Langsung ke konten utama

It's Just for Nothing



KARENA SEMUA INI PERCUMA.

Percuma. Percuma setiap hari aku berharap kau membaca semua tulisanku. Percuma setiap saat aku berharap kau akan sadar bahwa aku ada untukmu. Percuma setip waktu aku berharap kau akan datang kepadaku. Benar-benar payah.

Lebih baik aku lepaskan saja sosokmu itu. Yang dahulu merogoh masuk ke dalam jiwaku dan menembus menguliti dinding hatiku yang kelam. Sudah tidak berarti saat ini. Sudah tidak berpengaruh lagi.

Hari ini aku putuskan untuk tidak lagi menjadi manusia menyedihkan bernama diriku. Bukankah seharusnya cinta itu diperjuangkan berdua, bukan sendiri?

Aku terbahak dalam imajiku sendiri. Mengumpat pasrah tentang paradox rasa yang hingga saat ini masih susah aku cerna. Aku tersedak dalam stigma-stigma yang bahkan aku sendiri tidak paham tentangnya. Aku tersudut di ujung pikiranku yang tumpul. Aku tersisih di penghujung hatiku yang kian membeku. 

Aku terbawa arus hingga ke seberang dan aku tidak mampu berenang, pun menyelam. Semua terlihat menyedihkan. Gambaran sosokmu yang tertawa dalam impianku setiap malam. Teringat semua lelucon yang sempat kau lontarkan di saat aku lelah untuk melanjutkan bernafasku yang mmulai tersengal. Aku masih ingat tetapi mungkin saja kau lupa. Kau mungkin lupa bagaimana bibirku menyungging senyum untuk hadirmu. Tetapi masalahnya bukan pada dirimu, tetapi pada diriku. 

Masalahnya, aku terlalu mengagumimu.

Ah, sialan. Bahkan aku saat ini tidak lagi sepandai dulu dalam menyimpulkan perasaan. Yang aku rasakan lebih cenderung ke rasa . . .. . muak.
So, Let's Run and Forget the Shit !!

Untuk beberapa saat kemudian aku kembali terdiam. Terdiam di antara hentakan musik dubstep dan electro dance. Tanganku masih menggenggam erat Pinot Noir hadiah dari seorang teman lawas yang kebetulan beberapa minggu yang lalu berkunjung ke Italy. Mungkin saat ini adalah saat yang tepat untukku meminumnya, pikirku mulai menggoda.

Sejurus kemudian aku tertawa. Tertawa sangat keras di ruangan yang aku sebut kastil pribadiku itu. Menertawakan kebodohanku selama ini. Menertawakan lelucon yang ditetapkan semesta untuk makhluk setengah alien seperti diriku. Tawa itu membumbung tinggi hingga ke atap rumahku, menguap dihajar dinginnya malam di Kota Bunga. 

Pada akhirnya aku akan tertawa. Setiap sedih, setiap luka, bahkan setiap tetes darah yang sempat aku tumpahkan akibat kebodohanku sendiri akhirnya hanya akan menjadi memori yang usang ditelan dimensi. Kemudian semakin jauh, semakin jauh semakin kecil dan mengecil hingga pada suatu titik, aku benar-benar telah melupakannya. Benar-benar telah hilang ingatan dan hanya akan menertawakannya. Yah, pasti. Hal itu akan tejadi.

Jadi, untuk apa seserius ini menjalani kehidupan yang menurutmu sangat muak? Tidak perlu serepot itu. Toh nanti akhirnya juga akan menjadi kenangan. Terlepas kenangan itu menyenangkan atau tidak, kenangan hanya akan hidup di museum yang bergelar masa lalu.

Sudah. Itu saja dariku.


Rosalie.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hai Januari

Hai, Januari. Bulan suciku. Bulan dimana aku 22 tahun yang lalu hanya seonggok daging yang bisa jadi dihidupkan. Atau bisa jadi kehidupan itu dibatalkan. Januari berbekas seperti sisi luka yang tidak pernah mereka tahu. Mereka hanya melihat, tidak menatap tajam. Mereka hanya lewat, tidak merapat. Bulan yang penuh hujan air mata. Ah, andai aku bisa membendungnya. Sedikit saja agar mata ini tidak membengkak kemudian mengumbar tanya. Ada apa dengan matamu? Kemudian aku buru-buru membungkusnya dengan kerutan senyum yang aku buat sendiri. Sembari mengucapkan aku tidak apa-apa versiku sendiri. Hai, Januari. Kau ingat lilin yang meleleh di pelataran tart mewah itu? Kau ingat bungkusan indah yang terbalut pita biru muda yang anggun? Aku masih mengingatnya, tetapi seingatku aku telah lama membuangnya. Bagiku semua itu sudah tidak ada pengaruhnya pada hati yang mulai meradang ini. Radangnya sudah bercabang, hingga membentuk kubangan luka yang ku sebut...

Pesan Singkat

12 November 2014 Tuhan, aku malu. Aku malu memandang wajah teduh yang menyilangkan senyum pasi itu. Aku malu melihat senyum yang sebaiknya tidak pernah kulihat itu. Aku terlampau malu hingga aku hanya bisa memandang jari kakiku sendiri. Tuhan, bolehkah aku melihatnya sekali lagi? Sebelum aku mengurung semua uap-uap memoar ini dalam bingkai kenangan? Hari ini aku berpikir kau tidak akan datang. Satu, dua, tiga, dan aku terus menghitung hingga detik ke sekian ribu. Aku masih saja belum mencium aroma tubuhmu. Aku kembali menghitung, dan pada hitungan kesekian aku teringat kembali serentetan kejadian yang seharusnya tidak pernah terjadi. Yang seharusnya tidak pernah berubah menjadi kenangan yang hanya akan usang dan berdebu seperti aroma rumah tua yang ditinggalkan penghuninya.  Aku kembali duduk santai di tempat duduk dimana aku mengerjakan tugas akhirku. Ada hasrat menghubungimu, tetapi untuk keperluan apa? Aku bahkan bukan partnermu. Aku hanyalah wanita dengan bol...