Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Juli, 2014

Isyarat

Malam ini, gundah memuncak di sudut sanubariku yang paling ujung. Aku kembali teringat tentang wajahmu. Tentang konsep mengakhiri dan menjadikannya kenangan. Bahkan, kita tidak pernah memulai sebuah awal, bagaimana bisa mengambil kosa kata “mengakhiri”. Aku kembali ke detik beberapa hari yang lalu, ketika tatapanmu dan tatapanku bertemu di sebuah kedai kopi dan sebuah Espresso beserta Americano menjadi saksi dua umat manusia yang berbincang tentang kehidupan yang tidak pernah sekalipun benar-benar hidup. Mungkin saat itu, kenyataan tidak sepahit Espressomu atau tidak sedingin Americanoku. Tetapi, aku telah lebih awal mengakhiri segala letupan-letupan perasaan yang menjadikanku semakin hanyut dan tenggelam dalam medan magnet yang kau buat. Mungkin, medan magnet itu bukan untukku. Aku hanya tersesat dan baru menyadarinya di akhir hari. Dingin tidak membuat langkah kakiku berhenti. Menyusuri jalan di sekitar tempat tinggalku dan menghirup sedikit udara segar untuk menyuplai ulang...

Atas Nama Kalian

Kata mereka, bahagia adalah sebuah pilihan. Bagiku, bahagia adalah kutukan. Bagaimana mungkin mereka bisa berkata, "Semua akan indah pada waktunya.". Bagaimana jika sesungguhnya keindahan itu telah ditampilkan saat ini, tetapi manusia tidak pernah sadar. Tidak cukup ahli untuk melihat. Tidak cukup peka untuk mendengar. Lalu, mengapa harus menunggu "nanti" untuk sekedar berbahagia? Apakah bahagia semahal itu. Apakah bahagia sesuci itu hingga manusia harus bermandikan dengan perjuangan yang kadang terkesan konyol hanya untuk merasakan satu kosa kata yang absurb itu. Aku dulu orang yang sangat apatis dengan kehidupan komplit dengan berbagai aksesorisnya yang penuh siasat dan juga mantra klasik yang tak jarang penuh tipu. Aku dulu orang yang akan mengerutkan kening dan menatap penuh curiga ketika topik berbincangan yang terhidang di meja makan adalah tentang kebahagiaan. Bagiku kebahagiaan adalah sebuah wujud yang terkesan indah dan megah namun isinya kosong. Sa...

Random

Seperti inilah akhirnya? Baiklah aku mengerti. Mungkin aku saja yang terlalu berlebihan. Mungkin aku saja yang merasakannya. Kamu. Pergilah jika kamu ingin pergi. Tidak akan ada kata "jangan" untuk mencegah, tidak ada kata "bukan seperti itu" untuk menjelaskan, tidak akan ada kata "bertahanlah sedikit lagi" untuk memohon. Karena aku hanya memperjuangkan hal yang sia-sia, yang bahkan anak TK pun akan menertawakanku. Kebodohan yang konyol. Karena aku benar-benar tidak tahu bagaimaa cara memulai yang baik. Aku pustuskan untuk menarik pedangku terlebih dahulu. Tetapi, bisa apa jika sekarang pedangku justru telah patah? Begitu ya ceritanya? Baiklah, aku mengerti. Bosan aku dengan segala kata yang tidak pernah terdengar, yang bahkan tidak pernah kau hiraukan. Dalam hal ini aku seperti gadis bodoh yang sangat tolol, memalukan. Sekarang pun pergi sudah tidak ada artinya. Tidak ada pengaruhnya sama sekali. Hahahahaha. Tolol. Menyedihkan.

penjemput pagi

Malam, hai apa kabar kamu? Senjamu menyenangkankah? Seperti yang aku katakan di belahan bumi yang lain bahwa malam akan menggantikan senja bahkan dengan ritme cahaya yang lebih indah. Malam, terimakasih telah meminjamkan sebagian mendungmu untuk kujadikan pelindung di kala aku tak mampu terlelap. Kopi lagi. Tetapi dengan aroma dan asap rokok yang berbeda. Oiya dengan kawan yang berbeda pula. Malam, jangan biarkan pagi membangunkanku lebih awal. Karena aku yakin aku sedang tidak terpejam. Mimpi? Oh tidak, bahkan lebih indah dari itu. Ilusi? Bisa jadi. Malam, aku menyimpan rasa ingin lelap dalam bincang hangat bersama manusia yang baru. Perkenalkan. Dia pagi, yang akan menghapus kegetiran malam dan menyulam mimpi buruk menjadi kenangan yang sedikit lebih manusiawi untuk dikenang. Dikenang? Oh Tuhan bahkan ini terlalu dini untuk bisa disebut sebagai kenangan. Malam, aku menunggu pagi bersama fajar yang bahkan tidak kukenal. Maafkan kebodohanku. Tetapi, sepertinya aku menikmati kebodoh...