Seperti biasa, aku sedang menulis
diary di atas setir Ford Fiesta 2014 berwarna abu-abu itu dan tentu saja dengan
alunan musik yang menyerupai suasana pub.
Bedanya, aku hanya meneguk sekaleng soda, tidak ada Bourbon, Merlot, dan
minuman beralkohol sejenisnya.
Dear
Diary,
It’s
been a long time, Ric. I can’t even handle this. Please, be home soon. Mom was
gonna die missing you during this summer.
With
Love,
Sister
Seriously? Aku harus mengajar mata kuliah ini lagi? For three times? Aaaaaahhhhh, sial. Aku mengumpat
melihat buku agenda mengajarku. Di sana tertulis dengan coretan tangan yang
sangat tidak rapi : Mikrobiologi Molekuler kelas F, J, dan L. Nope, aku bukan dosen tetap. Belum. Aku hanya
mahasiswa pasca sarjana yang secara tidak sengaja sering bergabung dengan tim peneliti
di laboratorium dan entah sejak kapan aku direkrut menjadi dosen bantu di
almamaterku. Dan aku juga dipercaya untuk menangani beberapa mahasiswa sebagai
dosen wali mereka. That was a half-great
deal anyway. Sejujurnya, dosen bukan sebuah ide yang brilliant bagiku. I mean,
sejauh ini aku memang bisa menyesuaikannya, tetapi deep down in my heart my passion is music and act.
Aku
pernah mengambil kelas teater di sebuah institut seni ternama di Indonesia,
tetapi aku harus mengubur dalam-dalam mimpiku untuk mengadakan opera
beasar-besaran. Hmm. That was because ayahku mengancam tidak membiayai
kuliahku jika aku terus melanjutkan ‘ide tidak warasku’ itu. Alhasil, aku hanya
bisa mengumpat kepada ayahku sepanjang perjalanan Jogja-Malang dan berharap
bisa keluar dari mobil sialan itu. Percayalah rasanya seperti berada di neraka
ketika kau harus melepaskan mimpi terbesarmu. Lebih dari sekedar ketika kau
kehilangan orang terkasihmu. Hhm wait,
meskipun secara teknis aku tidak pernah merasakan pahitnya kehilangan orang
terkasih. Mereka yang kehilanganku lebih tepatnya.
Kejadian
yang sukses membuatku mengurung diri di kamarku selama dua minggu itu sudah
lama berlalu. Tujuh tahun yang lalu, kemudian ayah pergi meninggalkanku begitu
saja. I mean, he was pass away. A heart
attack, so sekarang aku yang harus menyelesaikan impian beliau. Memperoleh gelar
Magister di bidang Mikrobiologi. Ya Tuhan yang benar saja? Dan, bulan depan
adalah wisuda kelulusanku. Sudah bisa dipastikan ayahku tidak akan memberikan
pelukan hangat dan mengecup kening putri kesayangannya secara langsung. Mungkin
ayah hanya akan menggunakan jasa FeDex dari surga dan mengirimkan beberapa
novel sastra terbaru karya Agus Noor. Hahahaha. I miss you, Dad. So, kandidat pria yang memiliki
probabilitas untuk hadir di acara sakral itu adalah saudara laki-lakiku, Eric. Kecuali
jika dia masih melanjutkan misi ‘kabur dari rumah’-nya. Ah, entahlah. Life is getting harder since then.
Aku sudah siap dengan beberapa materi yang akan aku ajarkan ke
mahasiswaku. Ah, setiap kali aku masuk ruang kelas untuk mengajar, aku seperti
masuk ke sebuah concert hall atau
gedung opera. Terkadang aku begitu menikmati diriku dengan versi yang lain, trust me that you can’t just forget your
biggest dream. At all.
“So, Class?
Just open up your hand-book page 382. And Stefan, please tell me about the
first stage of human metabolism! In English. ”
“Oooouch!” aku bisa mendengar suara nafas
mahasiswaku sendiri.
Aku tersenyum. Dan, aku sedang berharap
aku benar-benar berada di gedung opera. Hahahahahahhahahahaha.
Dua
jam setelah kelas usai, seseorang datang menghampiriku. Aku tidak kenal betul
siapa mahasiswa itu, tetapi aku hafal wajahnya. Mahasiswa yang selalu tertidur
di kelas Biomolekul. Namanya Angga.
“Temui saya setengah jam lagi di kantin.” Tukasku.
And, the worst part of this adalah ketika
aku harus mengajarkan sesuatu yang bahkan aku sendiri tidak mencintainya kepada
anak didikku yang juga tidak mencintai hal yang sedang dijalaninya.
“Jadi, kamu masuk jurusan ini karena
terpaksa? Benar begitu?” tanyaku sambil mengangkat sebelah alisku. Aku bahkan
masih membiarkan makan siangku tidak tersentuh sedikitpun.
“Bisa dibilang seperti itu, Bu. Awalnya saya
pikir saya bisa melakukannya, tetapi semakin ke sini saya semakin yakin bahwa
keputusan saya tidak sepenuhnya benar.” Jelasnya.
“So,
rencana selanjutnya?”
“Saya belum tahu, Bu. Karena itulah saya
membutuhkan masukan dari Ibu. Mengingat Ibu adalah dosen wali saya.” Terangnya sambil
tertunduk lesu.
What?
Dosen wali? Oh Tuhan, bahkan aku sendiri tidak hafal dengan mahasiswaku? Dosen
macam apa aku ini?
“Well,
Angga. Tinggalkan nomor ponselmu, Ibu akan mempertimbangkan beberapa hal
terlebih dahulu. Ibu pastikan akan menghubungimu dalam waktu dekat.” Jawabku santai.
Angga kemudian berlalu setelah menuliskan
nomor ponselnya di bloknote kecil yang aku sodorkan kepadanya.
Sejujurnya, aku sedang tidak memiliki
masukan sama sekali untuk mahasiswaku yang satu itu, karena aku juga sedang
merasakan hal yang sama.
***
Malam itu, aku kembali ke ruangan wajibku.
Nope, kali ini bukan pub. Hanya sebuah café kuno yang
terletak beberapa blok dari kediamanku. Aku berjalan menyusuri sidewalk yang sudah mulai retak. Gemerlap
lampu kota semakin membuat ramai suasana kota, tetapi entah karena alasan
apa aku justru terjebak di keramaian yang imajiner itu. Bukankah dunia memang
seperti itu? Terkadang membeku dengan tenggat waktu yang terlampau panjang,
namun pada suatu moment, waktu seakan sedang mengendarai Chevrolet Camaro berkecepatan
tinggi. Teori tentang relativitas masa, Einstein yap I really agree with that. Ah, andai Einstein masih hidup, tidak
segan-segan aku akan mengajak pria berambut kriting dan berhidung besar itu
untuk mampir ke café kesayanganku dan memperbincangkan tentang alam semesta.
Café yang selalu aku kunjungi seminggu
sekali itu terlihat sepi-sepi saja. Udara dingin yang menyerbu kulitku segera
terganti dengan suasana hangat di café tersebut. Bahkan di sana juga terdapat
perapian untuk menghangatkan tubuh. Akhir-akhir ini cuaca memang sedang
ekstrim, tidak hanya dingin, tetapi extremely
cold.
“Sendirian saja, Nona Elisa?” sapa seorang
pelayan wanita seraya aku membuka pintu café.
“Iya, seperti biasa.” Ucapku datar sambil
tidak lupa menyuguhkan senyum kepada wanita yang sudah sangat hafal dengan menu
kopi andalanku itu.
“Tunggu saja di meja Nona. Nanti pesanannya
biar saya antar kesana.” Lanjutnya sambil tersenyum.
“Hmm, Megi, aku ingin coklat panas saja malam
ini.” Ucapku sambil memeluk tubuhku sendiri dan segera beranjak ke tempat duduk
favoritku.
Megi segera beranjak ke dalam bar dan meracik
pesanan yang baru saja aku layangkan.
Tidak lama kemudian, hujan datang. Aku sedang
tidak membawa payung, ah tenang saja aku bisa meminjam payung milik Megi,
pikirku.
“Silakan
coklat panasnya, Nona.” Megi menyajikan secangkir Dark Hot Chocolate untukku kemudian gadis berambut coklat itu
segera berlalu dan melayani pengunjung lainnya.
Sejujurnya aku sedang mencari teman untuk sekedar
mengobrol. Aku harap Megi bisa menemaniku, tetapi sepertinya dia sedang sibuk
melayani banyak pelanggan yang tiba-tiba membanjiri café lantaran diluar hujan
lebat.
For Those Who Dare to Dream Aloud |
“So,
sekarang sudah tidak lagi menjadi coffee-addict,
Love?” seseorang mengalihkan perhatianku dari layar ponselku.
“Ric??!!” aku terperanjat dan seraya
menghujani pria itu pelukan yang sangat erart.
“Hey,
easy!! Kamu bisa membunuhku.” Eric minta dilepaskan, sambil terkekeh.
“Ric? Kamu kembali?” tanyaku spontan.
“Aku tidak ingin melewatkan wisuda gadis
kecilku yang sebentar lagi akan menyandang gelar hhmmm…..”
“Magister, idiot!!” tukasku tajam.
“Yah, itulah pokoknya.” Pria di depanku
itu hanya cengar-cengir seraya menarik kursi kayu sebagai tempat duduk.
“Kemana saja kamu selama ini? Kamu tahu?
Mom sangat merindukanku, Mom menyesal telah bertengkar denganmu. Please, forgive her, Ric?!” pintaku
memelas.
Eric hanya mengangkat kedua bahunya seraya
menyambar cangkir cokelat panasku dan meneguknya dengan sangat santai, aku bisa mendengar coklat panas itu
melintasi tenggorokannya dan memberikan sensasi hangat yang luar biasa.
“So, beum ada lima menit kamu bertemu
dengan kakakmu dan kamu sudah memulai negosiasi. Dasar gadis licik.” Ejeknya sambil
tertawa.
“Pleaseeeeee.”
Aku sudah memasang tampang benar-benar menghiba. Setidaknya biarkan kepulangan
Eric menjadi sesuatu yang indah di rumah, bukan justru sebaliknya.
“Aku yakin kalau mahasiswamu tahu
tampangmu yang seperti itu pasti mereka bakal ketawa.” Eric meledekku lagi.
“I don’t
give a damn. So? Selama ini kamu kemana saja, Ric?” tanyaku.
“Not
much. Just travelling.” Jawabnya singkat.
“Seriously?
Hey aku tahu banget berapa saldo terakhir di buku tabunganmu.”
“Ahahahahaha apa kamu pikir kakakmu
semiskin itu? No, Love. Aku sudah mendapatkan pekerjaanku.” Eric mengerlingkan
matanya.
“AAAAAAAAAAAAAAAAAAKKKKKK. Really? Aku ikuuuut
seneng banget. Pasti ayah bangga sama kamu. And, kamu kesini juga akan
memberikan surprise Mom kan?” tanyaku meyakinkan.
“Hahahahahaha ketahuan deh. Memang sih
kalo masalah surprise me-nyurprise benar-benar keahlian adik kecilku ini.” Eric mengacak-acak tatanan
rambutku dan kami pun tertawa.
Setelah dua tahun Eric pergi dari kehidupanku
dan Mom. Sekarang dia kembali membawa tawa, membawa kebanggaan, meskipun dulu sempat
berselisih pendapat dengan Mom lantaran Mom tidak mengizinkan Eric untuk
menjalani suatu profesi yang sudah menjadi bagian dari hidupnya selama lebih
dari 27 tahun ini, melukis. Karena alasan itulah Eric pergi meninggalkan rumah.
Aku dulu sempat berpikir bahwa Eric melakukan tindakan yang kelewat batas,
maksudku aku juga dilarang untuk hidup di ‘jalurku’, tetapi setidaknya jangan
pernah pergi dari rumah. Dan kini aku sadar, terkadang kita perlu untuk sekali
saja memilih untuk menjadi diri kita sendiri. Terlepas dari pertanyaan apakah orang
lain akan menerima kita atau tidak.
“You
know, kamu berhasil Ric. Mengejar mimpimu. Look at me now!! Aku harus terus hidup di lingkup harapan ayah. Sangat
menyebalkan hidup di ekspektasi orang lain, Ric.” Wajahku tiba-tiba berubah
menjadi sendu.
“Sepertinya Bu Dosen sedang mengeluhkan
tentang pekerjaannya.” Sahut Eric.
“No,
ini bukan hanya tentang pekerjaan. Ini semua tentang passion, spirit, dan yang lebih penting lagi ini tentang hidupku,
Ric. How many times do I have to see my
dreams get burned by the same flame? That was suck as you know. I’m not that success,
Ric.” Aku mulai menutup wajahku dengan kedua tanganku.
“Apakah kamu yakin semua mimpimu
benar-benar telah sirna, Love? Are you
sure? What about this?” Eric menunjukkan sesuatu kepadaku.
“That’s
ehm hadiah kelulusan untuk adik kecilku yang selalu mengeluh. Listen, Elisa! Mungkin kamu tidak sedang
hidup di track yang kamu pilih, tapi
setidaknya kamu tidak sedang berjalan di track
yang salah. Aku lebih tidak setuju jika adik perempuanku satu-satunya nekat
melakukan hal bodoh untuk meraih apa yang dia diinginkan. Look at you!! Kamu lebih dari sukses karena kamu bahkan bisa lulus
di bidang yang sama sekali bukan bidangmu, Sayang. Kamu bisa melakukannya
karena kamu hebat, karena kamu cerdas, kamu memiliki keahlian lebih dari satu
bidang. Then, why I choose to be this
way? Karena aku tidak secerdas dirimu, aku tidak paham dengan teori Trigonometri
Matematik atau Hukum Archimedes. Aku hanya bisa ahli di satu bidang saja. You are more powerful than me, Love. Kamu
mungkin tidak menjadi aktris opera seperti yang kamu harapkan, tetapi kamu menjadi
aktris opera dalam hidupmu sendiri dan kamu benar-benar berhasil melakukannya,
gadis bodoh!” Eric menggenggam tanganku sembari menyelipkan dua tiket opera di Royal
Opera House, London plus tiket pesawat
pulang-pergi.
Aku langsung meraih tubuh pria itu. Menangis
sejadiku. Untuk pertama kalinya di dalam hidupku, aku tidak lagi merasa
berjalan di track yang salah. Untuk pertama
kalinya di dalam hidupku, aku bersyukur menjadi Elisa yang sekarang, bukan
Elisa yang tenggelam dengan mimpi yang telah dikuburnya. Setidaknya aku bisa
bangkit dan menciptakan mimpi lain, mimpi lain yang membawaku pada kesempatan
lain untuk diraih. That’s the way it’s works
anyway.
Tiba-tiba aku teringat sesuatu. Angga. Aku segera
meraih ponselku dan mengetikkan beberapa kalimat untuknya.
To : Angga
Angga, just do whatever you wanna do! Asal kamu
bisa bertanggungjawab dengan keputusanmu. Ibu akan lebih senang jika kamu
menjadi dirimu yang lebih semangat meski artinya kamu harus keluar dari kelas
Ibu, daripada harus melihatmu tidur di pojokan beralaskan hand-book seharga
ratusan ribu. Keluarlah, Nak. Temukan ‘kelas’-mu sendiri dan berbahagialah. (Elisa).
Komentar
Posting Komentar