendiri. Karena untuk mendaki ketangguhan dibutuhkan sedikit rasa berani. Hanya sedikit, agar manusia tidak menjadi begitu sombong. Hanya sedikit, karena Tuhan menciptakan semuanya sudah pada proporsinya. Tidak kurang. Tidak lebih. Maka, seperti itulah bahagia. Tidak pernah lebih, tidak pernah kurang. Lalu tentang hati, ada password yang harus mereka pecahkan untuk menjajahi hatiku, juga hatimu. Jangan ...

Rindu

Ada rindu yang hanya tanggal secarik tulisan usang. Yang menatapku lekat-lekat di kamar 4x4 dengan harap yang tak lagi hidup. Sudah lama mati. Rindu itu menjelma malam yang dingin yang pasrah dijajah pagi, menjelma awan hitam yang kelihatannya kuat tetapi ketika disentuh hanyalah gantungan asap yang rapuh. Rindu itu semrawut, tidak tertata dengan indah seperti buku cokelat yang kuhadiahkan sebagai kado ulangtahun pada seseorang.  Rindu itu kacau. Semakin kau tahan, semakin manja dan tak tahu diri. Mungkin, di antara aku dan kamu, ada pesan yang belum tersampai. Ada naskah yang belum sempat diketik ulang, ada banyak proposal yang belum sempat ditantangani, dan ada ribuan kata yang belum sempat dideklarasikan. Lalu, jika pagi datang dengan senyumnya, aku mengingat segala ucapan semangat dan selamat pagi yang dulu sering membanjiri kotak masuk phonecellku hingga penuh sesak. Tapi seiring dewasanya pagi, semuanya sepi. Hening. Alam seakan tidak mau berisik karena tak...