Langsung ke konten utama

Isyarat



Malam ini, gundah memuncak di sudut sanubariku yang paling ujung. Aku kembali teringat tentang wajahmu. Tentang konsep mengakhiri dan menjadikannya kenangan. Bahkan, kita tidak pernah memulai sebuah awal, bagaimana bisa mengambil kosa kata “mengakhiri”. Aku kembali ke detik beberapa hari yang lalu, ketika tatapanmu dan tatapanku bertemu di sebuah kedai kopi dan sebuah Espresso beserta Americano menjadi saksi dua umat manusia yang berbincang tentang kehidupan yang tidak pernah sekalipun benar-benar hidup. Mungkin saat itu, kenyataan tidak sepahit Espressomu atau tidak sedingin Americanoku. Tetapi, aku telah lebih awal mengakhiri segala letupan-letupan perasaan yang menjadikanku semakin hanyut dan tenggelam dalam medan magnet yang kau buat. Mungkin, medan magnet itu bukan untukku. Aku hanya tersesat dan baru menyadarinya di akhir hari.

Dingin tidak membuat langkah kakiku berhenti. Menyusuri jalan di sekitar tempat tinggalku dan menghirup sedikit udara segar untuk menyuplai ulang cadangan oksigen di jantungku. Hatiku yang bimbang kubawa berpergian, berharap bisa kubuang di trotoar agar setiap malam suara teriakan itu tidak lagi menghantui mimpiku. Karena hingga saat ini, aku tidak paham dengan rasa yang tertancap menawan di hatiku. Apakah itu duri? Apakah itu sedikit sensasi rasa bahagia ketika aku akhirnya menemukan orang yang bisa mendengarkanku. Ya, mendengarkanku. Dan menyelami seluruh muara pesakitan yang berujung pada sebuah moment tidak menyenangkan. Tetapi, aku masih tidak yakin. Kau, mungkin terlalu baik untuk itu. Dan juga, aku melupakan istilah “sahabat”. Aku terlalu ceria saat itu hingga menyimpulkannya sebagai  “sedikit rasa”.

Lalu, aku mendapati semua itu ternyata hanya bayang-bayang yang bahkan tidak memiliki jejak. Aku hanya bisa merajuk dan berlari menghambur ke dalam dunia 4x4 meter itu. Menangis sejadinya, dan berkata semua itu karena kebodohanku sendiri. Aku tahu, kau pasti tidak akan mengatakan demikian jika kau tahu apa yang aku lakukan. Kau mungkin akan berkata tentang konsep kehidupan sosial dimana seseorang tidak bisa hidup tanpa bantuan seseorang yang lain. Kau mungkin akan menambahkan sedikit tentang teori relasi dalam berbisnis atau semacamnya. Tetapi ini adalah relasi hati yang bahkan tidak dapat kau prediksi seberapa tinggi margin perasaanmu saat ini dan dengan alasan apa investasi emosimu tiba-tiba melonjak tajam di hari berikutnya.  Kau tidak akan pernah menemukan formulasi untuk memecahkannya. Karena rahasia itu belum pernah terungkap sebelumnya.

Kau mungkin saat ini sedang tidak memikirkanku, dan aku cukup tahu diri untuk menyadarinya. Aku hanya ingin menghubungimu dan berkata aku baik-baik saja dan akan selalu seperti itu. Tetapi, kau bahkan tidak pernah menanyakan kabarku sekalipun. Aku hanya sebuah anai-anai yang berterbangan di halaman perasaanmu yang sangat luas. Aku tidak pernah berhasil menemukan pintu yang menghubungkan antara pikirmu juga pikirku. Koneksi itu tidak pernah sekuat yang aku kira, mungkin selama ini aku hanya bermain dengan imajinasiku dengan aktivasi yang sangat tinggi. Aku lapa, bahwa aku hanyalah makhluk imajiner yang tidak penah tertangkap oleh retina di mata coklatmu itu.

(Sumber : www.google.com)
Jika aku menyelesaikannya malam ini juga, apakah besok atau lusa bisa kujamin aku akan baik-baik saja ketika bertemu denganmu? Di keramaian yang membuatku pusing, di lobi sebuah instansi pendidikan tingkat tinggi, atau bahkan di lampu merah. Tidak apa. Sesudah ini aku akan memiliki banyak amunisi untuk menyuarakan “Hai” atau “Hallo” ketika sosokmu harus kuhadapi di perlintasan realita yang harus kuhadapi. 

Mungkin aku hanya akan mengingat suara dan juga menghafal senyummu sampai saat ini saja. Sampai pagi beringsut menjemput malam. Sampai embun gugur digulung cahaya hangat mentari. Segenap perasaanku akan mengantar kepergianmu sampai di teras hatiku, dan sesudah itu akan aku tutup rapat-rapat hati itu. Akan aku buang kunci itu di samudra terdalam di belahan bumi yang lain. 

Aku hanya akan menyanyikan lagu-lagu yang pernah kukirim atas nama persahabatan kepadamu jika aku benar-benar merindukanmu. Meski rindu itu tidak paham aksara. Ia hanya paham isyarat, karena itu ia tidak bisa disalahkan. Tidak. Aku tidak akan menyalahkan siapa-siapa. Karena sudah seharusnya seperti ini. Aku sadari sebagai penerimaan tingkat tinggi dari sebuah proses kehidupan. Ketika kau mendapati hatimu terkadang merasa kegirangan atas suatu hal. Atas suatu sosok manusia yang secara elegan masuk ke dalam hidupmu. Kau harus memerangi sendiri perasaanmu sebelum kau menjatuhkan vonis bahwa kau menyukainya. Seperti itulah aturannya. Meskipun tidak ada yang terlambat atau terlalu cepat tentang gambaran perasaan, tetapi ada baiknya kau mulai berhati-hati. Agar kepingan hati yang kau emban tidak lagi runtuh dan meluruh.

Mungkin juga, pesanku ini tidak pernah sampai. Tetapi aku yakin, kau bukan makhluk bodoh yang tidak paham isyarat. Hanya isyarat. Aku tidak akan memintamu untuk melakukan apapun. Hanya memahami isyaratku. Itu saja. Jika kau berkenan.

 Aku tahu pagi akan semakin dingin ketika cerita tentangmu dan juga segala ke-kamu-an itu harus aku sobek dan kubakar di kamarku. Maka biarlah sampai di penghujung malam ini aku menikmati moment itu dan hanya akan aku nikmati untuk diriku sendiri. Mungkin saat ini kau telah terlelap. Meskipun aku ingin berada di lelapmu dan membangunkanmu sembari berkata “Aku ada”. Tetapi, aku tidak akan semudah itu dan sekuat itu. Pada kenyatannya, saat ini aku mengurung diri di langit yang kuciptakan sendiri dan menengadah pada angan-angan yang kempis. Air mataku, sudah aku simpan di kotak yang seharusnya. 

Kau mungkin tidak akan pernah tahu bahwa lagu yang aku kirimkan kepadamu hari ini adalah lagu terakhir yang akan menghiasi file diterimamu. Jika kau paham tentang makna dari semua itu, sesungguhnya hatiku kacau. Sangat. Tetapi, aku sudah sampai di gerbang yang mengatakan aku harus melepaskanmu. Sesungguhnya aku ingin kabur dan menjauhi gerbang itu sejauh yang kubisa. Tetapi, aku tidak tahan selamanya berjuang di jalan yang ternyata hanya ilusi. Aku tidak akan pernah bertamu dan mulai mengetuk pintu ketika aku mendapati tidak ada sosok di dalam rumah itu. Hanya akan membuang semakin banyak detik yang Tuhan titipkan padaku. 

Bisakah kau paham sekarang? Tentang segala isyarat, lagu dan juga seluruh cerita itu. Mungkin saat kau menyadarinya, aku telah jauh melangkah dan takkan pernah kembali.


Dhe

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hai Januari

Hai, Januari. Bulan suciku. Bulan dimana aku 22 tahun yang lalu hanya seonggok daging yang bisa jadi dihidupkan. Atau bisa jadi kehidupan itu dibatalkan. Januari berbekas seperti sisi luka yang tidak pernah mereka tahu. Mereka hanya melihat, tidak menatap tajam. Mereka hanya lewat, tidak merapat. Bulan yang penuh hujan air mata. Ah, andai aku bisa membendungnya. Sedikit saja agar mata ini tidak membengkak kemudian mengumbar tanya. Ada apa dengan matamu? Kemudian aku buru-buru membungkusnya dengan kerutan senyum yang aku buat sendiri. Sembari mengucapkan aku tidak apa-apa versiku sendiri. Hai, Januari. Kau ingat lilin yang meleleh di pelataran tart mewah itu? Kau ingat bungkusan indah yang terbalut pita biru muda yang anggun? Aku masih mengingatnya, tetapi seingatku aku telah lama membuangnya. Bagiku semua itu sudah tidak ada pengaruhnya pada hati yang mulai meradang ini. Radangnya sudah bercabang, hingga membentuk kubangan luka yang ku sebut...

It's Just for Nothing

KARENA SEMUA INI PERCUMA. Percuma. Percuma setiap hari aku berharap kau membaca semua tulisanku. Percuma setiap saat aku berharap kau akan sadar bahwa aku ada untukmu. Percuma setip waktu aku berharap kau akan datang kepadaku. Benar-benar payah. Lebih baik aku lepaskan saja sosokmu itu. Yang dahulu merogoh masuk ke dalam jiwaku dan menembus menguliti dinding hatiku yang kelam. Sudah tidak berarti saat ini. Sudah tidak berpengaruh lagi. Hari ini aku putuskan untuk tidak lagi menjadi manusia menyedihkan bernama diriku. Bukankah seharusnya cinta itu diperjuangkan berdua, bukan sendiri? Aku terbahak dalam imajiku sendiri. Mengumpat pasrah tentang paradox rasa yang hingga saat ini masih susah aku cerna. Aku tersedak dalam stigma-stigma yang bahkan aku sendiri tidak paham tentangnya. Aku tersudut di ujung pikiranku yang tumpul. Aku tersisih di penghujung hatiku yang kian membeku.  Aku terbawa arus hingga ke seberang dan aku tidak mampu berenang, pun menyelam. Sem...

Pesan Singkat

12 November 2014 Tuhan, aku malu. Aku malu memandang wajah teduh yang menyilangkan senyum pasi itu. Aku malu melihat senyum yang sebaiknya tidak pernah kulihat itu. Aku terlampau malu hingga aku hanya bisa memandang jari kakiku sendiri. Tuhan, bolehkah aku melihatnya sekali lagi? Sebelum aku mengurung semua uap-uap memoar ini dalam bingkai kenangan? Hari ini aku berpikir kau tidak akan datang. Satu, dua, tiga, dan aku terus menghitung hingga detik ke sekian ribu. Aku masih saja belum mencium aroma tubuhmu. Aku kembali menghitung, dan pada hitungan kesekian aku teringat kembali serentetan kejadian yang seharusnya tidak pernah terjadi. Yang seharusnya tidak pernah berubah menjadi kenangan yang hanya akan usang dan berdebu seperti aroma rumah tua yang ditinggalkan penghuninya.  Aku kembali duduk santai di tempat duduk dimana aku mengerjakan tugas akhirku. Ada hasrat menghubungimu, tetapi untuk keperluan apa? Aku bahkan bukan partnermu. Aku hanyalah wanita dengan bol...