Langsung ke konten utama

I'm Leaving



“Aku hampir menenggelamkan sedan ke sungai, Ndre!” Teriakku.

“Aku hampir mencelakakan orang. Kamu bilang aku baik-baik saja? Kamu buta!!” Tambahku. 

Aku menyegerakan kakiku melangkah dari kedai kopi itu dan bersatu dengan keramaian di jalan. Meski aku sendiri tidak paham dengan keramaian macam apa yang sedang aku hadapi. Kepalaku terasa pusing. Ribuan kunang-kunang berebut bermain di sela-sela rambutku. Aku tidak mampu melihat dengan jelas. Semua hambar. Semua buyar.

***

“Kamu oke?” Tanya Andre dengan raut muka cemas dan penuh tanda tanya.

Aku memalingkan wajah ke arah lain. Menyapu seluruh pandangan. Di atasku banyak bintang-bintang bertebaran. Mendung yang tebal tidak sampai hati untuk menutupi keindahan pancaran sinar bintang itu. Aku tersenyum sembari menutup sebelah mata.

“Eh kampret! Malah senyum. Heh, Kamu gak papa?” tegasnya lagi.

Aku hampir lupa kalau kepalaku saat ini sedang berada di pangkuan pria tengil bernama Andre. Mirip adegan di film-film romantis. Segera aku bangun dan memicingkan mata. Bussset. Aku bener-bener pingsan.

“Ah sial. Aku kira tadi aku udah sampai surga, Ndre.” Celatukku. 

“Surganya kambing? Ah, yok buruan aku anter ke dokter. Dokter langgananmu dimana?”

“Gak usah. Aku bisa sendiri. Aku lagi gak pengen ke dokter.” Ucapku sambil memegangi kepala.

“Kamu akhir-akhir ini sering pingsan ya?” alis di wajah pria itu mengangkat sebelah. Cukup tampan. Ah, apa ini efek pingsan. Aku semakin gila tampaknya.

“Gak sering sih. Baru dua kali. Aku gak papa. Hanya anemi biasa aja.” Aku sudah mampu menguasai tubuhku. Kunang-kunang yang tadi sedang asyik berpesta seakan takut dengan kehadiran Andre.

Sejurus kemudian aku melihat tubuh tegap Andre bangkit dari kursi kayu bercat merah yang sedang aku duduki dan pergi menuju ke suatu tempat... Lagi-lagi tidak jelas. Ah sial, umpatku.

Aku membiarkan angin malam menikmati tubuhku. Aku menengadah dan lagi-lagi terpesona dengan pancaran bintang di lagit mendung itu. 

“Ini, makan dulu.” Andre memberikan sebuah burger dan segelas smoothy untukku.

“Oh, terima kasih banyak, Tuan Penyelamat.” Aku nyengir sambil menunjukkan deretan gigiku yang mungil.

Anytime.” Jawabnya sok pahlawan.

Pria itu masih memandangiku dengan penuh ekpresi yang sama sekali tidak mampu kudekteksi. 

“Kenapa?” tanyaku sambil mengunyah beef burger berukuran jumbo itu.

“Heh, monyet! Harusnya aku yang tanya gitu. Kenapa? Kenapa tadi tiba-tiba main lari aja dari tempat nongkrong? Oke, sekarang aku paham there’s something wrong with you indeed.” Ungkapnya tanpa memandang wajahku.

What was that? Just tell me!” 

“KA-MU SA-KIT JI-WA” bisiknya di telingaku sembari melarikan diri ke sand land yang terletak di dekat taman.

“Bangke!!!” teriakku keras sambil mengejar pria tengil itu.

“Hahahahaha kena kau, Bung!” teriakku girang sambil menenteng lengan baju pria itu dan membawanya duduk di kursi bercat merah seperti semula.

“Udah dong kejar-kejarannya,” pintanya memelas.

“Nah lhoh siapa yang mulai, cobak?” sebuah bogem empuk mendarat sukses di kepala pria itu. Biasanya dia akan memberontak atau setidaknya membalas dengan mengacak-ngacak rambutku. Tetapi kali ini lain. Pria itu hanya senyum. Aku jadi sedikit ngeri. Aku lebih nyaman dengan dia yang garang daripada dia yang santun. Senyumnya seperti seorang gay yang menemukan buruannya. Aku terkekeh membayangkan wajah garangnya.

“Malah nglamun,” ucapnya membuyarkan fantasi liarku.

Aku mengerlingkan mata kepadanya, dia tahu kalau hal itu tandanya aku sedang berpikir sedikit “nyleneh”.

“Sorry ya, Dhe. Aku gak pernah benar-benar mendengarkanmu akhir-akhir ini. Aku justru sibuk sama Nabila. Sorry banget. Harusnya selama ini aku ada di deketmu. Bukan malah ilang gak jelas kayak gini,” wajahnya tertunduk lesu.

“Santai aja kali, Ndre. Aku tahu mana yang harus kamu prioritaskan,” ucapku sedikit berbohong. Sesungguhnya aku berharap aku ada di posisi teratas pada skala prioritasmu. Tetapi, aku tidak cukup egois untuk menuntut hal itu kepadamu. Bahkan untuk mengatakannya. 

“Aku yang minta maaf, Ndre. Aku gak seharusnya marah-marah seperti tadi. Aku Cuma gak tau akhir-akhir ini sering hilang kendali. Sering marah tanpa sebab yang jelas. Orang-orang di rumah sering kena imbasnya,” jelasku.

“Mungkin kamu cuma butuh teman berbagi, Dhe. Kabar orang rumah oke?” tanyanya.

Aku mengangkat bahu.
I Should Leave Now or Die Here

Aku sedang tidak ingin membahas orang rumah. Aku baru saja bertengkar dengan beberapa orang yang berpengaruh di dalamnya. 

“Gimana kakak masih sering berantemin kamu?” lanjutnya.

Aku mengangguk perlahan.

Bagaimana mungkin seorang kakak perempuan yang seharusnya menjadi panutan untuk adiknya justru menjadi musuh utama. 

“Ndre, aku pengen kabur,” ucapku lirih.

You’re not drunk, aren’t you?”. Aku tahu ada ekpresi kaget di dalam kalimat itu.

No, I’m pretty sober.” Tegasku.

“Jangan kayak anak kecil gini,” ucapnya enteng.

You’ll never understand, Ndre.” Bisikku. 

Maybe I won’t, tapi aku berusaha hadir di realitamu, bukan di alam pikirmu yang rumit itu. Karena aku sendiri tidak bisa menjamin bahwa aku bisa memahami Aquarius sepertimu. Listen! Dengan kamu kabur, masalah gak bakal selsai. Itu pertama. Kedua, kamu sudah besar. Secara mental kamu sudah bisa mengurus dirimu sendiri. Kenapa main kabur-kabur segala? Di kamus orang dewasa gak ada istilah kabur, Dhe. Yang ada adalah perenungan. Introspeksi diri. You might be need somewhere to go. Outside alone. To figure everything out. Not to mess your mind, okay?” Andre berusaha bernegosiasi denganku.

Aku hanya tertunduk tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Aku memberikan kesempatan Andre untuk menyelesaikan kalimatnya.

“Lagi pula, saat ini orang-orang di sekitarmu sedang membutuhkan kamu,” tambahnya.

“Tidak dengan kakakku!” Aku memotong tajam.

“Ya, mungkin tidak dengan kakakmu. Tetapi masih banyak yang peduli kepadamu. Look at yourself! You are great. You are amazing.

Perfect. That’s why my sister always get jealous with me, isn’t she?” aku membuang pandangan.

“Ndre, listen up! Selama ini aku selalu nurut sama mereka. Aku selalu menjadi nice girl-nya ayah dan ibu. Bahkan aku rela melepaskan status pendidikanku ketika ayahku menyuruhku demikian. Aku rela melakukan apapun untuk mereka. Tetapi, mengapa mereka justru menganggapku sebagai beban? Selama ini aku bekerja untuk siapa? Aku pulang untuk siapa? Aku kuliah untuk siapa? Untuk mereka, Ndre.” Jelasku sambil terisak. 

“Aku capek, Ndre. I’m tired of being unappreciated. I know everybody’s hurt dalam hal ini. Tapi, tidak bisakah aku setidaknya hidup tenang tanpa gangguan dan kata-kata yang menusuk itu? I just wanna live my own life. Not being ordered by someone else like this.”

Andre mengusap pundakku dengan lembut. Dan mendaratkan kepalanya ke pundakku yang rapuh. Kepala kami bertemu.

“Kamu akhir-akhir ini sangat dingin, Dhe. Tubuhmu tidak lagi sehangat dulu. Kalau kamu sakit dan kamu butuh temen, bilang ya. Jangan kayak tadi. Kalau kamu pingsan di jalan dan gak ada orang yang tau gimana?” bisik Andre.

Aku terpaku. Cukup lama. Aku mengusap sudut air mataku yang basah.

Aku telah sampai pada tahap dimana aku tidak bisa lagi menjelaskan apa yang aku rasakan kepada Andre. Bahkan untuk ukuran sahabat baik, sebenarnya aku belum menceritakan dan menumpahkan semua emosiku. Aku terlampau lelah dan lemah untuk sekedar berbicara. Ada kalanya aku memang harus diam dan berdiskusi dengan diriku sendiri. Itu adalah hal yang masuk akal untuk saat ini. Karena hingga detik ini, aku bahkan tidak tahu kepada siapa aku harus menaruh kepercayaan. 

Mungkin Andre benar. Kabur tidak pernah ada di dalam kamus orang dewasa. Aku hanya perlu menjauh sejenak. Menjauh dan berusaha untuk tidak membuat mereka terbebani. Terbebani dengan keberadaanku yang serba luar biasa. Yang justru mengacam mereka. Aku sendiri kadang tidak habis pikir. Di saat keluarga lain mengusahakan mimpi anaknya, justru aku harus membakarnya di depan orang-orang terkasihku, orang-orang yang seharusnya ikut merangkai puing-puing impian itu menjadi sebuah bangunan utuh yang bernama kenyataan. Tetapi aku sadar akan satu hal, bahwa setiap keluarga itu unik. Mungkin, aku memiliki satu dari yang terunik itu. I should be grateful actually, Aren’t I?

Malam itu juga aku menulis sebuah pesan singkat melalui surat elektronik untuk ayahku.


From        : Rosalie Way
To          : Firman H.D
Subject     : Farewell

Dad, I’m gonna leaving this town for a while. Maybe for a month ahead. I’m not running away from this. You’ve already known that I’m mature enough to has a private trip, haven’t you? I’m gonna be okay. Take care. Much love.

Aku pergi bukan untuk menghindar. Aku pergi untuk mencari. Aku pergi bukan untuk berlari, aku pergi untuk kembali. Aku pergi bukan untuk meninggalkan caci, aku pergi untuk mengembalikan harga diri. Aku pergi bukan sebagai pengecut, aku hanya pergi sebagai seseorang yang sulit menemukan jalan pulang. 


Dhe.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hai Januari

Hai, Januari. Bulan suciku. Bulan dimana aku 22 tahun yang lalu hanya seonggok daging yang bisa jadi dihidupkan. Atau bisa jadi kehidupan itu dibatalkan. Januari berbekas seperti sisi luka yang tidak pernah mereka tahu. Mereka hanya melihat, tidak menatap tajam. Mereka hanya lewat, tidak merapat. Bulan yang penuh hujan air mata. Ah, andai aku bisa membendungnya. Sedikit saja agar mata ini tidak membengkak kemudian mengumbar tanya. Ada apa dengan matamu? Kemudian aku buru-buru membungkusnya dengan kerutan senyum yang aku buat sendiri. Sembari mengucapkan aku tidak apa-apa versiku sendiri. Hai, Januari. Kau ingat lilin yang meleleh di pelataran tart mewah itu? Kau ingat bungkusan indah yang terbalut pita biru muda yang anggun? Aku masih mengingatnya, tetapi seingatku aku telah lama membuangnya. Bagiku semua itu sudah tidak ada pengaruhnya pada hati yang mulai meradang ini. Radangnya sudah bercabang, hingga membentuk kubangan luka yang ku sebut...

It's Just for Nothing

KARENA SEMUA INI PERCUMA. Percuma. Percuma setiap hari aku berharap kau membaca semua tulisanku. Percuma setiap saat aku berharap kau akan sadar bahwa aku ada untukmu. Percuma setip waktu aku berharap kau akan datang kepadaku. Benar-benar payah. Lebih baik aku lepaskan saja sosokmu itu. Yang dahulu merogoh masuk ke dalam jiwaku dan menembus menguliti dinding hatiku yang kelam. Sudah tidak berarti saat ini. Sudah tidak berpengaruh lagi. Hari ini aku putuskan untuk tidak lagi menjadi manusia menyedihkan bernama diriku. Bukankah seharusnya cinta itu diperjuangkan berdua, bukan sendiri? Aku terbahak dalam imajiku sendiri. Mengumpat pasrah tentang paradox rasa yang hingga saat ini masih susah aku cerna. Aku tersedak dalam stigma-stigma yang bahkan aku sendiri tidak paham tentangnya. Aku tersudut di ujung pikiranku yang tumpul. Aku tersisih di penghujung hatiku yang kian membeku.  Aku terbawa arus hingga ke seberang dan aku tidak mampu berenang, pun menyelam. Sem...

Pesan Singkat

12 November 2014 Tuhan, aku malu. Aku malu memandang wajah teduh yang menyilangkan senyum pasi itu. Aku malu melihat senyum yang sebaiknya tidak pernah kulihat itu. Aku terlampau malu hingga aku hanya bisa memandang jari kakiku sendiri. Tuhan, bolehkah aku melihatnya sekali lagi? Sebelum aku mengurung semua uap-uap memoar ini dalam bingkai kenangan? Hari ini aku berpikir kau tidak akan datang. Satu, dua, tiga, dan aku terus menghitung hingga detik ke sekian ribu. Aku masih saja belum mencium aroma tubuhmu. Aku kembali menghitung, dan pada hitungan kesekian aku teringat kembali serentetan kejadian yang seharusnya tidak pernah terjadi. Yang seharusnya tidak pernah berubah menjadi kenangan yang hanya akan usang dan berdebu seperti aroma rumah tua yang ditinggalkan penghuninya.  Aku kembali duduk santai di tempat duduk dimana aku mengerjakan tugas akhirku. Ada hasrat menghubungimu, tetapi untuk keperluan apa? Aku bahkan bukan partnermu. Aku hanyalah wanita dengan bol...