Hai, Januari.
Bulan suciku.
Bulan dimana aku 22 tahun yang lalu hanya seonggok
daging yang bisa jadi dihidupkan.
Atau bisa jadi kehidupan itu dibatalkan.
Januari berbekas seperti sisi luka yang tidak
pernah mereka tahu.
Mereka hanya melihat, tidak menatap tajam.
Mereka hanya lewat, tidak merapat.
Bulan yang penuh hujan air mata.
Ah, andai aku bisa membendungnya.
Sedikit saja agar mata ini tidak membengkak
kemudian mengumbar tanya.
Ada apa dengan matamu?
Kemudian aku buru-buru membungkusnya dengan
kerutan senyum yang aku buat sendiri.
Sembari mengucapkan aku tidak apa-apa versiku
sendiri.
Hai, Januari.
Kau ingat lilin yang meleleh di pelataran tart
mewah itu?
Kau ingat bungkusan indah yang terbalut pita biru
muda yang anggun?
Aku masih mengingatnya, tetapi seingatku aku telah
lama membuangnya.
Bagiku semua itu sudah tidak ada pengaruhnya pada
hati yang mulai meradang ini.
Radangnya sudah bercabang, hingga membentuk
kubangan luka yang ku sebut mimpi buruk.
Aku terbangun setiap malam dan membayangkan
bagaimana Januari mengkhianatiku dan menghabisiku dengan satu kata.
Berakhir.
Benar semuanya memang sudah berakhir sejak
deklarasi sepihak itu dilontarkan.
Tetapi, aku kemudian kembali meski tidak ada
seorang pun di sana.
Aku mencomoti pecahan hatiku yang sengaja dipajang
pada sepanjang ruang pertemuan itu.
Aku mengumpulkannya kembali dan memberi mantra
tradisional agar ia kembali utuh.
Tetapi sepertinya aku salah mengucapkan mantranya.
Hati itu telah kaku dan mendambakan beberapa
gundukan tanah merah di liang lahat.
Maka, Januariku kali ini akan aku dedikasikan
untuk hatiku yang telah babak belur dihajar perasaannya sendiri.
Yang telah berakhir di kedamaian.
Semoga Tuhan selalu merengkuh hati itu dan
menjaganya dari kedinginan.
Aku hanya khawatir cuaca di underworld tidak cocok
denganmu.
Hai, Januari.
Aku kembali lagi.
Untuk memberimu maaf dan mengentaskanmu dari
pesakitan.
Mari aku lepaskan borgolnya.
Kemudian pergilah.
Kau bebas sekarang.
Dhe.
Komentar
Posting Komentar