Langsung ke konten utama

busur dengan anak panah yang sama

Bukankah sudah aku tangguhkan segel itu? Lalu apa lagi yang tersisa? Sementara adilkah jika aku harus mempertimbangkan anak panah yang aku gunakan untuk menyegelmu dan menyimpannya di tempat yang paling menyedihkan di dunia? Bukankah seharusnya tidak seperti itu?
How could you be so brave to take her but i have to give a little excuse to drag him with me. What a pathetic !

Kopi hitam pun akan kehilangan flavornya jika dibiarkan berlama-lama. Sama, aku juga. Lalu harus aku panaskan denga apa agar ia menjadi hangat kembali? 
Adilkah ini? Mungkin hanya akan menjadi kepingan yang tak kan pernah menemukan utuh yang sesungguhnya. Lalu jika aku menangguhkan hatiku sekali lagi apa jadinya? Apakah akan terulang kembali dengan plot dan alur yang serupa? Menyedihkan.
Apa ini namanya? Aku merasakan detak yang bergetar tidak semestinya ketika aku melihat pesan itu? Ketika aku memanggilkan dengan panggilan Miroku tetapi dalam hati sesungguhnya pedih, tak ingin mengakhirrinya dengan cerita yang sama. Apakah ada yang bisa menjamin kepercayaan ini bisa utuh kembali setelah aku menemukan busur panah yang pas untuk anak panahku yang selama ini aku tusukkan ke hatiku sendiri?
Tuhan jangan biarkan wanita yang kuat ini menjadi lemah dan tidak memiliki otoritas akan kemerdekaan hati yang selama ini tersegel. 

Kau, Miroku. Aku tidak paham dengan perasaan macam apa ini yang secara tidak sopan mengetuk-ketuk hatiku dan menampilkan potretmu tanpa alasan yang pasti. Miroku, mungkin kau berpikir aku hanyalah Miko yang telah mati dan tidak memiliki jiwa. Meski setiap hari aku harus menangguhkan jiwaku dengan bantuan soul collector, tetapi kau benar-benar membuat batas yang jelas antara kemungkinan dan khayalan. Entahlah dengan apa aku harus menghancurkan garis itu hingga terlihat jelas warna yang ditampilkan Tuhan untuk jalan yang kutempuh. 

Apakah ini hanya keegoisan yang mengakar pada kekosongan dua hati yang terlampau lelah untuk berpura-pura? 

Apakah aura yang muncul ini harus aku padamkan atau harus aku kembalikan. Tetapi, aku tidak ingin menjadi korban dari keegoanku sendiri. Lagi. Kikyo, selamanya mungkin akan menjadi asap tanpa bentuk yang hadir di sisimu. Miroku-sama, maafkan aku atas kelancangan hatiku.

Kapankah aku mulai merasakannya? Aku lupa, hanya saja aku merasa ada frekuensi yang beda ketika merasakanmu. Entah anak panah yang aku tancapkan ke hatiku ini bisakah kau lepaskan. Aku hanya melihat cahaya dari busurmu. Itu saja.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hari ini kita tidak ada bedanya..

Hari ini. Hari dimana sebuah kata menjelma segumpal peluk hangat dan secangkir manisnya persaudaraan. Hari ini. Hari dimana seorang aku ternyata bukan hanya sebatas aku, tetapi tentang apapun itu yang menggantung di pundakku hingga kuku tanganku kaku karena membeku. Tidak seburuk itu, karena hidup ini bukan skripsi, jadi tidak ada revisi. Tidak seperti yang kau pikir di otak bebalmu itu, karena hidup ini memang tidak semudah itu.  Hari ini, lagi kumaknai hari dimana siapapun berhak memiliki dan berjuang atas nama sesuatu. Mobil mewah, apartemen megah, suami setia atau apapun yang mereka sebut cita-cita. Tidak ada batas, tidak ada beda. Kamu, yang menjadikanku pemilih dalam hidup. Pemilih atas sesuatu yang telah aku tentukan sebelumnya, akhirnya aku memilih jalanku. Jalanku yang kau bilang berliku. Tetapi kau selalu memegang pundakku dari jauh. Jangan sampai terjatuh, karena aku bahkan tidak bisa membedakan mana jurang mana jalan.   Itulah kau, yang kusebut nyawa baru bag...

Paket Mimpi

They said "Follow your dreams!". But, if my dreams broke into thousand pieces. Which one I should follow? “Makan, yuk?” tanyaku sambil menjepit smartphone di antara bahu dan telinga kananku. Bastian Faldanu, nama pria yang tertera di layar smartphone Sonyku. “Makan dimana?” tanyanya sambil menguap. Kebiasaan. Jam segini baru bangun. Batinku terkekeh.  “Biasanya aja?” aku balik bertanya sambil membereskan file-file mengajarku dan memasukkannya ke tas ransel. Hap. Beres.  “Jangan deh. Padang, yuk?” tawarnya.  “Okay. Aku jemput ya, bentar lagi berangkat.” Ucapku sambil mengakhiri pembicaraan di telfon. Pagi itu, oh mungkin agak siangan. Pukul 10.30, aku bergegas mengendarai kendaraanku ke arah tempat kos sahabatku. Sangat cepat. Takut keburu kres dengan waktu mengajar privatku.  Tidak lama kemudian, pria itu keluar dari pagar kosnya dengan menggunakan celana pendek abu-abu dan polo shirt warna merah maroon. Dan, sebagai tambahan saja. Dia...