Langsung ke konten utama

Adriana, Alexa, and Bella



I don’t go heartless, I just get smarter because I know that my happiness isn’t depend on other people anymore. 

Rokok terakhir masih terselip di antara jari manis dan kelingkingku. Rokok terakhir yang enggan menyala. Entah sudah berapa kali aku hidupkan dengan pemantikku, tetapi sia-sia. Tetap saja ia tidak mau menyala. Sial. Aku tinggalkan one last cigarette tersebut dan beranjak berjalan keluar menuju balkon apartemenku. 

Malam telah beranjak menguliti senja. Menyisir sisa langit yang masih tampak merah merona di atas cakrawala. Senja yang indah. Spot favoritku untuk menikmati senja adalah di balkon yang kini aku duduki ini. I like the view from the top, anyway. Tetapi, entah sejak kapan aku mulai merasa sedikit berbeda. Merasa sepi. Hampa. Tidak ada sisa tawa yang sempat terdengar. Tidak ada tangan-tangan halus yang membuat tampilan rambutku menjadi kacau. Seketika balkon itu sepi. 

Aku masih bersama bayangmu ketika secara tidak sopan kau menolak kehadiranku. Lagi. Untuk penolakan yang kesekian. Mungkin aku bukanlah wanita yang baik untukmu. Sama sekali jauh dari standartmu. Lantas aku kesulitan untuk mengambil jarak denganmu. Karena bagiku, kau sama sekali tidak berjarak denganku. Jadi, tidak ada alasan kita untuk menjaga jarak.

Ah, andai kau tahu semua itu. Andai kau paham dengan apa yang aku ingin ungkapkan. Sayangnya, aku hanya bisa memendamnya tanpa bisa mengutarakan maksudku. Dan kau saat ini entah sedang dimana dan sedang bersama siapa. Aku berhenti berjuang dan merasa bodoh. I’m not that fucking pathethic anyway. 

Namaku Adriana, 24 tahun. Aku bekerja sebagai freelance writer dan aku menyukai sahabatku sendiri. Sahabat masa kecil. Tetapi lantas ia menghindar dan pesan terakhir yang aku terima darinya hanya sebuah text message bertuliskan “We are just friend….”

***

Masalahnya dia sahabatku. Aku tidak bisa mencintainya. Perasaan itu tidak bisa dipaksakan.

Aku muak mendengar kata-kata itu. Entah sejak kapan aku berhenti menghubungi orang yang paling aku sayangi. Namanya Nathan Legrand. Aku tinggal di New York, dia tinggal di Las Vegas. Jarak ratusan mill tidak membuat kami lantas berhenti berkomunikasi. Kami sering menghabiskan akhir pekan bersama. Mengambil cuti dan merayakan libur sebagai jackpot karena sudah bekerja tanpa ampun. Aku menyukai gaya bicaranya yang lugas, cara dia menggenggam tanganku ketika menyeberang jalan dan sikap yang ditunjukkan saat sedang berdua bersamaku. Entah, ketika bersama Legrand aku merasa aman dan aku merasa aku tidak perlu takut menghadapi apapun. Terkadang cinta memang membuatmu menjadi lebih kuat. Entah dengan alasan yang seperti apa. 

Aku memendam perasaanku selama bertahun-tahun. New York-Vegas bukanlah masalah yang berat bagiku. Tetapi kemudian ada masalah lain yang lebih berat dan ada suatu moment dimana aku sangat menyesal karena aku hanya bisa memendam perasaanku begitu saja tanpa berani mengungkapkannya.

Legrand berencana menikah dengan seorang wanita. Gadis yang sangat biasa jika boleh aku katakana. Aku sangat shock dengan berita tersebut. Selama ini Legrand tidak pernah sekalipun menceritakan wanita yang sedang menyelami hatinya. Jujur hal tersebut sedikit mengoyak hatiku. Aku tidak datang ke acara pernikahan orang yang aku sayangi tersebut.

Saat ini, hal menyakitkan itu sudah berlalu sekitar 2 tahun yang lalu. Aku sudah diangkat sebagai Manager di sebuah Food Company di Texas. Dan aku baru tahu akhir-akhir ini juga dari teman lamaku bahwa saat itu Legrand menyukaiku. Tetapi dia tidak memiliki cukup keberanian untuk mengungkapkannya karena baginya untuk duduk bersamaku dan menghabiskan makan sore di restoran sederhana, sudah cukup baginya.

Namaku Alexa, 27 tahun. Entah apa yang harus aku katakan. Tetapi, setidaknya jika kau diberikan anugrah waktu dalam hidupmu, manfaatkan sebaik mungkin. Karena kesempatan tidak akan datang dua kali. Jika ada ruang kosong, maka kau harus memiliki keberanian untuk memasukinya karena ketika orang lain telah masuk ke dalamnya, kau hanya bisa bertamu di terasnya.

***

Tidak ada yang lebih menyedihkan daripada seorang wanita yang mengemis cinta dari pria yang sudah mencinta.
 
Namaku Bella. 26 tahun. Aku menyukai petualangan. Gunung, sungai, tebing, apapun yang membuat adrenalinku berlari seperti sprint runner. Aku masih terlalu muda ketika aku menykai seorang Guide yang bekerja di sebuah perusahaan televisi swasta. Pria itu adalah salah satu host dari acara jalan-jalan yang disponsori brand rokok terkenal di kotaku. 

Entah sejak kapan perasaan tidak pantas itu hadir. Aku menganggapnya tidak pantas karena dia tak lain adalah pria beristri. Ketertarikannya pada alam membuat jiwa pria itu terlihat sangat bebas dan seakan tidak terikat apapun. Sampai akhirnya aku tahu dari dirinya sendiri ketika secara tidak sengaja kami mengobrol di pinggiran pantai Raja Ampat. Pria itu ternyata sudah menikah dan merahasiakan status pernikahannya ke media. Seja saat itu aku berhenti menemuinya. Pria itu mengetahui gelagatku dan terus mengunjungi tempatku di Raja Ampat. Empat minggu yang sangat menyiksa bagiku. Sampai kemudian aku memustuskan untuk kembali ke Surabaya, kota kelahiranku dan meninggalkan dentuman suara hati yang bahagia ketika aku bersama pria itu.

Dan sebuah plot hidup baru aku jalani. Tetapi tidak dengan pria beristri lagi. Hanya dengan diriku sendiri.  


Regards,
We Were.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aku ingin pulang......

Pulang. Aku ingin pulang dan menghambur pelukan yang hangat pada siapapun yang kusebut “dia”. Aku ingin pulang dan meletakkan semua kesedihan pada karung kumal untuk kusembunyikan di gudang penyimpanan. Biar tikus dan kecoa menghancurkannya perlahan. Perlahan hingga tanpa sisa, tanpa bekas sedikitpun. Aku lupa arah yang membawaku ke jalan dimana aku kecil adalah Putri Kecil. Aku mungkin akan pulang membawa luka yang lebih parah dari sebelumnya. Tapi aku tidak akan terlihat begitu menyedihkan. Hanya saja aku akan datang dengan kemasan yang berbeda. Menyembunyikan sedikit memar yang tampak. Menyuguhkan senyum manja. Seperti yang sudah-sudah, aku akan mengangkat tinggi-tinggi kepalaku dan tidak akan menunduk lagi.    Pulang. Sudah lama aku tidak merasakan kehangatan roti buatan bunda atau cerita pendek ayah sepulang kerja. Sudah lama hingga aku sadar selama ini aku hanya ditemani nyamuk-nyamuk yang putus harapan. Atau kotak-kotak indah yang dalamnya ternyata hanyalah s...

Now...

Karena hidup adalah sekarang. Bukan kemarin, bukan besok. Dan aku butuh waktu lama untuk menyadarinya. Secuil aku secara tidak sadar mulai hidup kembali dengan kemasan yang baru. Dengan raga yang baru. Dengan ketangguhan yang setiap hari kuamini di setiap doa atas nama orang-orang terkasih. Seperti itulah proses kehidupan, dari sebuah titik hingga menjadi kalimat. Dari sebuah aku sampai menjadi kita. Seperti itulah cara Tuhan menjaga keseimbangan semesta raya dengan rumus empirisnya.  Hidup akan mengikis siapapun yang memilih diam. Yang memilih   menggali lubangnya sendiri. Karena untuk mendaki ketangguhan dibutuhkan sedikit rasa berani. Hanya sedikit, agar manusia tidak menjadi begitu sombong. Hanya sedikit, karena Tuhan menciptakan semuanya sudah pada proporsinya. Tidak kurang. Tidak lebih. Maka, seperti itulah bahagia. Tidak pernah lebih, tidak pernah kurang. Lalu tentang hati, ada password yang harus mereka pecahkan untuk menjajahi hatiku, juga hatimu. Jangan ...

Rindu

Ada rindu yang hanya tanggal secarik tulisan usang. Yang menatapku lekat-lekat di kamar 4x4 dengan harap yang tak lagi hidup. Sudah lama mati. Rindu itu menjelma malam yang dingin yang pasrah dijajah pagi, menjelma awan hitam yang kelihatannya kuat tetapi ketika disentuh hanyalah gantungan asap yang rapuh. Rindu itu semrawut, tidak tertata dengan indah seperti buku cokelat yang kuhadiahkan sebagai kado ulangtahun pada seseorang.  Rindu itu kacau. Semakin kau tahan, semakin manja dan tak tahu diri. Mungkin, di antara aku dan kamu, ada pesan yang belum tersampai. Ada naskah yang belum sempat diketik ulang, ada banyak proposal yang belum sempat ditantangani, dan ada ribuan kata yang belum sempat dideklarasikan. Lalu, jika pagi datang dengan senyumnya, aku mengingat segala ucapan semangat dan selamat pagi yang dulu sering membanjiri kotak masuk phonecellku hingga penuh sesak. Tapi seiring dewasanya pagi, semuanya sepi. Hening. Alam seakan tidak mau berisik karena tak...