Langsung ke konten utama

Awake



“Kau tahu? Hal paling menyedihkan dalam hidup ini bukan ketika kau kehilangan orang yang kau sayangi. Ada yang lebih menyeramkan lagi, ketika kau telah kehilangan dirimu sendiri.”

Aku masih menatap lekat-kelat cangkir latte-ku yang kini isinya tinggal seperempat. Green Tea Latte kesukaanku. Aromanya yang menenangkan itu akan aku tebus dengan harga semahal apapun. Masih di spot yang sama. Rumahku lantai dua. Baru-baru ini aku memutuskan untuk menjual apartemen kecilku dan memulai sebuah kehidupan yang baru di rumah minimalis nomor 17 itu. Masih juga di kotaku. Kota dimana harapan pernah ditumbuhkan, kepercayaan pernah diutahkan, dan kasih sayang pernah diobral seperti Matahari Great Sale. Kota dimana aku pernah mengenal suatu objek. Alien entah dari planet mana, yang bernama, kamu.

Sore itu, aku menatap jendela dan melihat senja tidak lagi semenarik dulu. Senja tidak lagi sejingga saat kau masih di sini, senja tidak lagi semenyenangkan ketika aku adalah prioritas utamamu. Hingga datanglah orang lain yang selanjutnya penggantikan posisiku di podiummu, dan kau? Kau hanya pasrah saja sembari mempersilakan gadis itu tinggal dan merayakan kemenangan itu lebih lama.  Kau benar-benar sialan, Sayang !!

Aku tidak akan bercerita tentang kisah cintaku bersama dia atau tentang bagaimana perasaanku setelah hal menyakitkan itu terjadi. Bagiku duniaku dan dunianya benar-benar sudah berakhir. Tidak ada yang perlu diklarifikasi ulang atau divalidasi agar proses perjalanan ke tempat tujuan berikutnya berjalan aman terkendali. No, I don’t have to do so. Ini bukan touring tujuh negara, Bung!

Aku membuka majalah yang berserakan di lantai kamarku. Runway, New York Time, dan beberapa majalah lokal yang sering aku gandrungi. Perhatianku terpusat pada sebuah rubrik bernama “Wanita dan Ambisinya”. Dalam rubrik tersebut diulas tokoh seorang artis Hollywood ternama komplit dengan kehidupan pribadi, karir, serta dibumbui sedikit kisah asmaranya. Satu hal yang aku tangkap dari sosok itu, bahwa hal pertama yang perlu kau lakukan ketika kau merasa falling apart adalah pertolongan pertama untuk dirimu sendiri. The only one who can save you is yourself. Because when you’re crying all alone in 4 a.m and you don’t have any friends, you have to stand up by yourself. Orang lain hanya akan melihatmu setelah keputusan itu kau tentukan, keputusan untuk hidup atau sebaliknya. Dan kabar gembiranya kaulah yang harus mengambil keputusan itu. Sebuah hak istimewa dan sangat eksklusif.
Come on, Girl !!! Wake up and go a head !!!

Aku menghela nafas panjang sembari menutup majalah itu. Pikirku kembali berorasi, minta didihupkan kembali. Tampaknya, aku seperti zombie yang sudah berhari-hari tidak mendapatkan asupan otak manusia, pantes blo’on banget. Aku mengumpat sembari memandangi cermin ketika sadar bahwa penampilanku benar-benar memprihatinkan. Astaga, apa pula ini? Rambut yang panjang pendek tidak beraturan dan juga sel-sel kulit mati yang tidak sempat dipeeling. Sialan, apa saja yang aku lakukan selama ini? Aku bekerja setiap pagi dalam keadaan seperti ini?  Aku mulai mendebat diriku sendiri. Saling menyinyir satu sama lain sambil terus memandangi cermin persis seperti orang gila.

Kemudian aku meletakkan cangkir latte-ku yang masih tersisa isinya itu di dapur dan membersihkan badan untuk beberapa saat. Sumber air di rumah ini benar-benar sejuk tanpa membuat tubuh rematik. Jauh lebih sejuk dibanding air di tempat tinggalku yang lama dulu. Ah, persetan dengan tempat tinggalku yang lama. Aku sudah memiliki surga sendiri untuk saat ini dan saatnya bermain-main di halamannya yang luas.  

Sambil terus bernyanyi dan menikmati setiap percikan air yang jatuh dari shower, aku berpikir. Tuhan, betapa selama ini aku hidup tidak menjadi diriku sendiri. Aku terlalu fokus pada sesuatu yang mereka sebut “kebahagiaan orang lain”. Orang bilang, kebahagiaan orang lain harusnya ada di atas kebahagiaan diri sendiri. But, bagaimana kau bisa membahagiakan orang lain selama dirimu sendiri belum bahagia? Konyol bukan? 

Dan, aku baru menyadari kebodohan lain. Selama ini aku menyesali kepergian orang yang aku sayangi, tetapi aku justru kehilangan diriku terlalu jauh. Tuhan, ini sudah sangat keterlaluan. Hidup macam ini, aku kembali mengumpat. Kali ini lebih hebat, namum sedikit tersamarkan oleh suara gemercik air yang terus mengalir.  

But, Thanks God. I’m finally awake.
Regards,
Rosalie.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hai Januari

Hai, Januari. Bulan suciku. Bulan dimana aku 22 tahun yang lalu hanya seonggok daging yang bisa jadi dihidupkan. Atau bisa jadi kehidupan itu dibatalkan. Januari berbekas seperti sisi luka yang tidak pernah mereka tahu. Mereka hanya melihat, tidak menatap tajam. Mereka hanya lewat, tidak merapat. Bulan yang penuh hujan air mata. Ah, andai aku bisa membendungnya. Sedikit saja agar mata ini tidak membengkak kemudian mengumbar tanya. Ada apa dengan matamu? Kemudian aku buru-buru membungkusnya dengan kerutan senyum yang aku buat sendiri. Sembari mengucapkan aku tidak apa-apa versiku sendiri. Hai, Januari. Kau ingat lilin yang meleleh di pelataran tart mewah itu? Kau ingat bungkusan indah yang terbalut pita biru muda yang anggun? Aku masih mengingatnya, tetapi seingatku aku telah lama membuangnya. Bagiku semua itu sudah tidak ada pengaruhnya pada hati yang mulai meradang ini. Radangnya sudah bercabang, hingga membentuk kubangan luka yang ku sebut...

It's Just for Nothing

KARENA SEMUA INI PERCUMA. Percuma. Percuma setiap hari aku berharap kau membaca semua tulisanku. Percuma setiap saat aku berharap kau akan sadar bahwa aku ada untukmu. Percuma setip waktu aku berharap kau akan datang kepadaku. Benar-benar payah. Lebih baik aku lepaskan saja sosokmu itu. Yang dahulu merogoh masuk ke dalam jiwaku dan menembus menguliti dinding hatiku yang kelam. Sudah tidak berarti saat ini. Sudah tidak berpengaruh lagi. Hari ini aku putuskan untuk tidak lagi menjadi manusia menyedihkan bernama diriku. Bukankah seharusnya cinta itu diperjuangkan berdua, bukan sendiri? Aku terbahak dalam imajiku sendiri. Mengumpat pasrah tentang paradox rasa yang hingga saat ini masih susah aku cerna. Aku tersedak dalam stigma-stigma yang bahkan aku sendiri tidak paham tentangnya. Aku tersudut di ujung pikiranku yang tumpul. Aku tersisih di penghujung hatiku yang kian membeku.  Aku terbawa arus hingga ke seberang dan aku tidak mampu berenang, pun menyelam. Sem...

Pesan Singkat

12 November 2014 Tuhan, aku malu. Aku malu memandang wajah teduh yang menyilangkan senyum pasi itu. Aku malu melihat senyum yang sebaiknya tidak pernah kulihat itu. Aku terlampau malu hingga aku hanya bisa memandang jari kakiku sendiri. Tuhan, bolehkah aku melihatnya sekali lagi? Sebelum aku mengurung semua uap-uap memoar ini dalam bingkai kenangan? Hari ini aku berpikir kau tidak akan datang. Satu, dua, tiga, dan aku terus menghitung hingga detik ke sekian ribu. Aku masih saja belum mencium aroma tubuhmu. Aku kembali menghitung, dan pada hitungan kesekian aku teringat kembali serentetan kejadian yang seharusnya tidak pernah terjadi. Yang seharusnya tidak pernah berubah menjadi kenangan yang hanya akan usang dan berdebu seperti aroma rumah tua yang ditinggalkan penghuninya.  Aku kembali duduk santai di tempat duduk dimana aku mengerjakan tugas akhirku. Ada hasrat menghubungimu, tetapi untuk keperluan apa? Aku bahkan bukan partnermu. Aku hanyalah wanita dengan bol...