Langsung ke konten utama

New Year 2015



Hi Gals, 

Aku kurang tahu bagaimana cara menyapa pembaca yang baik seperti kalian. Maaf jika aku tiba-tiba hadir dengan wajah kusut. Setelah sekian lama berdiam diri tentunya. Yah, to figure everything out. Sedikit aku katakan bahwa aku saat ini sedang berada pada masa sulit. Semua orang mengalaminya aku rasa. 

Yah, well, aku sepertinya terlalu banyak melewatkan hal-hal di penghujung tahun ini. Terlalu banyak yang mungkin hanya lewat sekelebat kemudian menjadi kenangan yang tidak pernah teringat di memori. Begitulah. 

Aku sulit mengawali sebuah kata-kata atau mencari alasan di balik secarik kertas yang aku remas kemudian nasibnya berakhir di tempat sampah. Miris. Aku sulit mengungkapkan apa yang harus aku ungkapkan. Ada di antaraya adalah rahasia, sebut saja hanya aku satu-satunya manusia yang boleh mengetahuinya. Tetapi ada juga di antaranya adalah duri yang sangat menyakitkan jika tidak segera aku singkirkan. That’s life, isn’t it?

Aku melewatkan malam tahun baru bersama keluargaku. As usual, just me, Dad, Sist and Bro. Without Mom. Always the same every year. 

Dulu, ketika aku masih kecil, aku sangat iri kepada tetangga sebelahku yang selalu melewatkan malam pergantian tahun dengan bersuka-cita di suatu tempat. Anggap saja tempat itu sangat menyenangkan dan aku amat sangat mendambakannya. Sial. Dan aku tidak pernah mengalami hal menyenangkan itu sekalipun. Sedangkan tetanggaku selalu melewatkannya setiap tahun. Every single year.

Malam tahun baru bukanlah malam yang patut untuk dirayakan apalagi dihabiskan untuk berhura-hura. Dad selalu menceramahiku seperti itu. Tetapi beliau tidak pernah melarangku ketika aku menghabiskan malam yang menurutku sacral itu bersama teman-temanku. That’s fair I think. 
New Year Eve



Tetapi aku sadari bahwa ada yang kurang. Aku merasa hampa, kosong, dan bahkan tidak mampu mendengarkan hingar bingar itu meski di keramaian. Aku tuli. Aku buta. Aku mungkin hanya mendambakan satu hal, kebersamaan. Kebersamaan yang dapat aku rasakan di tengah-tengah hangatnya keluargaku. Kebersamaan yang mampu aku rasakan ketika semua orang cemas menungguku di beranda Rumah Sakit beberapa minggu yang lalu.

Dan malam tahun baru 2015 aku habiskan bersama sesuatu yang aku sebut kebersamaan itu. 

Tidak ada yang istimewa. Tidak ada lilin yang temaram atau makan malam dengan menu masakan asing. Bahkan tidak ada trompet. Sungguh kalau aku boleh bilang itu bukanlah malam tahun baru, lebih mirip malam kudus.

Tetapi aku menikmatinya. 

Setidaknya aku bisa bersama Dad. Itu sudah cukup melegakan hatiku. Itu sudah cukup untuk membuktikan bahwa putrinya lebih memilih Raja yang bertahta di rumah daripada Pangeran semalam yang berada di luar sana.

Biasanya aku membuat secangkir kopi. Tetapi karena alasan medis, aku dianjurkan untuk mengganti minuman kopiku dengan coklat panas. That’s a great deal for me. 

Kemudian aku mendengar deru kendaraan tetangga sebelah yang sepertinya meninggalkan rumahnya untuk sebuah pesta sakral. Aku tertawa kecil sambil menggenggam secangkir coklat panas. Malam tahun baru kami terasa dingin, dingin dalam arti yang sesungguhnya. Dingin karena hujan tidak henti-hentinya mengguyur bumi sejak sore. Hujan. Kami merayakan malam tahun baru bersama hujan dan kehangatan di depan ruang TV. Sembari menikmati drama keluarga yang ditayangkan menyusul tahun baru. Pihak televisi swasta sepertinya paham betul dengan tipe-tipe keluargaku. Aku kembali tertawa. Tetapi kali ini dengan vibrasi yang lebih kecil.

Tentang resolusi, secara teknis aku bahkan tidak pernah menuliskan sebuah resolusi. Bagiku tidak perlu menunggu sebuah Januari awal untuk menuliskan target atau mimpi. Secara mental, otakku sudah didesign untuk menuliskan mimpi di aksonku dan mengingatnya setiap waktu. That’s a gift.

Bagiku, setiap hari adalah kesempatan baru. Setiap hari adalah hari baru. Setiap hari adalah pintu baru yang menghubungkan antara kemungkinan dan kesempatan. Setiap hari adalah milik kita semua. Yang masih menghargai waktu dan bersedia memperlakukannya dengan santun. 

We deserve better of ourself every single day. 


Much Love,
Dhe.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aku ingin pulang......

Pulang. Aku ingin pulang dan menghambur pelukan yang hangat pada siapapun yang kusebut “dia”. Aku ingin pulang dan meletakkan semua kesedihan pada karung kumal untuk kusembunyikan di gudang penyimpanan. Biar tikus dan kecoa menghancurkannya perlahan. Perlahan hingga tanpa sisa, tanpa bekas sedikitpun. Aku lupa arah yang membawaku ke jalan dimana aku kecil adalah Putri Kecil. Aku mungkin akan pulang membawa luka yang lebih parah dari sebelumnya. Tapi aku tidak akan terlihat begitu menyedihkan. Hanya saja aku akan datang dengan kemasan yang berbeda. Menyembunyikan sedikit memar yang tampak. Menyuguhkan senyum manja. Seperti yang sudah-sudah, aku akan mengangkat tinggi-tinggi kepalaku dan tidak akan menunduk lagi.    Pulang. Sudah lama aku tidak merasakan kehangatan roti buatan bunda atau cerita pendek ayah sepulang kerja. Sudah lama hingga aku sadar selama ini aku hanya ditemani nyamuk-nyamuk yang putus harapan. Atau kotak-kotak indah yang dalamnya ternyata hanyalah s...

Now...

Karena hidup adalah sekarang. Bukan kemarin, bukan besok. Dan aku butuh waktu lama untuk menyadarinya. Secuil aku secara tidak sadar mulai hidup kembali dengan kemasan yang baru. Dengan raga yang baru. Dengan ketangguhan yang setiap hari kuamini di setiap doa atas nama orang-orang terkasih. Seperti itulah proses kehidupan, dari sebuah titik hingga menjadi kalimat. Dari sebuah aku sampai menjadi kita. Seperti itulah cara Tuhan menjaga keseimbangan semesta raya dengan rumus empirisnya.  Hidup akan mengikis siapapun yang memilih diam. Yang memilih   menggali lubangnya sendiri. Karena untuk mendaki ketangguhan dibutuhkan sedikit rasa berani. Hanya sedikit, agar manusia tidak menjadi begitu sombong. Hanya sedikit, karena Tuhan menciptakan semuanya sudah pada proporsinya. Tidak kurang. Tidak lebih. Maka, seperti itulah bahagia. Tidak pernah lebih, tidak pernah kurang. Lalu tentang hati, ada password yang harus mereka pecahkan untuk menjajahi hatiku, juga hatimu. Jangan ...

Rindu

Ada rindu yang hanya tanggal secarik tulisan usang. Yang menatapku lekat-lekat di kamar 4x4 dengan harap yang tak lagi hidup. Sudah lama mati. Rindu itu menjelma malam yang dingin yang pasrah dijajah pagi, menjelma awan hitam yang kelihatannya kuat tetapi ketika disentuh hanyalah gantungan asap yang rapuh. Rindu itu semrawut, tidak tertata dengan indah seperti buku cokelat yang kuhadiahkan sebagai kado ulangtahun pada seseorang.  Rindu itu kacau. Semakin kau tahan, semakin manja dan tak tahu diri. Mungkin, di antara aku dan kamu, ada pesan yang belum tersampai. Ada naskah yang belum sempat diketik ulang, ada banyak proposal yang belum sempat ditantangani, dan ada ribuan kata yang belum sempat dideklarasikan. Lalu, jika pagi datang dengan senyumnya, aku mengingat segala ucapan semangat dan selamat pagi yang dulu sering membanjiri kotak masuk phonecellku hingga penuh sesak. Tapi seiring dewasanya pagi, semuanya sepi. Hening. Alam seakan tidak mau berisik karena tak...