Hujan,
oh nope. Hanya gerimis, itu pun tidak
terlalu mengancam keberadaan jaket seharga puluhan dollar yang sedang aku
tenteng di bahuku. Sebaiknya memang aku pulang lebih awal. Sebelum hujan
semakin deras dan menahanku di kedai kopi bodoh ini. Why so? I mean, why do I call this stupid coffee shop? Because,
aku dulu pernah merasa bodoh berada di sini. Untuk waktu yang sangat lama, oh
aku lupa mungkin saja tidak selama itu, akhir-akhir ini perhitungan
matematikaku sering meleset. Hanya, sekitar 5 tahun lebih mungkin. See? Tidak terlalu lama, bukan?
Aku
bangkit dari sofa ungu yang sedari tadi aku duduki hanya untuk berkencan dengan
segelas Gin dan berjalan menuju pintu keluar. Masih dengan jaket hitam yang aku
tenteng di bahu kiriku, aku bermaksud menggunakannya dan seseorang meraih
tanganku. Bukan orang asing, sama sekali. Hanya saja aku sedang tidak dalam
kondisi mood yang sempurna untuk
melakukan nostalgia, terlebih nostalgia tentang kebodohanku di masa lampu. Yap, that’s him. The one that should be ……
gone.
“Sepertinya
kamu sedang terburu-buru, Dav.” Sapanya sembari membawaku kembali masuk ke
kedai kopi bodoh itu. Tetapi, aku tidak sebodoh itu sekarang.
“Let go of me, Enzo!” perintahku sembari
berusaha melepaskan genggaman tangannya yang cukup kuat dan hampir saja membuat pergelangan tanganku putus.
“Or what?” tanyanya. Mata pria itu sangat
lekat menatapku dan jarak pandang kami hanya sekitar beberapa inchi, so aku
hanya mengalihkan pandangan. Pasrah.
Pria
bernama Enzo itu memaksaku duduk di meja nomor 7. Aku hanya bergeming, sama
sekali tidak menatap ke arahnya. And, damn
it!! Diluar hujan sangat deras, huft. Secepat itukah cuaca berganti, bisikku
jengkel.
“Kamu
mau pesan apa, Dav?” tanya pria yang sedang sibuk membolak-mbalikan buku menu
itu. Aku hanya tersenyum sinis, senyum yang hanya terdapat pada wajah penjahat
yang sedang merencanakan pembunuhan. I’m
a bad guy now anyway.
“Jangan
berlagak kamu belum pernah ke sini, Enzo. Trust
me! It was suck!!” aku kembali memberinya senyum ala pembunuh berantai.
Dengan
sigap Enzo menutup buku menu itu dan meletakkannya di atas meja, oops nope. I mean membantingnya. Kau tahu berapa lama aku sangat ingin melihat
wajah kesal pria yang ada di depanku itu? Lima tahun. Aku menunggunya selama
lima tahun untuk merasakan sebagian kecil penderitaan yang aku rasakan, karena
jika dia merasakan seluruh perasaan yang aku rasakan aku yakin dia akan lebih
memilih melompat dari O’clock Tower
atau menabrakkan mobilnya ke pohon. Aku kembali tersenyum membayangkan
bagaimana aku bisa bertahan sejauh dan selama itu, hanya untuk sebuah kebodohan
yang bahkan tidak masuk akal. Cinta yang sebenarnya tidak pernah ada. Dongeng sebelum
tidur tentang putri tidur dan juga pangeran berkuda putih yang ternyata hanya mitos. Damn.
“What do you want, Dav? Jika kamu bermaksud
untuk menyiksaku, lakukanlah. Selagi aku masih ada di sini. Aku tahu mungkin
aku tidak pantas mendapatkan maafmu, tetapi setidaknya biarkan aku memperbaiki
semuanya. I know you’ve been broken,
Davina.” Sinar mata pria itu memancarkan sesuatu, sesuatu yang meskipun aku
berusaha mengenalinya, tetap aku tidak akan sudi melakukannya. Sinar mata yang
dulu pernah membunuhku. Now? I’m smarter
now.
“What do you want? What are you talking about,
Davina? Ahahahahahahahha Enzo, tidak adakah kalimat lain di kamus kehidupanmu? Sepertinya
lima tahun menghilang sudah cukup membuatmu menjadi sedikit what is that? Idiot? And you said that I’ve
been broken? Are you sure about that, Enzo? Look! I’m not broken and I don’t
think that broken is the right word for my heart. You ripped it out of places
and shattered it and stomped on to millions of pieces of debris left behind so
it would be impossible to piece back together. There’s nothing left. My heart is
more than broken, it is gone!!”
“I’m so sorry, D.” Enzo menelungkupkan
kedua telapak tangannya ke wajahnya dan menjatuhkannya ke atas meja.
I'm Not Running, I'm Just Lying |
“You’re Lorenzo Pramana!! So, face it like a
man, Dude! Look me in the eyes, Enzo. Look at me in the eyes!!” bentakku. Enzo
kembali menatap mataku. Tatapan yang ringkih. Aku tahu aku sedang bergulat
dengan sisi lain dari diriku sendiri. Sisi yang sudah lima tahun ditinggalkan
dan hanya menyisakan benci serta rasa sakit berkepanjangan. Sedangkan ada pula sisi
lain yang sudah menunggu lima tahun dan hanya menyisakan sedikit saja harapan
sebelum aku benar-benar membakarnya menjadi abu. Setidaknya jika memang semua
ini akan berakhir, aku hanya ingin membiarkan Enzo mengetahui yang
sesungguhnya. Bahwa cinta itu masih ada, meskipun aku tidak lagi memiliki hati
atau sejenisnya. Lima tahun yang lalu ketika Enzo menghancurkan hatiku dan
membakar semua harapan itu tepat di mataku, aku memetuskan untuk meninggalkan
hatiku di suatu tempat, yang bahkan diriku sendiri tidak akan pernah
melihatnya, terlebih menyakitinya. Aku mematikan seluruh sisi perasaanku dan
membuatnya lebih baik hanya dengan satu fokus : dan fokus yang aku pilih adalah
untuk membencinya. Kemudian semakin aku bermaksud menghilangkan bayangan Enzo
dari kehidupanku, aku tahu bayangan itu terus hadir dan memaksaku untuk meneguk
lebih banyak valium. Tenggelam dalam puluhan botol Vodka dan Gin berbagai
label. Maka, aku menggantikan hatiku dengan sesuatu yang lain. Aku tidak lagi
mencintai Enzo dengan hatiku, tetapi aku mencintai pria itu dengan jiwaku. Tanpa
memperhatikan satu konsekuensi, bahwa jika Enzo kembali ingin mengancurkannya
maka hal itu beararti Enzo sendiri yang harus membunuhku.
Ada
kerlingan air hangat yang berkumpul di sudut mataku ketika aku menjelaskan hal
itu kepada Enzo. Bahkan, aku bisa melihat wajahku sendiri melalui mata coklat
pria itu.
“So, Enzo. Jika kamu masih bertanya apa
mauku, aku sendiri bahkan tidak tahu. Aku hanya bermaksud menyiksamu, tetapi
setiap kali aku melakukannya justru aku sendiri yang tersiksa. And, I know it suck.” Terangku.
“Davina,
aku telah membuatmu menunggu begitu lama. Aku tidak tahu apa yang bisa
membuatnya setimpal, so let me stay and
loving you seperti seharusnnya.” Pria itu meraih tanganku dan menggengamnya
dengan erat, aku buru-buru menariknya kembali dan menyilangkannya di depan
dadaku.
“I
can’t be fix by the same person who breaks me, Enzo. And, aku pikir kamu
melewatkan satu hal. Ketika aku berkata aku mencintaimu dengan jiwaku bukan
berarti saat ini kamu memiliki kebebasan untuk mencintaiku dan hidup bersamaku
atau apalah itu istilahnya. Nope! Point dari ‘aku mencintaimu dengan jiwaku’
adalah aku membiarkannya terus hidup dengan caranya sendiri. And I don’t do ordinary way like date or
dinner or something, aku mengingatnya dan semua itu sudah cukup untuk
mencintaimu, Enzo.” Aku tersenyum puas.
“So, you give up on me now?” tukasnya.
“Whaaats? Give up? I’ve been giving anything to
you, Enzo. I gave you my heart, my last hope, and even my trust. So, there’s
nothing left of me to give you up anymore. It’s call taking back, Enzo.”
“Jadi
selama lima tahun ini kamu telah berubah menjadi orang yang bahkan telah
mematikan sisi manusiamu, Dav. Dimana Davina yang dulu? Dimana Davina yang
penuh dengan kasih sayang dan penuh dengan perasaan and a lot of affection?” aku bisa melihat ekspresi penuh duka
ketika kalimat itu diucapkan. Sepertinya Enzo baru sadar bahwa Davina yang
pernah dia campakkan kini sedikit menjadi ‘brutal’.
“Sayangnya,
ketika aku menjadi versi Davina yang kamu inginkan, aku mudah sekali
dihancurkan, Enzo. And trust me, this
version is really suits on me now. This strong stubborn and wicked person.”
Aku menimpali.
“Kamu
tidak pernah bertanya bagaimana aku bertahan selama lima tahun, Enzo? Tidakkah itu
menjadi pertanyaan terbesarmu? Mengingat waktu itu aku hampir menabrakkan
mobilku ke jembatan dan berharap aku benar-benar mati. Ahahahahahahaahahaha.”
Tambahku.
“Sudah
jelas sekali kamu bertahan karena rasa bencimu itu.” Enzo mengangkat sebelah
alisnya.
“Oh come on, apa kamu kira Davina sejahat
itu? Kamu tahu? Aku bertahan karena kedai kopi brengsek ini. Tempat terakhir
kamu menemuiku lima tahun lalu, hari rabu malam. Aku datang setiap hari rabu
malam setelah peristiwa itu, Enzo. Bahkan tidak pernah satu rabu sekalipun aku
lewatkan. Kamu tahu? Terkadang untuk menyembuhkan rasa sakit kamu harus terus
menghadapinya atau lebih tepatnya kamu harus lebih sering menyentuh luka itu. Again, again and over again until the pain
don’t matter. Itulah bedanya the
stupid Davina dengan the beloved Enzo, karena aku tidak
pernah sekalipun lari. Not at all.” Aku
membubuhkan sebuah senyumn penuh kemenangan ketika aku beranjak dari meja nomor
7.
Jika
kamu pikir itu mudah, kamu bodoh. Butuh lebih dari sepuluh ribu mega Joule energi
untuk menemui Enzo setelah lima tahun yang pahit itu berlalu. Dan di meja nomor
7 itulah aku melawan diriku sendiri, bukan melawan Enzo. Pada dasarnya semua
perbincangan yang aku lakukan dengan Enzo adalah perbincangan antara sisi lain
dari diriku dengan sisi lain dari diriku yang lain. Seperti itulah. Serumit itu.
Tetapi, kini aku ingin meringkasnya menjadi sesuatu yang sederhana dan lebih
mudah dipahami. Sometimes, kita
tersiksa bukan karena orang lain, tetapi karena diri kita sendiri. So, if you are brave enough to fight against
your self first then you will win.
Komentar
Posting Komentar