Langsung ke konten utama

Gadisku


Sunset, Juni 2014
 
“Tahapku hanya sampai melalui, tidak perlu repot-repot menilai. Tidak perlu mengambil hati dan menjadikanya berarti. Aku hanya perlu menarik keberanian lebih banyak lagi dari sebelumnya. Tidak apa, kalah atau menang bukan masalah. Hanya pejuang sejati yang tidak menyerah di tengah  permainan. Pernahkah kau meninggalkan arena permainan walaupun kau tahu kau akan menang? Pernahkah pula kau melanjutkan permainan di saat kau tahu bahkan kau akan kalah pada akhirnya?”

Jika kau tahu, ada senja yang menunggumu di kaki langit terakhir. Di perbatas dunia maya dan juga ilusi yang terlihat nyata. Kau akan tahu bahwa selama ini jalan yag kau tempuh ternyata sangat berliku. Sangat terjal penuh jurang yang menyesatkan dan tak terlihat. Kau bahkan melampauinya dengan berlari kencang seolah tanpa beban. Meski selalu ada hujan yang menyuguhkan sedikit sensasi dingin dan rasa sakit. Tentang kenangan, tentang coklat panas, tentang lirik lagu ini

When you try your best, but you don't succeed
When you get what you want, but not what you need
When you feel so tired, but you can't sleep
Stuck in reverse

And the tears come streaming down your face
When you lose something you can't replace
When you love someone, but it goes to waste
Could it be worse?

Lights will guide you home
And ignite your bones
And I will try to fix you

And high up above or down below
When you're too in love to let it go
But if you never try you'll never know
Just what you're worth

Tears stream down your face
When you lose something you cannot replace
Tears stream down your face
And I...


Kau tahu pada akhirnya kau akan menemukan jalan yang pantas untuk kau lalui. Untuk saat ini kau hanya perlu melihat langit dan membiarkan gemintang menunjukkan arah yang tepat untukmu. Kalaupun tersesat wajar, selama kau masih tersesat di dunia dimana kompas masih bisa berfungsi dengan baik. Tetapi berhentilah mencari arah, biarlah hatimu yang memandu. Biarlah kakimu merasakan pecahan gelas itu dan mengeluarkan sedikit darah yang harum dari tubuhmu. Tidak ada salahnya. Nikmatilah aroma malam dengan cangkir coklat dan petikan gitar dari nada-nada yang penuh semangat. Jangan pernah berpikir untuk berhenti. Karena pemberhentian masih jauh di depan sana. Terlampau jauh untuk kau lihat saat ini.

Maka setiap malam hanya ada kau, bintang dan juga sisa perjuangan yang kau kumpulkan di kotak rahasiamu. Terkadang menyenangkan, walau seringkali menyakitkan. Tidak apa, kita hanyalah manusia kecil yang mencoba menajalani hidup dengan teka-teki asimetris. Kita hanyalah liliput kecil yang belajar terbang menggunakan daun yang lapuk. Karena setiap detik sangat berarti untuk kita lewatkan dalam kesedihan yang mengundang lebih banyak kenangan. Biarlah yang usang menjadi cerita tentang kau, aku dan mereka yang terpaksa harus berganti dimensi. Bukankah di dunia ini tidak ada yang kekal abadi? Jadi, jangan pernah menahan apapun yang akan pergi dan memohon siapapun untuk tinggal lebih lama. 

Kau, tetaplah menjadi gadis manis dengan tegarmu dan tawamu yang seolah tidak pernah takut untuk bertahan. Bersabarlah sedikit lagi sayang, setidaknya jangan menyerah di lampu merah. Seperempat millah yang akan kau taklukan.

“Aku merindukan aroma persahabatan yang mekar di musim bunga, dengan sedikit warna kehidupan yang kau peroleh dari pengelana. Aku merindukan kaca jendela yang basah oleh titik hujan di bulan desember, dengan inisial nama yang kau sematkan di dalam setiap doa. Aku merindukan berbaring di padang rumput kala musim semi menyapa. Dengan aroma wine yang menggoda, dan juga salam perjumpaan yang hangat. Aku merindukan menulis di bawah pohon bersama kau yang akan menjadi teman jiwaku. Kau, yang akan tertawa bersamaku di akhir hari. Kau yang akan merayakan setiap kemenangan bersamaku di tempat minum kesayangan. Semoga rindu yang memerah gincu ini tidak menjelma menjadi merah darah.”

Dhe.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hai Januari

Hai, Januari. Bulan suciku. Bulan dimana aku 22 tahun yang lalu hanya seonggok daging yang bisa jadi dihidupkan. Atau bisa jadi kehidupan itu dibatalkan. Januari berbekas seperti sisi luka yang tidak pernah mereka tahu. Mereka hanya melihat, tidak menatap tajam. Mereka hanya lewat, tidak merapat. Bulan yang penuh hujan air mata. Ah, andai aku bisa membendungnya. Sedikit saja agar mata ini tidak membengkak kemudian mengumbar tanya. Ada apa dengan matamu? Kemudian aku buru-buru membungkusnya dengan kerutan senyum yang aku buat sendiri. Sembari mengucapkan aku tidak apa-apa versiku sendiri. Hai, Januari. Kau ingat lilin yang meleleh di pelataran tart mewah itu? Kau ingat bungkusan indah yang terbalut pita biru muda yang anggun? Aku masih mengingatnya, tetapi seingatku aku telah lama membuangnya. Bagiku semua itu sudah tidak ada pengaruhnya pada hati yang mulai meradang ini. Radangnya sudah bercabang, hingga membentuk kubangan luka yang ku sebut...

It's Just for Nothing

KARENA SEMUA INI PERCUMA. Percuma. Percuma setiap hari aku berharap kau membaca semua tulisanku. Percuma setiap saat aku berharap kau akan sadar bahwa aku ada untukmu. Percuma setip waktu aku berharap kau akan datang kepadaku. Benar-benar payah. Lebih baik aku lepaskan saja sosokmu itu. Yang dahulu merogoh masuk ke dalam jiwaku dan menembus menguliti dinding hatiku yang kelam. Sudah tidak berarti saat ini. Sudah tidak berpengaruh lagi. Hari ini aku putuskan untuk tidak lagi menjadi manusia menyedihkan bernama diriku. Bukankah seharusnya cinta itu diperjuangkan berdua, bukan sendiri? Aku terbahak dalam imajiku sendiri. Mengumpat pasrah tentang paradox rasa yang hingga saat ini masih susah aku cerna. Aku tersedak dalam stigma-stigma yang bahkan aku sendiri tidak paham tentangnya. Aku tersudut di ujung pikiranku yang tumpul. Aku tersisih di penghujung hatiku yang kian membeku.  Aku terbawa arus hingga ke seberang dan aku tidak mampu berenang, pun menyelam. Sem...

Pesan Singkat

12 November 2014 Tuhan, aku malu. Aku malu memandang wajah teduh yang menyilangkan senyum pasi itu. Aku malu melihat senyum yang sebaiknya tidak pernah kulihat itu. Aku terlampau malu hingga aku hanya bisa memandang jari kakiku sendiri. Tuhan, bolehkah aku melihatnya sekali lagi? Sebelum aku mengurung semua uap-uap memoar ini dalam bingkai kenangan? Hari ini aku berpikir kau tidak akan datang. Satu, dua, tiga, dan aku terus menghitung hingga detik ke sekian ribu. Aku masih saja belum mencium aroma tubuhmu. Aku kembali menghitung, dan pada hitungan kesekian aku teringat kembali serentetan kejadian yang seharusnya tidak pernah terjadi. Yang seharusnya tidak pernah berubah menjadi kenangan yang hanya akan usang dan berdebu seperti aroma rumah tua yang ditinggalkan penghuninya.  Aku kembali duduk santai di tempat duduk dimana aku mengerjakan tugas akhirku. Ada hasrat menghubungimu, tetapi untuk keperluan apa? Aku bahkan bukan partnermu. Aku hanyalah wanita dengan bol...