Langsung ke konten utama

Insomnia



Aku terlempar dan bepilinkan tanah. Ada kilatan cahaya yang tidak mampu ditangkap retina mataku. Terlalu silau. Aku melihatnya lagi. Aku berbicara dengannya lagi. Sosok yang kutahu bernama entah. Tetapi dia cukup menawan. Ah, bukan itu masalahnya. Dia sudah hampir tujuh hari menghancurkan siklus tidurku dan membangunkanku larut malam. Pesannya selalu sama, “Jangan menyerah dulu, aku segera datang.”

Dan aku selalu mananyakan pertanyaan yang sama pula, “Apa maksudmu?”

***

Hari ini aku terlambat lagi. Mengingat ada beberapa deadline yang harus terbengkalai gara-gara insomniaku belakangan ini, ah kacau semuanya. Aku menginjak pedal gas lebih dalam dari biasanya. Menyetir lebih liar dari biasanya. Dan aku berharap bapak-bapak polisi di perempatan jalan akan bersikap lebih kalem dari biasanya.

Gedung pencakar langit ibukota telah terlihat, tetapi seperti biasa, bukan ibukota namanya kalau tidak macet. Tiga puluh menit setelah berjubel dengan kerasnya jalanan dan kepulan asap kendaraan bermotor aku akhirnya sampai di parkiran kantorku. Cemas. Was-was. Ini sudah keterlambatan kesekian kalinya. Bos tidak akan memberikan toleransi lagi. Pekerjaanku terancam. Ah, insomnia itu. Aku mulai mengumpat di dalam lift yang akan mengantarku ke lantai 6. 

Lift berjalan dengan agak malu. Tetapi, bagiku waktu berjalan lebih cepat dari biasanya. Lift berhenti di lantai 3. Ketika pintu lift terbuka, aku seperti kehilangan keseimbangan. Aku tidak lagi mengenal istilah gravitasi atau teori leratifitas Einstein. Yang aku tahu sepertinya malaikat maut sedang menjemputku dan mempersilakanku masuk ke jubahnya yang hitam. Heelku serasa tersangkut di lantai. Dan tubuhku melemas meski tidak dengan posturku yang tegap. Komplit aku tidak dapat bergerak. Bosku tepat berdiri di depanku. Aku terpaksa nyengir seadanya. Dibalas dengan anggukan sopan dan berkharisma. Dengan dua langkah pasti bosku telah berdiri persis di sampingku. Menghadap ke arah yang sama. Sama-sama menuju lantai yang sama pula. Lantai 6.

Pintu lift terbuka lebar. Menandakan aku harus meninggalkan kotak pengap itu dan menghadapi realita bahwa mungkin saja ini adalah hari terakhirku bekerja di perusahaan ini. Ah entahlah, yang terpenting aku harus terlihat sesantai mungkin. 

“Vina, nanti bisa makan siang barengan saya?” tiba-tiba sebuah suara kharismatik mengagetkanku. Itu bukan suara yang asing. Tentu saja aku kenal betul suara itu. Itu suara bosku. Aku kehilangan kata-kata. Tanpa terasa ternyata aku justru megangguk sambil tersenyum. Ah, bodoh umpatku sekali lagi. 

***

Jam makan siang datang. Aku bahkan tidak tahu apa yang selanjutnya akan aku lakukan. Aku mulai pusing. Bukan karena lapar. Tetapi karena anemia. Sejurus kemudian aku mendengar suara pintu ruanganku diketuk dari luar. Tanpa sempat mempersilakan masuk, bosku langsung menghampiriku dan bertanya,

“Mau makan siang dimana? Di kantor apa di luar saja?”

“Terserah Bapak saja.” Jawaban yang sangat diplomatis.

“Baiklah.”

Aku sudah berada satu mobil dengan pria berumur 29-an itu. Rambutnya cepak, garis wajahnya tegas, matanya hitam dan seringkali mengeluarkan pesona yang luar biasa ketika alisnya diangkat sebelah. Sungguh menawan.  
“Akhir-akhir ini sering terlambat, Vin?” ucapnya.

Tamatlah aku.

“Iya, Pak.”

“Kamu sakit? Kok tampak lebih pucat dari tadi pagi, ya?” tanyanya sambil memalingkan wajah ke arahku.

“Hmm. Mungkin efek insomnia akhir-akhir ini, Pak.” Jawabku ringkas.

“Kamu menderita insomnia juga?” wajahnya mengangguk-anguk sambil terus mengendalikan setir mobilnya. 

“Bapak juga insomnia?” tanyaku ragu.

“Setiap hari, Vin. Entahlah sepertinya ada sesuatu yang salah dengan diriku. Bosan dengan rutinitas yang sama mungkin. Mungkin saya kurang piknik. Who knows?”

Aku tertawa. Bosku mengikutiku bahkan dengan suara yang lebih keras. Kami tertawa karena kesamaan kami. Insomnia. Konyol.

***

Di tempat makan.

“Vin, sebenarnya ada yang harus saya bicarakan dengan kamu.” Wajahnya mulai serius.

“Silakan, Pak.” 

“Aku akan dipindah tugaskan ke Melbourne. Dalam kurun waktu antara tiga sampai empat bulan ini. Dan aku dipercaya untuk membawa rekan yang menurut saya mampu dan kompeten. Kamu mau pergi bersamaku ke Melbourne?”

“……….” 

Aku tercekat. Bukan karena business trip itu, bukan karena ajakan itu. Tetapi karena hal yang ganjil dari percakapan itu. Yah, keformalan itu. Sejak kapan Bosku berkata “Aku”. Aku tersenyum kecil. 

“Kok malah tersenyum? Tandanya mau, kan?” tegasnya dengan sedikit kikuk.

“Kok Bapak maksa, sih?” Aku mulai tertawa.

Pria itu ikut tertawa juga. 

So?” tanyanya lagi.

So? Yes, I will.” Ucapku sambil tersipu.

Melbourne, yah? Wah aku bahkan belum pernah ke luar negeri sebelumnya. That would be epic. Apalagi bersama pria itu, pria yang telah merubah bentuk “saya” menjadi “aku”. Ah, sudah-sudah hentikan khayalan gila ini. Ini urusan bisnis. Yah, bisnis.

Dhe.


Komentar