“the longest way of your journey is the way you looking up upon yourself…..” Aku terbangun di tengah hentakkan langkah kaki yang memekakkan telinga. Terhuyung diantara ratusan sistem saraf yang belum terpaut sempurna. Lalu terbayang diriku sedang terlena di depan cermin berukuran raksasa, cermin yang bahkan bisa aku masuki bersama dengan kawananku. Cermin yang ukurannya hingga membuatku harus mendongak tinggi. Sayangnya aku tidak terlalu tinggi untuk mencapai ujungnya. Cermin itu sedang menatapku dengan sinis, cermin itu sedang memalingkan pandangannya kepada sesuatu yang mungkin lebih menarik daripada bayanganku sendiri. Bayangan diriku yang kian kurus, kulitku yang kian menghitam karena digerogoti kenyataan yang kejam. Rambutku yang kian merapuh karena tidak pernah mengenal kelembutan. Cermin itu hanya menatap sesekali, hanya memastikan aku masih ada disini. Berdiri dengan kedua kakiku yang kian gemetar. Berdiri dengan sisa-sisa ketegaran yang aku sesap sendiri dari pembulu...
Pagi masih terlalu dingin, kutarik kembali selimut merah maroon favoritku dan kembali kurebahkan badan ini di atas California King Bed yang sudah tiga tahun menemani tidurku. Ah indahnya minggu pagi, batinku. Ada aroma hujan yang wanginya menggegerkan otakku untuk kembali mengenang sebuah momen masa lalu, you name it ‘Petrichor’ . Masih bersama aroma petrichor , momen dimana aku masih disibukkan dengan tugas-tugas kantor dan deadline yang membuatku benar-benar ‘feeling dead’. Yah, it was me. Seorang workaholic yang pada saat itu buta akan prioritas. Apakah aku yang terlalu mencintai pekerjaanku ataukah semua itu hanya sebuah cover atas nama keegoanku semata? Atau mungkin saja target kehidupanku terlalu unrealistic, mungkin iya bagi beberapa orang. Tapi bagiku hidup harus luar biasa, harus besar dan luas serta tidak terbatas. Yah mungkin disitulah kesalahanku, aku sendiri bahkan tidak paham dengan batasan sehingga hal itulah yang kemudian menjadi boomerang dalam keh...