Langsung ke konten utama

Let it Fly Away

Mungkin kau benar. Kebebasanku saat ini hanyalah angan-angan yang mengamuk dan telah manjadi luka dengan penuh borok yang busuk.
Mungkin kau benar. Selama ini aku beradu dengan peluhku sendiri mencapai sesuatu yang kusebut puncak dari segala puncak.

Kebebasan itu sebenarnya palsu, sangat palsu. Bahkan kita sendiri sebagai manusia seringkali terkurung dalam kebabasan yang kita ciptakan dengan secara tidak sengaja. How was that happen to us? Simple saja. Manusia seperti kita seringkali terkurung dalam pikiran yang membesarkan impian kami sendiri, tanpa bisa mengendalikan pikiran tersebut. Sampai suatu ketika pikiran itu berubah menjadi manja dan menuntut untuk dipenuhi. Itu yang mereka sebut bebas. Bebas berkreasi, bebas bergaul, bebas bersuara. Padahal pada kenyataannya otak mereka tumpul dengan aturan-aturan saklek yang diterapkan oleh sistem dari entah, pergaulan mereka terbatas sesuatu yang mereka anggap "aman" dan "wajar", dan juga suara mereka tercekik di perbatasan antara realita dan maya. Miris. Tetapi itulah manusia yang kita kenal. Yang seringkali mengandalkan kebebasan dan hak asasi pribadi untuk melakukan sesuatu yang bahkan lebih tidak manusiawi. Sama sekali tidak manusiawi jika kita memahami hakikat bebas itu sendiri.

Pada kenyataanya, kebebasan itu tidak ada. Manusia hidup dan dijerat dengan aturan-aturan yang terwujud dari entah. Kemudian mereka yang menyebut diri mereka manusia sejati mengatasnamakan kebebasan untuk meraih sesuatu. Ambisi, obsesi, dan juga misi yang cenderung kadang terlalu konyol. 

Bebas memilih pasangan hidup, bebas memilih hidup yang seperti apa, bebas memilih jalan mana yang mereka akan lalui, pertanyaannya hanya satu. Benarkah manusia-manusia itu sebebas itu? Atau semua itu hanyalah alih-alih untuk menyamarkan borgol yang ada di tangan mereka dan rantai di pundak mereka? Think wiser and deeper then.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hai Januari

Hai, Januari. Bulan suciku. Bulan dimana aku 22 tahun yang lalu hanya seonggok daging yang bisa jadi dihidupkan. Atau bisa jadi kehidupan itu dibatalkan. Januari berbekas seperti sisi luka yang tidak pernah mereka tahu. Mereka hanya melihat, tidak menatap tajam. Mereka hanya lewat, tidak merapat. Bulan yang penuh hujan air mata. Ah, andai aku bisa membendungnya. Sedikit saja agar mata ini tidak membengkak kemudian mengumbar tanya. Ada apa dengan matamu? Kemudian aku buru-buru membungkusnya dengan kerutan senyum yang aku buat sendiri. Sembari mengucapkan aku tidak apa-apa versiku sendiri. Hai, Januari. Kau ingat lilin yang meleleh di pelataran tart mewah itu? Kau ingat bungkusan indah yang terbalut pita biru muda yang anggun? Aku masih mengingatnya, tetapi seingatku aku telah lama membuangnya. Bagiku semua itu sudah tidak ada pengaruhnya pada hati yang mulai meradang ini. Radangnya sudah bercabang, hingga membentuk kubangan luka yang ku sebut...

It's Just for Nothing

KARENA SEMUA INI PERCUMA. Percuma. Percuma setiap hari aku berharap kau membaca semua tulisanku. Percuma setiap saat aku berharap kau akan sadar bahwa aku ada untukmu. Percuma setip waktu aku berharap kau akan datang kepadaku. Benar-benar payah. Lebih baik aku lepaskan saja sosokmu itu. Yang dahulu merogoh masuk ke dalam jiwaku dan menembus menguliti dinding hatiku yang kelam. Sudah tidak berarti saat ini. Sudah tidak berpengaruh lagi. Hari ini aku putuskan untuk tidak lagi menjadi manusia menyedihkan bernama diriku. Bukankah seharusnya cinta itu diperjuangkan berdua, bukan sendiri? Aku terbahak dalam imajiku sendiri. Mengumpat pasrah tentang paradox rasa yang hingga saat ini masih susah aku cerna. Aku tersedak dalam stigma-stigma yang bahkan aku sendiri tidak paham tentangnya. Aku tersudut di ujung pikiranku yang tumpul. Aku tersisih di penghujung hatiku yang kian membeku.  Aku terbawa arus hingga ke seberang dan aku tidak mampu berenang, pun menyelam. Sem...

Pesan Singkat

12 November 2014 Tuhan, aku malu. Aku malu memandang wajah teduh yang menyilangkan senyum pasi itu. Aku malu melihat senyum yang sebaiknya tidak pernah kulihat itu. Aku terlampau malu hingga aku hanya bisa memandang jari kakiku sendiri. Tuhan, bolehkah aku melihatnya sekali lagi? Sebelum aku mengurung semua uap-uap memoar ini dalam bingkai kenangan? Hari ini aku berpikir kau tidak akan datang. Satu, dua, tiga, dan aku terus menghitung hingga detik ke sekian ribu. Aku masih saja belum mencium aroma tubuhmu. Aku kembali menghitung, dan pada hitungan kesekian aku teringat kembali serentetan kejadian yang seharusnya tidak pernah terjadi. Yang seharusnya tidak pernah berubah menjadi kenangan yang hanya akan usang dan berdebu seperti aroma rumah tua yang ditinggalkan penghuninya.  Aku kembali duduk santai di tempat duduk dimana aku mengerjakan tugas akhirku. Ada hasrat menghubungimu, tetapi untuk keperluan apa? Aku bahkan bukan partnermu. Aku hanyalah wanita dengan bol...