Langsung ke konten utama

Hiduplah Untukmu

Maka yang mengusikku tak perlu lagi.
Yang menumpahkan tinta di atas bajuku tak perlu dihiraukan lagi.
Meski, sesekali bulan harus turun setengah tinggi dan memeluk bayanganku yang tidak akan hidup kembali.
Tak apa.
Aku memang tidak seharusnya seperti itu.
Memang tidak sepatutnya memenangkan jiwa itu.
Kau?
Kau mempercayai seutuhnya bahwa aku masih memiliki jiwa.
Tetapi sedikitpun aku bahkan tidak pernah merasakan kehadirannya.
Kau hanya bermimpi.
Berusaha menggapaiku dengan cakarmu atau dengan ke-aku-anmu.
Kau lupa satu hal, bahwa selamanya jiwa yang telah hilang tak akan pernah hadir kembali.
Sekalipun aku hadir dalam bentuk yang baru dengan sisa jiwa yang usang.
Aku masih memiliki peluang untuk membunuhmu, persis seperti kau membunuhku.
Jadi, mungkin sebaiknya memang kita tidak pernah saling menunjukkan diri masing-masing.
Untuk keselamatanku dan juga untuk metafora hidupmu.
Seberapapun keras usahaku untuk hidup di tubuh setiap gadis.
Kau tak akan pernah menemukan aroma yang sama.
Bukankah kau yang selalu menemukanku melalui aromaku?
Kau yang selalu datang.
Namun, tidak lagi.
Sejak saat itu.
Tidak ada rangkaian bunga yang kau kirim ke persinggahanku.
Tak ada uap-uap doa yang kau amini.
Hujan akan membususkkan setiap kenangan yang tinggal.
Maka, hiduplah seperti mereka menjalani kehidupan.
Kau tidak akan pernah hidup bersama orang yang kau bunuh.
Selamanya, aku hanyalah patung kosong tanpa jiwa.
Kau bahkan akan sangat jijik melihatku.
Hiduplah.
Karena diantara kita, hanya kau yang kuat dan ditakdirkan untuk itu.
Aku tidak akan pernah membiarkan perasaan itu lebur.
Karena cepat atau lambat setiap kata akan ikut terkubur.

Hari ini, aku bisa merasakan kehadiranmu tanpa sebab.
Aku bisa mendengar detak jantung dan auramu menyeruak.
Aku masih kuat.
Untuk sementara waktu.
Sejauh aku masih bisa menguasai yoki-ku.
Sejauh aku bisa mengendalikan angin di dalam hatiku.
Itu saja.
Ada di suatu masa yoki-ku justru akan menyerangku.
Sebelum itu terjadi, aku akan menghentikannya.
Dan kau, tetaplah seperti itu.
Hiduplah dengan wanita yang kau pilih.
Jangan memilih aroma yang sama denganku.
Karena selamaya aku tidak akan hadir kembali.
Inkarnasiku telah aku tutup seutuhnya.
Dan biarkan jiwaku tenang.



Regards.
Yours



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hai Januari

Hai, Januari. Bulan suciku. Bulan dimana aku 22 tahun yang lalu hanya seonggok daging yang bisa jadi dihidupkan. Atau bisa jadi kehidupan itu dibatalkan. Januari berbekas seperti sisi luka yang tidak pernah mereka tahu. Mereka hanya melihat, tidak menatap tajam. Mereka hanya lewat, tidak merapat. Bulan yang penuh hujan air mata. Ah, andai aku bisa membendungnya. Sedikit saja agar mata ini tidak membengkak kemudian mengumbar tanya. Ada apa dengan matamu? Kemudian aku buru-buru membungkusnya dengan kerutan senyum yang aku buat sendiri. Sembari mengucapkan aku tidak apa-apa versiku sendiri. Hai, Januari. Kau ingat lilin yang meleleh di pelataran tart mewah itu? Kau ingat bungkusan indah yang terbalut pita biru muda yang anggun? Aku masih mengingatnya, tetapi seingatku aku telah lama membuangnya. Bagiku semua itu sudah tidak ada pengaruhnya pada hati yang mulai meradang ini. Radangnya sudah bercabang, hingga membentuk kubangan luka yang ku sebut...

It's Just for Nothing

KARENA SEMUA INI PERCUMA. Percuma. Percuma setiap hari aku berharap kau membaca semua tulisanku. Percuma setiap saat aku berharap kau akan sadar bahwa aku ada untukmu. Percuma setip waktu aku berharap kau akan datang kepadaku. Benar-benar payah. Lebih baik aku lepaskan saja sosokmu itu. Yang dahulu merogoh masuk ke dalam jiwaku dan menembus menguliti dinding hatiku yang kelam. Sudah tidak berarti saat ini. Sudah tidak berpengaruh lagi. Hari ini aku putuskan untuk tidak lagi menjadi manusia menyedihkan bernama diriku. Bukankah seharusnya cinta itu diperjuangkan berdua, bukan sendiri? Aku terbahak dalam imajiku sendiri. Mengumpat pasrah tentang paradox rasa yang hingga saat ini masih susah aku cerna. Aku tersedak dalam stigma-stigma yang bahkan aku sendiri tidak paham tentangnya. Aku tersudut di ujung pikiranku yang tumpul. Aku tersisih di penghujung hatiku yang kian membeku.  Aku terbawa arus hingga ke seberang dan aku tidak mampu berenang, pun menyelam. Sem...

Pesan Singkat

12 November 2014 Tuhan, aku malu. Aku malu memandang wajah teduh yang menyilangkan senyum pasi itu. Aku malu melihat senyum yang sebaiknya tidak pernah kulihat itu. Aku terlampau malu hingga aku hanya bisa memandang jari kakiku sendiri. Tuhan, bolehkah aku melihatnya sekali lagi? Sebelum aku mengurung semua uap-uap memoar ini dalam bingkai kenangan? Hari ini aku berpikir kau tidak akan datang. Satu, dua, tiga, dan aku terus menghitung hingga detik ke sekian ribu. Aku masih saja belum mencium aroma tubuhmu. Aku kembali menghitung, dan pada hitungan kesekian aku teringat kembali serentetan kejadian yang seharusnya tidak pernah terjadi. Yang seharusnya tidak pernah berubah menjadi kenangan yang hanya akan usang dan berdebu seperti aroma rumah tua yang ditinggalkan penghuninya.  Aku kembali duduk santai di tempat duduk dimana aku mengerjakan tugas akhirku. Ada hasrat menghubungimu, tetapi untuk keperluan apa? Aku bahkan bukan partnermu. Aku hanyalah wanita dengan bol...