Langsung ke konten utama

Distance



Akhir-akhir ini aku merasa berubah. Entah berubah menjadi seperti apa, yang pasti aku merasa teman-temanku semakin menjauhiku. Tidak ada lagi jadwal karaoke rutin, tidak ada lagi acara nongkrong di kantin kantor, dan tidak ada ritual minum wine bersama di pub kesayangan.

I’m not really that change, Darl. Aku hanya semakin sadar dengan sesuatu yang dinamakan prioritas. Ini lebih dari sekedar obrolan santai bersama teman atau rencana nge-mall bersama mereka di akhir pekan yang menyenangkan. Aku sudah harus memikirkan bagaimana masa depanku akan aku ukir, atau setidaknya bagaimana fondasi itu akan dibangun. Di mana? Di tanah seluas berapa meter persegi? Dan juga siapa saja yang terlibat di dalamnya? Diluar konteks pekerjaanku sebagai arsitek yang sudah sangat handal dengan hal semacam itu, ini benar-benar tidak mudah, kawan. Tidak semudah yang kau lihat dan kau bayangkan. Karena ini tentang sesuatu yang  kau sebut keluarga.

Aku menghela nafas panjang. Waktu menunjukkan pukul 16.10 WIB, sudah saatnya aku beranjak dari kantor dan pulang ke rumahku. Ah, tetapi ingin rasanya aku mematri di tempat ini. Tempat yang sudah lima tahun aku perjuangkan. Dahulu, aku melihat tempat ini adalah surga bagi para arsitek sekaligus lahan bisnis yang sangat menguntungkan bagi para investor. Tetapi, bagiku tempat ini lebih dari itu. Tempat ini adalah dream comes true bagiku. Tempat ini adalah spot dimana karir seorang Andriana Wijaya melejit bagai roket berkecepatan tinggi. Dan kabar buruknya, aku sebentar lagi harus meninggalkan tempat ini untuk bertolak ke Venice, Italy. Bersama suamiku jika kita sudah menikah tentunya. Tanpa terasa ada segumul air yang sedang mendesak kelopak mataku. Perih, kemudian meluruh membasahi lahan luas di area sekitar pipiku. Kemudian menemukan muara hingga ke bibirku yang pucat. Air bening itu berhenti di sana untuk waktu yang sangat lama. Sebelum akhirnya aku tersadar seseorang telah mengusapnya. Aku terperanjat sembari memandangi sosok yang berdiri di depanku itu. Sosok yang penuh wibawa. Sosok yang selalu menjadi teladanku dalam segala hal. Sosok yang selalu aku andalkan sementara aku  sendiri ragu apakah lantas dia bisa mengandalkanku juga.

Pria itu lantas menarik kursi yang terletak tepat di hadapanku untuk kemudian duduk di sana sembari menatapku lekat-lekat. Persis ketika aku melayani client-ku untuk mendiskusikan setiap detail bangunan yang akan kami garap. Tetapi kali ini lain. Kali ini bukan tentang berapa tinggi bangunan yang aku rancang untuk melawan gravitasi di kawasan Kuningan, bukan tentang merk elevator yang berkualitas bagus dengan harga yang pantas untuk ukuran kampus terkenal di kota Bandung, bukan pula tentang pengaturan ventilasi yang baik. Sama sekali bukan. Aku tahu, pria itu sedang menatapku dengan ekspresi entah macam apa. Aku hanya menundudukkan kepala, tidak berani menatap mata biru coklatnya. Aku menggenggam erat kedua tanganku seolah-olah aku berada di arena permainan yang mempertaruhkan hidup dan mati.

“Pernikahan kita akan berlangsung lima bulan lagi, Sayang. Ada apa? Kamu tampak begitu gugup?” tanyanya santai.

Aku memberanikan diri menatap mata pria itu. Pria yang benar-benar aku sayangi. Bahkan di keadaan seperti ini, dia masih menunjukkan karisma dan kewibawaannya.

I’m fine. Pretty fine.” Jawabku sambil tersenyum.

“Aku hanya merasaa . . . . . takut. Italy bukan tempat yang dekat.” Lanjutku dengan sedikit terbata.
Italy

Priaku memandangku dengan penuh ketenangan, sambil tersenyum ketika melihat foto kami berdua yang aku pajang di meja kerjaku. Foto dengan bingkai biru muda, warna kesukaannya. Diambil di London akhir musim panas tahun lalu.

“Kita akan sering-sering pulang ke Indonesia. Satu tahun dua kali. Satu tahun tiga kali kalau perlu. Kita akan mengunjungi orangtuamu dan juga orangtuaku. Semua tidak akan berubah, Sayang. Kita masih bisa memanfaatkan itu untuk berkomunikasi.” Telunjuknya mengarah ke laptop yang terletak di sampingku.

“Tiket pulang pergi Indonesia-Italy tidak semurah naik pesawat Jakarta-Medan.” Lanjutku.

“Tidak ada yang mahal jika hal itu untuk keluarga. Kebersamaan dengan keluarga bahkan tidak bisa digantikan tiket pulang-pergi dari Hawai ke Monte Carlo.” Pria itu memandang keluar melalui kaca bening yang mengelilingi kantorku. 

“Jarak hanya masalah perspektif. Percayalah semua akan baik-baik saja. As long as you side by side with me. Pria itu bernajak dari tempat duduknya kemudian mengulurkan tangannya ke arahku. Aku menggenggam tangan itu kemudian kami menghabiskan sore di sebuah kafe tidak jauh dari kantorku.

Pria itu. Untuk pertama kalinya membuat kepercayaanku akan harapan kembali tumbuh. Untuk pertama kalinya membuat aku tersadar bahwa cinta itu mengerti, tidak hanya  sekedar memiliki. Pria itu yang membuatku berhenti minum wine di pub, dan pria itu yang membuat hubunganku dengan ayah tiriku kembali  membaik. Pria itu membuat aku merasakan kebahagiaan melalui cara yang sulit untuk digambarkan. Dan membuatku merasa jatuh cinta lagi. Pria itu membuatku percaya lagi akan beautiful life-nya sebuah pernikahan. Pria itu pula yang membuat jarak Indonesia-Italy tidak semengerikan dulu. Terima kasih.


Regards,

Andriana.

Komentar