Langsung ke konten utama

Atas Nama Kalian


Kata mereka, bahagia adalah sebuah pilihan. Bagiku, bahagia adalah kutukan. Bagaimana mungkin mereka bisa berkata, "Semua akan indah pada waktunya.". Bagaimana jika sesungguhnya keindahan itu telah ditampilkan saat ini, tetapi manusia tidak pernah sadar. Tidak cukup ahli untuk melihat. Tidak cukup peka untuk mendengar. Lalu, mengapa harus menunggu "nanti" untuk sekedar berbahagia? Apakah bahagia semahal itu. Apakah bahagia sesuci itu hingga manusia harus bermandikan dengan perjuangan yang kadang terkesan konyol hanya untuk merasakan satu kosa kata yang absurb itu.

Aku dulu orang yang sangat apatis dengan kehidupan komplit dengan berbagai aksesorisnya yang penuh siasat dan juga mantra klasik yang tak jarang penuh tipu. Aku dulu orang yang akan mengerutkan kening dan menatap penuh curiga ketika topik berbincangan yang terhidang di meja makan adalah tentang kebahagiaan. Bagiku kebahagiaan adalah sebuah wujud yang terkesan indah dan megah namun isinya kosong. Sama seperti kulit kacang yang kehilangan biji kacangnya. Tetapi, setelah sekian lama aku berdamai dengan arus kehidupan yang membawaku pada fase sekarag ini, aku paham satu hal. Aku tidak bisa selamnya meronta pada takdir dan mengirimkan surat-surat complain kepada malaikatku. Aku harus bergegas menghabiskan kopiku dan memulai perjalanan. 

Bahagia adalah hari ini. Bahagia bukan kata benda, melainkan jelmaan keterangan waktu yang seringkali disalah artikan oleh manusia. Mereka beranggapan bahwa pada dasarnya bahagia itu ada waktunya sendiri, lantas selama itu apakah manusia akan menangis? Meratap mungkin? Atau sedikit merana. Tidak seperti itu kawan. Bahagia itu adalah manusia. Dan manusia diciptakan dengan penuh kebahagiaan. Adanya kosa kata duka hanyalah sebagai penyeimbang. Seperti itu, karena hidup ini sesungguhnya sangatlah mudah. Jika kalian paham dengan aturan mainnya. Aku menyadari. Selama ini, aku sering bermain tanpa memperhatikan aturan main. Aku seringkali menyalahkan wasit dan juga meneriaki penonton yang tidak pernah mendukungku. Pada dasarnya, semua itu bukan salah mereka. Bukan salah dia ataupun dia yang lain. Bagaimana mungkin aku tidak paham dengan hal sesimple itu? Terkadang aku berpikir, manusia sepertiku akan bertahan berapa lama di dunia ini? Akan memperjuangkan berapa point kehidupan agar bisa disebut sebagai manusia yang manusiawi? Bahkan sampai sejauh ini, ada kalanya aku ingin berhenti. Menghentikan semuanya. Tetapi, aku dilahirkan bukan untuk diriku sendiri. Terlalu egois jika aku hanya melulu mengambil konsen tentang diriku. Maka, setiap orang yang datang kepadaku selalu kujadikan nafas kedua. Setidaknya, ketika aku sekarat, mereka akan menyuplai sedikit oksigen untukku. Tetapi ide itu kadang terlalu buruk untukku. Aku tidak bisa bertahan dengan cara yang menyedihkan seperti itu. Aku tidak bisa mempercayakan sebagian atau seluruh hidupku pada orang lain. Bahkan pada orang terdekatku. Karena aku sadar, mereka berhak mendapatkan kebahagiaan yang pantas. Bukan kebahagiaan yanga aku serap atau aku habiskan sendiri karena aku hadir dengan tubuh penuh luka. Entah sejak kapan aku mulai peduli dengan kalian yang ada di sekitarku. Sejak waktu dunia bagian entahlah, aku ingin melindungi kalian, lebih dari aku melindungi diriku sendiri. Bahkan setiap kebahagiaan yang aku ciptakan, sebenarnya semua itu hanyalah media agar kalian dapat tertawa karenaku. Jika suatu ketika aku tidak bisa membuat pola tawa yang serupa, setidaknya aku tidak akan membebani kalian dengan duka yang mengutukku. 

Kau, kau, dan kau. Yang entah sejak kapan, selalu menjadi list utama dalam kehidupanku. Aku hanya ingin mengajarkan kalian cara hidup yang sewajarnya. Aku hanya ingin melihat sunggingan senyum dari diri kalian yang bisa kalian ciptakan sendiri nantinya. Sekarang saatnya aku yang menggantikan posisi itu, pada suatu masa, kalian yang akan berada di sini dan menciptakan lebih banyak senyuman dan memberikan lebih banyak kasih.
















(Sumber : www.google.com)
 
Maka, yang membuat kalian kehilangan arah mata angin tak akan kubiarkan lagi. Yang membuat kalian meratap dan menghardik kehidupan yang kejam tak akan aku diamkan lagi. Jika kalian harus menjadi pejuang sepertiku, maka jangan pernah berpikir untuk menjadikan aku pendahulumu. Aku adalah pejuang dengan orbit yang salah, hingga aku akhirnya tersesat di lintasan milik orang lain. Pada suatu ketika, aku akan mengembalikan lintasan itu pada tempatnya, karena aku tahu semakin hari semakin tidak seimbang gravitasi yang aku rasakan.  Aku tahu itu, aku paham dengan semua isyarat semesta yang disampaikan untukku. Karena itu, aku tidak ingin kalian memandang kehidupan sama sepertiku. Jangan pernah memiliki harapan yang pupus untuk sebuah nama atau objek yang pantas untuk kalian raih. 

Aku teringat ketika salah satu dari kalian menemaniku tidur di kamar kesayanganku. Waktu menunjukkan pukul 01.00 lewat. Dengan kondisi kamar yang gelap dan hanya ditemani bintang-bintang fosfor, kau mulai mengorek masa laluku. Dari awal aku mulai merasakan istilah hidup, senang, tidak senang, mengharap, cemas, sakit, ingin menangis, hingga menjadi kebal. Dan kau berkata, “Kalau Ayahku tahu tentang kau, mungkin kita tidak akan diijinkan berteman denganmu. Tapi, aku suka menjalin pertemanan denganmu. Aku belajar melihat keindahan dari ketidaksempurnaan, dan memaknai bahwa tidak selamanya yang kotor itu adalah sampah.” Kau mengatakannya dengan sangat jujur dan polos, aku bahkan masih mengingat keheningan yang muncul setelah kata-kata itu kau ucapkan. Aku sedikit meneteskan air mata karena terharu. Untuk pertama kalinya aku mendengar deklarasi semacam itu. Kau begitu jujur ketika kau mengungkapkan bahwa kehidupan yang didambakan keluargamu untukmu adalah kehidupan yang normal dan baik-baik saja. Sama seperti yang aku terima dari keluargaku. Mereka mengharapkan kehidupanku yang baik-baik dan sewajarnya. Tetapi, hidup tidak setenang itu sayang. Ada kalanya kita harus menjadi penjahat untuk bertahan. Karena jika kita tidak bertahan, maka siapa yang akan melindungi orang-orang di belakang kita. Ada kalanya kita juga harus menjadi manusia penuh nurani agar mata hati kita tidak buta. Inilah medan yang sesungguhnya dimana kau harus memilih dan menentukan sendiri. Karena ketika kau menunggu orang lain untuk menyelamatkanmu, kau justru akan kehilangan waktu dan menyia-nyiakan kesempatan yang datang.

Aku hanya ingin menunjukkan bahwa jika kau tidak berhati-hati menggunakan senjatamu, maka ia justru akan melukaimu. Hingga kau tidak mau menggunakannya lagi. Sejauh ini, aku mengenal istilah itu. Trauma. Ada kalanya manusia seperti diriku juga memiliki sisi lemah. Yang menjadikanku tampak seperti badai hanyalah kepandaianku dalam bersandiwara. Tentang rasa dan tentang akibat dari rasa yang ada. Aku benci jika dihadapkan pada kenyataan bahwa perasaan yang telah aku kumpulkan tiba-tiba harus aku buang begitu saja karena sebab yang tragis. Tetapi, itulah cara Tuhan menjalankan alur kehidupannya di nadiku. Jadi kenalilah isyarat alam sebisa kalian. Pahamilah makna setiap detak jantung yang diberikan Tuhan secara percuma kepada kalian. Jangan pernah lengah, jangan pernah menulis surat complain kepada malaikat seperti yang pernah aku lakukan.

“Kami adalah peradaban yang akan mengukir dunia dengan tangan-tangan ketangguhan. Kami adalah masa depan dengan masa lalu penuh perjuangan.”

Regards,
Yours


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hai Januari

Hai, Januari. Bulan suciku. Bulan dimana aku 22 tahun yang lalu hanya seonggok daging yang bisa jadi dihidupkan. Atau bisa jadi kehidupan itu dibatalkan. Januari berbekas seperti sisi luka yang tidak pernah mereka tahu. Mereka hanya melihat, tidak menatap tajam. Mereka hanya lewat, tidak merapat. Bulan yang penuh hujan air mata. Ah, andai aku bisa membendungnya. Sedikit saja agar mata ini tidak membengkak kemudian mengumbar tanya. Ada apa dengan matamu? Kemudian aku buru-buru membungkusnya dengan kerutan senyum yang aku buat sendiri. Sembari mengucapkan aku tidak apa-apa versiku sendiri. Hai, Januari. Kau ingat lilin yang meleleh di pelataran tart mewah itu? Kau ingat bungkusan indah yang terbalut pita biru muda yang anggun? Aku masih mengingatnya, tetapi seingatku aku telah lama membuangnya. Bagiku semua itu sudah tidak ada pengaruhnya pada hati yang mulai meradang ini. Radangnya sudah bercabang, hingga membentuk kubangan luka yang ku sebut...

It's Just for Nothing

KARENA SEMUA INI PERCUMA. Percuma. Percuma setiap hari aku berharap kau membaca semua tulisanku. Percuma setiap saat aku berharap kau akan sadar bahwa aku ada untukmu. Percuma setip waktu aku berharap kau akan datang kepadaku. Benar-benar payah. Lebih baik aku lepaskan saja sosokmu itu. Yang dahulu merogoh masuk ke dalam jiwaku dan menembus menguliti dinding hatiku yang kelam. Sudah tidak berarti saat ini. Sudah tidak berpengaruh lagi. Hari ini aku putuskan untuk tidak lagi menjadi manusia menyedihkan bernama diriku. Bukankah seharusnya cinta itu diperjuangkan berdua, bukan sendiri? Aku terbahak dalam imajiku sendiri. Mengumpat pasrah tentang paradox rasa yang hingga saat ini masih susah aku cerna. Aku tersedak dalam stigma-stigma yang bahkan aku sendiri tidak paham tentangnya. Aku tersudut di ujung pikiranku yang tumpul. Aku tersisih di penghujung hatiku yang kian membeku.  Aku terbawa arus hingga ke seberang dan aku tidak mampu berenang, pun menyelam. Sem...

Pesan Singkat

12 November 2014 Tuhan, aku malu. Aku malu memandang wajah teduh yang menyilangkan senyum pasi itu. Aku malu melihat senyum yang sebaiknya tidak pernah kulihat itu. Aku terlampau malu hingga aku hanya bisa memandang jari kakiku sendiri. Tuhan, bolehkah aku melihatnya sekali lagi? Sebelum aku mengurung semua uap-uap memoar ini dalam bingkai kenangan? Hari ini aku berpikir kau tidak akan datang. Satu, dua, tiga, dan aku terus menghitung hingga detik ke sekian ribu. Aku masih saja belum mencium aroma tubuhmu. Aku kembali menghitung, dan pada hitungan kesekian aku teringat kembali serentetan kejadian yang seharusnya tidak pernah terjadi. Yang seharusnya tidak pernah berubah menjadi kenangan yang hanya akan usang dan berdebu seperti aroma rumah tua yang ditinggalkan penghuninya.  Aku kembali duduk santai di tempat duduk dimana aku mengerjakan tugas akhirku. Ada hasrat menghubungimu, tetapi untuk keperluan apa? Aku bahkan bukan partnermu. Aku hanyalah wanita dengan bol...