Langsung ke konten utama

Paradoks Wanita, Pria, dan Cinta


Malam itu, saya bertemu teman yang kebetulan baru saya kenal beberapa bulan terakhir. Dia mengajak saya bersantai di sebuah kedai kopi tidak jauh dari domisili saya. Hal pertama yang membuat saya risih adalah tatapan matanya dan juga senyumnya yang lebih condong ke arah "tidak sopan". Tetapi saya hanya diam dan tetap tenang sembari membolak-mbalikan buku menu dan memesan satu minuman dingin.

Perbincangan dimulai. Tidak banyak yang berarti dalam perbincangan malam itu, terasa hambar dan garing karena saya tahu dia sebenarnya sedang berusaha memenangkan sesuatu. Entahlah akhirnya suasana membawa kita pada meja hijau dimana saya adalah terdakwa dan dia adalah seorang hakim ketua yang sangat arogan serta frontal. Agenda persidangan yang dibahas adalah tentang wanita, lebih spesifiknya tentang konsep keamaan dan kenyamanan yang diusung oleh kaum pria ketika mereka berusaha mendekati wanita dambaannya. Saat itu saya berhasil menyelami pikiran lawan bicara saya, bahkan dari cara dia memperlakukan saya  jelas terbukti dia tidak memiliki rasa tanggungjawab dan juga tidak memiliki sedikitpun rasa melindungi terhadap wanita. Saya hanya mengangguk-anggukan kepala dan berusaha melihat lebih banyak. Sampai akhirnya saya pulang malam itu juga, dia tidak berusaha untuk mengantar saya ataupun menawarkan tumpangan untuk saya. Mengingat saya adalah wanita biasa yang pulang malam sendiri. Dalam konteks ini jelas yang saya rasakan adalah jengkel. Memang jarak tempat domilisi saya tidak terlalu jauh dari tempat saya nongkrong, tetapi saya berpikir bahwa lelaki normal akan memastikan saya sampai di rumah dengan selamat. Satu point yang saya dapat. Dia bukan  tipe pria yang bertanggungjawab. 

Bukan bermaksud untuk menghakimi seorang hakim, tetapi memang seperti itulah pada kenyataanya. Sifat dan sikap seseorang bisa dilihat dari hal-hal kecil yang mereka lakukan. Dan hal kecil tersebut menggambarkan sesuatu yang lebih umum, manifestasi dari bentuk "sesungguhnya" yang berusaha ditutupi oleh "keindahan buatan".  Sejujurnya saya merasa prihatin dengan kaum pria pada era sekarang. Banyak diantara mereka yang lebih mementingan diri sendiri dibandingkan wanita. Masih ingat konsep "Ladies first?" Saya rasa semua itu hanyalah semacam pepatah lawas yang tidak memiliki makna untuk diimplementasikan.
Pagi ini, seorang pria nyaris menabrak saya karena dia memotong jalan saya. Dan yang membuat saya heran, pria tersebut justru menoleh kecut ke arah saya seolah-olah saya yang salah. Saya hanya diam, selagi tidak ada yang terluka saya tidak akan mengoceh yang neko-neko. Percuma menegur orang di jalan, karena orang seperti itu akan selalu merasa benar dan orang lain yang salah. Mungkin itu yang membuat kaum pria kebanyakan enggan meminta maaf terlebih dahulu dalam hal apapun. Entahlah apakah mengucapkan maaf memiliki esensi yang sangat nista bagi kamu pria kebanyakan. Saya tidak paham, karena saya bukanlah pria. Sejauh apapun saya berusaha menyelami pikiran dan hati mereka, tetaplah semua itu hanya akan menajadi kulit luar yang tidak akan pernah menemui dasar. Kulit selalu akan ada kulit lainnya di dalamnya, begitu seterusnya sampai akhirnya wanita berhasil mengetahui dasar pria itu, tetapi semuanya sudah terlambat. Selalu seperti itu, karena itulah saya kurang percaya dengan konsep “Cinta”. Karena sejauh saya melangkah, saya tahu bahwa cinta itu adalah pemberian agung dari Sang Pencipta. Bukan pemberian manusia biasa yang mengatsnamakan takdir atau apapun itu. Cinta manusia hanya bagian dari kulit terluar yang bahkan telah busuk. Cinta manusia, khususnya pria kepada wanitanya tidak akan berarti apa-apa tanpa cinta yang agung dari Sang Pencipta. 

Entah sejak kapan saya berubah menjadi wanita yang realistis, bahkan terlalu realistis jika dibandingkan dengan wanita sebaya saya. Saya memang terlahir dari backround keluaraga yang tidak harmonis, tetapi juga tidak broken. Saya berada pada ambang batas antara ada dan tiada. Dan hal itulah yang membunuh saya perlahan. Sampai akhirnya saya berani mengambil keputusan terbodoh, yaitu membiarkan orang tua saya seperti itu. 

Banyak yang memaksa kedua orang tua saya untuk saling bersatu karena saya masih memiliki adik perempuan, kebanyakan orang manaruh belas kasian kepada adik saya yang masih sangat kecil dan sudah harus ditinggal ibu saya. Tetapi satu hal yang saya pelajari dari ayah dan ibu, bahwa seperti itulah cara ayah dan ibu mencintai satu sama lain. Tanpa sentuhan, tanpa ucapan, tanpa tatapan, dan mungkin tanpa sapaan. Tetapi saya mampu merasakan hawa hangat yang sangat nyaman ketika saya bersanding di antara keduanya. Aneh memang, atau lebih tepatnya gila. Sangat gila. Tetapi itulah yang saya rasakan. Saya sudah dewasa dalam hal ini, bukan anak kecil yang minta untuk ditemani ibu atau minta dijemput ayah sepulang sekolah. Saya tidak akan lebih jauh memaksa ayah dan ibu untuk bersatu dan menjadi normal. Keluarga kami bukanlah keluarga yang tidak normal, saya menyebut keluarga kami adalah keluarga yang unik. Tidak semua orang beruntung mendapatkan keluarga seperti yang saya miliki. Dan ada harga yang harus dibayar untuk segala keunikan tersebut, yaitu saya harus terbiasa berjalan sendiri dan menjadi kebal. Mampu menjadi penyelamat untuk diri sendiri dan juga wanita lain. 

Lalu kembali ke paradoks wanita dimana kaum lemah lembut yang satu ini membutuhkan perlindungan dan keamanan, tidak mungkinkah wanita hanya mengharap pada angan-angan yang kosong. Seperti jelaga tebal di pagi hari yang akan mengaburkan pandanganmu. Wanita berharap keamanan dan perlindungan dari orang yang bahkan tidak memiliki etika ketika berkendara di jalan. Kepada pria yang bahkan membiarkan wanita pulang malam seorang diri tanpa perlindungan. Kepada pria yang ketika menyetir di jalan selalu ingin menjadi yang pertama tanpa mempedulikan orang lain. Lalu, bisa apa kaum wanita kalau sudah seperti itu? Bahkan sekarng ini yang semakin banyak peraturan dan banyak omong adalah kaum pria. Seberapa banyak wanita yang termakan janji manis seorang atau bahkan beberapa orang pria? 

Miris memang. Kini wanita harus lebih tangguh dari sebelumnya, harus lebih kuat dan bisa menjaga diri sendiri tanpa orang lain. Terlebih musuh utama mereka adalah sesuatu yang menurut takdir Illahi adalah pasangan abadi mereka kelak, yaitu pria. Lalu bagaimana dengan ribuan atau bahkan jutaan kasus asusila yang merugikan wanita dan selalu mengatasnamakan cinta dalam setiap wawancara bersama wartawan ketika si pria berhasil dibekuk aparat atas perilaku bejatnya. Benarkah cita sehina itu? Saya sendiri pernah bertemu dengan salah satu korban perlakuan tidak senonoh yang dilakukan seorang pria atau lebih tepatnya bapak-bapak kepada seorang gadis yang masih di bawah umur. Saya tahu betul bagaimana perasaan gadis tersebut. Wanita, bukankah ke depannya akan menjadi Ibu dari anak-anak bangsa yang cerdas dan berbudi luhur. Tetapi semua itu sepertinya hanyalah menjadi bingkai kosong tanpa gambar yang nyata. Itulah paradoks wanita, pria, dan juga cinta. Tergantung dari segi mana Anda menilai dan sejauh mana Anda mengamati serta mengambil hikmah dari setiap kejadian yang menyeret Anda ke suasana yang tidak menyenangkan bersama seorang pria. Berhati-hatilah bagi kaum wanita, karena kau yang tangguh dan kau yang kuat yang akan menjadikan dirimu wanita sejati. 

Regards,
Dhe
(Untuk semua wanita yang tangguh dan pemberani)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aku ingin pulang......

Pulang. Aku ingin pulang dan menghambur pelukan yang hangat pada siapapun yang kusebut “dia”. Aku ingin pulang dan meletakkan semua kesedihan pada karung kumal untuk kusembunyikan di gudang penyimpanan. Biar tikus dan kecoa menghancurkannya perlahan. Perlahan hingga tanpa sisa, tanpa bekas sedikitpun. Aku lupa arah yang membawaku ke jalan dimana aku kecil adalah Putri Kecil. Aku mungkin akan pulang membawa luka yang lebih parah dari sebelumnya. Tapi aku tidak akan terlihat begitu menyedihkan. Hanya saja aku akan datang dengan kemasan yang berbeda. Menyembunyikan sedikit memar yang tampak. Menyuguhkan senyum manja. Seperti yang sudah-sudah, aku akan mengangkat tinggi-tinggi kepalaku dan tidak akan menunduk lagi.    Pulang. Sudah lama aku tidak merasakan kehangatan roti buatan bunda atau cerita pendek ayah sepulang kerja. Sudah lama hingga aku sadar selama ini aku hanya ditemani nyamuk-nyamuk yang putus harapan. Atau kotak-kotak indah yang dalamnya ternyata hanyalah s...

Now...

Karena hidup adalah sekarang. Bukan kemarin, bukan besok. Dan aku butuh waktu lama untuk menyadarinya. Secuil aku secara tidak sadar mulai hidup kembali dengan kemasan yang baru. Dengan raga yang baru. Dengan ketangguhan yang setiap hari kuamini di setiap doa atas nama orang-orang terkasih. Seperti itulah proses kehidupan, dari sebuah titik hingga menjadi kalimat. Dari sebuah aku sampai menjadi kita. Seperti itulah cara Tuhan menjaga keseimbangan semesta raya dengan rumus empirisnya.  Hidup akan mengikis siapapun yang memilih diam. Yang memilih   menggali lubangnya sendiri. Karena untuk mendaki ketangguhan dibutuhkan sedikit rasa berani. Hanya sedikit, agar manusia tidak menjadi begitu sombong. Hanya sedikit, karena Tuhan menciptakan semuanya sudah pada proporsinya. Tidak kurang. Tidak lebih. Maka, seperti itulah bahagia. Tidak pernah lebih, tidak pernah kurang. Lalu tentang hati, ada password yang harus mereka pecahkan untuk menjajahi hatiku, juga hatimu. Jangan ...

Rindu

Ada rindu yang hanya tanggal secarik tulisan usang. Yang menatapku lekat-lekat di kamar 4x4 dengan harap yang tak lagi hidup. Sudah lama mati. Rindu itu menjelma malam yang dingin yang pasrah dijajah pagi, menjelma awan hitam yang kelihatannya kuat tetapi ketika disentuh hanyalah gantungan asap yang rapuh. Rindu itu semrawut, tidak tertata dengan indah seperti buku cokelat yang kuhadiahkan sebagai kado ulangtahun pada seseorang.  Rindu itu kacau. Semakin kau tahan, semakin manja dan tak tahu diri. Mungkin, di antara aku dan kamu, ada pesan yang belum tersampai. Ada naskah yang belum sempat diketik ulang, ada banyak proposal yang belum sempat ditantangani, dan ada ribuan kata yang belum sempat dideklarasikan. Lalu, jika pagi datang dengan senyumnya, aku mengingat segala ucapan semangat dan selamat pagi yang dulu sering membanjiri kotak masuk phonecellku hingga penuh sesak. Tapi seiring dewasanya pagi, semuanya sepi. Hening. Alam seakan tidak mau berisik karena tak...