Masih
tentang wajah pria menyenangkan itu…
Yah,
masih bercerita seputar ayah. Susah sebenarnya kalau ngobrolin yang satu ini. But,
somehow, we need to tell him that we’re lucky enough for having him.
Well, I would be the first one who
will standing in front of my Dad if someone do something not good with him. I
would be his hero. And he don’t have to be my hero.
Itu
kata pamungkas yang akhirnya mengembalikan aku ke fase semula. Fase yang
semestinya. As a daughter. As a single
fighter. Single, eh? Yap, because I’m still standing alone by my self.
Ada
beberapa hal yang kadang membuat aku berpikir tentang, benarkah ayahku
benar-benar menyayangiku? Sudah pasti iya jawabannya. Nah, lantas mengapa aku
sulit sekali menyentuh hatinya, bahkan hanya untuk bercerita tentang ikan peliharaanku
yang mati, teman kuliahku yang kece abis, atau hujan yang secara tidak senonoh
membasahkan jemuran yang lupa kuangkat. Hanya sesederhana itu, tetapi aku tidak
pernah bisa melakukanya. So funny. Bahkan
usiaku sudah hampir 22 tahun. Hello? I should
be mature. Sudah saatnya aku talk up
dan show him that I have been growing up.
So we need to talk, as an adult.
So that malam itu, aku berusaha menghubunginya melalui line telfon. Entah
kenapa sejak aku pulang dari bekerja (as
a freelance teacher) tiba-tiba air mataku keluar tidak tertahankan. Aku berusaha
menahannya tetapi percuma, air mata itu terlalu deras hingga jatuh bahkan di
saat aku masih mengendalikan kemudi kendaraanku. Satu hal yang aku rasaka,
hampa.
For what else I live for? Itu pertanyaan
terbesarku.
Apa
kabar dengan pendidikanku? Kuliahku tinggal tugas akhir (skipsi).
Dan
aku melakukan kesalahan di penelitian skipsiku, so I have to start over again. Everything. Suck. That’s a life I think.
Kadang kita menang, kadang kita kalah.
Mungkin
saat ini posisi yang paling bagus untukku adalah posisi sujud di tanah dan
mengakui semua kelemahanku di hadapan Tuhanku.
Itu
adalah beberapa hal yang membuatku terpaksa menelfon ayahku. Masalah finansial
juga termasuk di dalamnya. Aku meruntuhkan harga diriku yang sudah aku bangun
selama 3,5 tahun hanya dengan kalimat, “Aku benar-benar tidak memiliki uang di
tabungan. Aku butuh bantuanmu.” And my
Dad was so surprised. Lantas diam. Telfonku mati. Ternyata pulsaku habis. Tidak
ada telfon balik dari beliau. Aku hanya menghela nafas dan berbisik lirih
kepada Tuhanku agar aku dikuatkan. Tidak lebih.
Malam
itu aku menyalin ulang semua perasaan yang aku rasakan akhir-akhir ini. Lucunya,
akhir-akhir ini justru aku sering berbicara dengan diriku sendiri. Sebuah perasaan
yang sulit digambarkan. Hanya aku yang bisa mengetahuinya. Sisi lain dari
diriku lebih tepatnya.
Bahkan
di saat aku berbagi cerita melalui blog ini, aku baru saja menolak ajakan
teman-teman kosku untuk nonton dan sekedar menghabiskan waktu di mall. Ada kerja
sampai malam, alasanku. Dalam hati sebenarnya aku lebih memilih tidak bergabung
karena aku memang ingin sendiri. Memahami diriku. Menuliskan cerita yang bisa
jadi akan menginspirasi pembacaku atau bahkan hanya duduk santai sembari
menikmati secangkir kopi. I need “me time”.
Afternoon Tea |
Kemudian
aku membuat problem list dimana aku menyebutkan beberapa hal yang mungkin
menjadi alasan mengapa semangatku tiba-tiba luntur seperti tinta yang
dicelupkan ke dalam air.
1. Kehilangan
semangat berjuang?
Terkadang
aku membutuhkan alasan yang menjadikanku semakin kuat. Bisa jadi keluarga, bisa
jadi sebuah materi, bisa jadi sahabat, atau bisa jadi apapun yang menurutku
berharga dan aku harus bertahan untuknya. Dan tidak hanya aku, kita semua
membutuhkannya. Terkadang kita harus menuliskan list nama-nama orang yang membuat kita terus berjuang atau
setidaknya nama-nama yang tidak ingin kita kecewakan. But for me, I have a blank space
at all. Dan kabar buruknya, kadang nama-nama dalam list itu adalah
mesin pencetak semangat yang paling ampuh.
Kemudian
aku mulai berpikir siapa yang membuat aku bertahan akhir-akhir ini. Setidaknya beberapa
nama yang masih mau tinggal di saat yang lain justru meninggalkan. I got them. Yah, aku menuliskan nama. Masih
ada tujuh nama.
2. Kembali
pulang kemana?
Aku
atau mungkin semua manusia di dunia ini as
a normal person selalu memiliki tempat, hunian, bentuk wujud nyata suatu
bangunan atau apalah itu yang kita sebut rumah. Terlalu sempit jika kita menggambarkannya
hanya sebagai bangunan. Rumah adalah lebih dari itu, rumah adalah sebuah perasaan
dan tempat hati menaruh semua lelah, memperbaiki perban, mengisi bahan bakar
ketika sudah mulai enggan untuk berjalan. Rumah adalah sebuah semangat kelas
tinggi yang hanya dapat tumbuh pada kash sayang yang tepat. Rumah adalah sebuah
surga bagi yang merindukan masa kecilnya. Rumah adalah tempat pulang yang tidak
akan pernah menolak penghuninya, entah si penghuni pulang dalam keadaan cacat,
babak belur, atau bahkan hanya tinggal nama. Rumah tidak pernah menolaknya.
Aku
menginginkan tempat itu. Sementara ini tempat itu masih belum bisa berfungsi
sebagaimana mestinya. Rumah itu masih belum siap untuk aku datangi. Yah,
mungkin lima atau tujuh tahun lagi. Aku harap aku bisa memiliki tempat pulang
yang sesungguhnya.
3. Aku
butuh pahlawan?
Selama
ini aku terlalu sibuk mencari pahlawan. Terlalu sibuk memperbaiki diri dan
meningkatkan kualitas diri hanya untuk meningkatkan probabilitas “dicintai”
oleh seorang pahlawan. Tanpa aku sadar aku telah berjuang sendiri dan telah
menggunakan senjata yang biasa digunakan oleh pahlawan dalam bertempur. Yaitu keberanian.
Aku ternyata juga memilikinya. So,
bagaimana jika memang aku ditakdirkan menjadi pahlawan dan bukan sebagai gadis
cantik yang disandra? That’s it. Kadang
aku terlalu buta untuk memahami hal-hal seperti itu. Aku tidak akan bangun dari
mimpi panjang berlebihan itu jika realita tidak menamparku dengan keras.
Just face it, you’re not the one who
need protection. You’re the one who will protect.
4. Tapi di
sisi lain, mandiri bukan berarti sendiri!
Kalimat
itu diucapkan oleh seorang senior yang aku hormati. Mungkin dia selama ini
melihatku seorang diri, melihatku sulit untuk sekedar percaya dengan orang lain
atau percaya dengan lawan jenis. That’s
why aku sampai sekarang masih single dan bermaksud melanjutkan ke-single-an
itu for 2 or maybe 3 years ahead.
Bagiku,
hati adalalah aset berharga. Sekali kau mempercayakan hatimu kepada seseorang,
maka bagian tubuhmu yang lain akan mengikuti. That’s why aku masih belum siap untuk menjalin hubungan dengan pria
manapun. Mungkin sampai ada seorang pria yang benar-benar tulus mencintaiku dan
bersedia berkomitmen dalam ikatan yang sakral.
And this is the end of the afternoon story…
Ini
hidup. Ini kehidupan. Aku dan semua manusia yang masih menyandang tittle “hidup”
tidak akan pernah lepas dengan yang namanya masalah serta polemik. Tidak peduli
seberapa besar masalah itu. Tuhan cukup adil dalam membaginya dengan kuantitas
yang menurut Dia seimbang.
Ini
proses. Tidak ada elevator untuk mencapai kesuksesan. Setidaknya dengan adanya
berbagai keterbatasan yang kita miliki, kita harus lebih rajin berbagi dan
menolong orang lain. Meski hal itu sangat klise, tetapi hal itu sangat ampuh. Berbagi
adalah cara bersyukur yang paling bagus.
Kuat
lemahnya seseorang tergantung dari diri sendiri. Bukan dari orang lain. Orang
lain bisa jadi menyemangati, tetapi orang lain sekali lagi hanya sebagai
penonton dalam pertandingan. Sedekat apapun hubungan kita dengan orang lain
tetap saja tidak mematahkan kenyataan bahwa yang bermain di arena pertandingan
adalah diri kita, bukan penonton. Dan bisa jadi, penonton mendukungmu di saat
menang, tetapi mencampakkanmu di saat kau tergolek kalah.
Always
be valueable person for the people around us. God bless us more and more.
dhe.
Komentar
Posting Komentar