Langsung ke konten utama

My Dad My Hero



Dad, I owe your life. I almost lost all of my words to describe how much I love you. How much I adore you. How much I really wanna hug you and acting like a child. 

Dad, where’s the sense in that? When I know that you used to be my hero. But I never had a guardian angel who I always wish is you. 

Aku memiliki ritual harian. Entah sejak kapan aku sering menangis setelah menutup telfon dari ayahku. Harusnya aku bahagia, bukan? Setidaknya masih ada satu pria yang masih peduli kepadaku. Iyah, harusnya aku bahagia.

Ada hal yang ingin aku lakukan. Aku ingin bercerita. Aku ingin melakukan apa yang selama ini tidak bisa aku lakukan terhadapnya. Aku sangat mencintai ayahku walaupun mungkin ayahku bukan ayah yang sempurna. Ayahku tidak pernah sekalipun memberikan nasihat untukku. Kehidupanku hambar. Memiliki tapi berasa tidak memiliki. Tuhan memberikanku pelajaran hidup secara langsung sehingga aku tidak harus memperolehnya dari ayahku. Setiap hari aku menghibur diriku dengan kata-kata itu.

Bedanya aku dengan anak-anak lain adalah : ketika berjalan, aku melihat seseorang di depan anak-anak lain. Yang akan memberitahukan tanda bahaya. Yang akan memberikan alternatif perjalanan terpendek namun menyenangkan. Tetapi aku harus berjalan seorang diri. Tidak ada seseorang di depanku. Aku mencari jalan hanya berbekal insting dan belas kasih dari kuasa langit. Jika terpaksa aku harus jatuh dan terperosok ke jurang, maka aku harus bangkit seorang diri. Susah payah beradu dengan pagi dan pagi yang berikutnya untuk melanjutkan perjalanan. Begitu seterusnya. 

Dulu aku sering memberikan ayahku sertifikat yang mungkin untuk ukura ayah-ayah lainnya di muka bumi ini pasti akan bangga menerimanya. Aku sering melakukannya. Aku memamerkannya dengan wajah cerah. Aku tidak berharap banyak. Aku hanya ingin ayahku melihatku, memperhatikanku dan aku bisa merasakan tangan pria itu mengacak-acak rambut panjangku. Tetapi konyolnya, hal itu tidak pernah sekalipun terjadi. Maka, aku berhenti menunjukkan sertifikat dari berbagai kejuaraan yang pernah aku sandang itu. Bagiku semua itu sudah tidak berarti. Hal itu terjadi saat aku masih duduk di Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Pertama.

Hal yang paling menyedihkan dalam hidupku datang ketika aku wisuda SMA dimana aku mendapatkan dua pernghargaan sekaligus. Prestasi akademik dan non-akademik. Aku meminta ayahku datang dan menyaksikan anaknya dengan wajah cerah memboyong dua slempang sekaligus bak putri Indonesia. Tetapi, aku tidak seberuntung itu. Tidak ada wajah ayahku di barisan orang tua murid berprestasi. Aku menangis dalam tawa.

Hal menyakitkan lain datang ketika aku akan mendaftarkan diriku ke salah satu perguruan tinggi ternama di kota ini. Tetapi ayahku mencegahku. Beliau menginginkan pendidikan instan yang akan mencetak lulusan siap kerja. Dan aku tidak menyetujuinya. Kami bersitegang. Aku ingin masuk Universitas Negeri, tetapi beliau menginginkan aku masuk STAN. Aku tidak sanggup. Tetapi aku menyanggupi. Aku tahu aku sedang dalam upaya membahagiakan ayahku, meski masa depanku harus dipertaruhkan. Akhirnya aku tetap mengikuti seleksi masuk Universitas Negeri dan aku juga mengikuti seleksi masuk STAN. Satu hal yang aku tahu, bahwa Tuhan benar-benar tahu apa yang dibutuhkan oleh hamba-Nya. Aku tidak lolos seleksi STAN tetapi aku masuk Universitas Negeri dengan jurusan yang aku pilih secara gambling. Yah, aku bahkan tidak tahu jurusan macam apa yang sedang aku naungi. Bagiku, bisa berkuliah di tempat itu sudah lebih dari cukup.

Aku kembali pusing dihadapkan pada kenyataan bahwa aku harus mengeluarkan budget banyak untuk biaya pendidikanku. Tetapi saat itu ayahku sedang berada dalam masa sulit. Dia tidak mampu mengusahakan apa-apa. Aku menangis. Sempat mendengar dari kakakku bahwa aku tidak mungkin bisa melanjutkan kuliah. Bagaimana mungkin aku bisa mengakhiri sesuatu yang bahkan belum dimulai? Tangisku semakin menjadi. Aku tidak akan mempertaruhkan mimpiku lagi. Tidak akan. Aku merajuk pada langit. Berharap doaku kali ini didengar oleh penguasa kehidupan. Aku meminta dengan peluh dan air mata kepada semesta, agar aku bisa menghadapi ini. Aku akan berjuang hingga akhir. Hingga aku mampu melunasi biaya masuk itu.

Aku meminjam uang itu kepada sepupuku tanpa sepengetahuan ayahku. Aku dengar dari orang-orang yang sudah pernah mengenyam pendidikan di bangku kuliah, bahwa kita bisa kuliah sambil bekerja. Yah, mungkin aku bisa seperti itu. Kuliah sambil bekerja untuk melunasi hutangku. Akhirnya semua terbayarkan. Aku masuk dengan aman tanpa bayang-bayang eliminasi dan aku juga memiliki hutang banyak di usia 18 tahun. Sempurna.

Beberapa bulan kemudian aku melihat semua uang pendidikan yang tadinya bernilai belasan juta tiba-tiba lunas. Tidak mungkin. Pasti aku salah lihat. Dan memang, ada orang baik yang melakukannya. Aku berhutang banyak kepada pria itu dan aku berjanji aku akan memperlakukan pria itu layaknya orang tuaku sendiri. Aku semakin percaya bahwa jalan yang diridhai Tuhan untukku memang ini. Memang jalan ini. Tidak harus bersama ayahku, bisa jadi bersama pria lain. Tetapi posisi ayahku tetap tidak terganti. Masih berada di podium teratas.

Tetapi, bukan semesta namanya kalau tidak melumat habis manusia kecil sepertiku. Aku memang berhasil menjalani kuliah layaknya mahasiswi normal lainnya tetapi aku masih belum bisa melunasi hutangku di awal. Aku masih mencari-cari pekerjaan macam apa yang kiranya bisa aku lakukan di sela-sela waktu kuliahku yang padat. Tetapi ada hal lain yang terpaksa menurunkan posisi ayahku dari hatiku. Dari podium teratas sampai ke podium yang entahlah bahkan tidak terlihat mungkin. Aku kecewa berat dan aku harus menghadapinya di saat aku akan ujian akhir semester 3. Aku menangis ketika belajar bersama teman-temanku. Aku melarikan diri ke toilet dan menumpahkan air mata sebisaku. Sesenggukan sambil sesekali berkata, “Tidakkah Kau kasihan kepadaku wahai Tuhan? Tidakkah Kau lihat gadis mungil ini berjuang untuk ayahnya yang sama sekali tidak pernah melihat perjuangan putrinya? Setega itukah Kau merenggut kepercayaan gadis kecil ini terhadap ayah yang sangat dicintainya?”

Aku menangis dalam diam dengan berurai air mata. Sambil berdoa dan meratap kepada langit. Tetapi aku lupa bahwa langit tidak bisa melihat apalagi mendengar. Aku benar-benar lupa. Lihatlah gadis berambut panjang itu menangis getir dengan tangan yang memeluk kaki rampingnya. Dengan rambut basah akibat cipratan air di toilet. Sebegitu teganyakah kehidupan melumatnya hingga gilas semua urat-urat semangatnya? Kini, yang tersisa hanyalah bekas luka. Bekas luka yang jika disentuh akan meninggalkan rasa sakit yang sama. Rasa sakit ketika gadis itu kehilangan kepercayaan terhadap pria yang paling dicintainya.

Aku berhenti menangis. Aku lelah.
Don't You Know You Used to be My Hero?

Aku mengumpulkan sisa-sisa tenagaku dan belajar sekuat tenaga. Aku ingat ada tetesan darah merah yang sempat jatuh dari hidung ke kertas ujianku. Tetapi semua perjuangan itu terbayar lunas, tuntas. Aku mendapatkan IP 4 bulat untuk KHS semester 3. Aku memandangi kertas A4 itu. Tersenyum lebar penuh kepuasan. Tetapi sebentar kemudian aku merasa hampa. Aku merasa ah untuk apa semua ini? Untuk apa IPku setinggi langit jika aku tidak memiliki seseorang yang akan aku hampiri dan aku beri hadiah berupa print out kerats A4 ajaib itu? Aku tersenyum getir. Aku sobek kertas itu dan aku lempar ke tempat sampah. Persetan dengan semua itu. Persetan dengan sosok menginspirasi. Persetan dengan orang yang aku cintai, Sejak saat itu aku berubah menjadi gadis dingin. Lihatlah gadis yang dulu sangat menyukai kisah cerita Putri Raja, kini harus terhentak dan tenggelam di dasar kenyataan bahwa hidupnya tidak lagi semanis kehidupan Putri Raja yang ada dalam imajinasinya.

Life must go on.

Aku memulihkan segala trauma dan kekecewaan melalui beberapa kegiatan baru. 

As the door open, we close the ones behind.

Aku tidak lagi sibuk mencintai ayahku. Bahkan selama satu tahun terakhir aku tidak pernah pulang ke rumah. Konyol. Aku benar-benar telah berubah menjadi gadis yang keras kepala. Menjadi gadis yang benar-benar sendiri selama satu tahun. Dan selama satu tahun itu aku sakit-sakitan. Hanya temanku yang selalu ada di sampingku. Menyuapiku. Mengantarku ke dokter. Meminjamkanku uang untuk menebus obat. Dan segala hal lainnya. Aku sungguh berutang budi kepadanya. Dan lagi, hutang-hutangku bertambah banyak di usia 20 tahun. 

Tuhan benar-benar tidak pernah meninggalkanku seorang diri. Aku berhasil memperoleh pekerjaan di suatu lembaga bimbingan belajar di kotaku. Hasilnya tidak seberapa. Hanya bisa membeli uang bensin. Tidak lebih. Pada tahun kedua aku mengundurkan diri dan memutuskan untuk berdiri sendiri tanpa lembaga. Uang yang aku hasilkan lebih banyak. Sesekali aku kirimkan ke rumahku. Meskipun tidak banyak tapi aku senang dan aku berharap orang rumah juga menyambutnya dengan hangat. Entah apakah aku sudah mengembalikan lagi kepercayaanku kepada orang yang aku cintai itu. Pria itu. Aku tidak tahu.

Pertengahan semester menjelang skripsi, semesta kembali memorak porandakan pertahanku. Ayahku tidak sadarkan diri di rumah dan harus dilarikan ke rumah sakit. Semua sanak saudara yang menelfonku berbicara dengan air mata. Tanpa banyak bicara aku langsung mengendarai kendaranku ke rumah sakit. 

Aku melihat tubuh itu tidak lagi sekekar dulu. Otot itu tidak lagi sekuat dulu. Aku juga tidak melihat semburat semangat yang dulu sangat menggebu-nggebu. Mata itu tidak lagi memiliki tatapan semantap dulu. Tidak lagi. Air mataku meluruh. Aku melihat kakakku, dan juga ibukku. Ah aku sangat merindukan ibuku. Sudah lama aku tidak berjumpa dengannya. Ibu terpaksa keluar rumah karena ada suatu hal yang membuatnya melakukan hal itu. Keluarga kami berkumpul. Dan malam itu, Tuhan memberikanku kesempatan untuk meminta maaf kepada ayahku. Untuk mengembalikan semuanya seperti sediakala. Ayahku menangis. Aku ingat bagaimana aku menyeret seorang dokter muda ke ruangan ayahku karena ayahku kembali drop. Gula darahnya menurun drastis. Mendekati angka 50. Beruntung dokter muda itu berhasil menyelamatkan ayahku. 

Malam itu, langit dan semesta menyeretku kepada sebuah kenyataan bahwa sebenci apapun aku terhadap ayahku, masih terbentang kasih sayang yang tidak terbatas di dalam hatiku. Aku mungkin membenci ayah di dalam otakku, tetapi aku menyimpan kasih sangat dalam kepadanya di dalam tempat yang teduh bernama hati.

Kondisi ayahku sudah dinyatakan lebih baik dan diperbolehkan pulang oleh dokter tetapi harus menjalani rawat jalan dan setiap minggu harus menjalani cuci darah rutin karena belakangan aku tahu bahwa ayahku juga menderita gagal ginjal. Aku semakin terpukul. Aku terkoyak pada kuasa langit yang paling tinggi. Sungguh tidak main-main ujian yang Kau berikan kepada hamba-Mu yang kecil ini. Lihatlah gadis yang dulu periang dan suka bercanda, saat ini terlihat beberapa tahun lebih tua dari usianya. Lihatlah guratan senyum yang dulu merekah, saat ini layu bagaikan bunga mawar yang gugur kemudian mati digerayangi tanah yang basah.

Andai kau tahu ayah, bahwa aku sangat ingin memelukmu dari belakang. Aku sangat ingin memeberikanmu hadiah di bulan September, bulan kelahiranmu. Dan betapa aku ingin kau sekali lagi melihat putrimu ini. Sekali saja dan usaplah rambutku. Hanya itu. Tetapi waktu semakin mencuri kesempatanku dan sepertinya ingin merebut kebersamaanku bersama ayahku. 

Mungkin ada di antara kalian yang membaca tulisan ini masih memiliki ayah dan hidup bahagia, ada pula yang memiliki ayah tetapi hidup tidak bahagia, dan ada juga yang tidak memiliki ayah namun hidup bahagia, atau bahkan tidak memiliki ayah dan hidup tidak bahagia. Tetapi yakinlah satu hal, bahwa Tuhan sangat adil terhadap hamba-Nya. Yakinlah dengan hati kalian yang paling dalam bahwa Tuhan selalu hadir di saat kalian mungkin telah lelah berjuang untuk orang yang kalian sebut ayah. Yakinlah bahwa di setiap tetes air mata kalian, ada harapan yang disimpan Tuhan dan akan diberikan pada saat yang tepat. Tuhan tahu kapan waktu yang tepat untuk hal itu. Jangan pernah mendikte Tuhan. Tuhan selalu menyimpan dengan baik setiap doa yang diucapkan secara tulus. Terlebih untuk orang yang kalian kasihi. Meski logika kadang bisa membenci, tetapi hati tidak bisa. Dan hati juga tidak bisa berbohong, bahwa masih ada ruang untuk memaafkan dan memulai kembali. Memulai kembali dari awal. Dan melukis kisah indah bersama. Bukan lagi berbagi cerita antara ayah dan putrinya. Tetapi merangkai kenangan bersama.

Berjuanglah, sisanya biar Tuhan yang mengurusnya. The rest is up to Him.

***

16 Desember 2014

Tubuh kecilku terguncang hebat. Aku menderita demam sangat tinggi. Aku tidak bisa mengucapkan kata selain “Dingin.”

Dan saat itu juga aku samar-samar melihat ayahku mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi hingga nyaris menabrak sedan karena melarikan tubuh mungilku ke rumah sakit.


Dhe.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hai Januari

Hai, Januari. Bulan suciku. Bulan dimana aku 22 tahun yang lalu hanya seonggok daging yang bisa jadi dihidupkan. Atau bisa jadi kehidupan itu dibatalkan. Januari berbekas seperti sisi luka yang tidak pernah mereka tahu. Mereka hanya melihat, tidak menatap tajam. Mereka hanya lewat, tidak merapat. Bulan yang penuh hujan air mata. Ah, andai aku bisa membendungnya. Sedikit saja agar mata ini tidak membengkak kemudian mengumbar tanya. Ada apa dengan matamu? Kemudian aku buru-buru membungkusnya dengan kerutan senyum yang aku buat sendiri. Sembari mengucapkan aku tidak apa-apa versiku sendiri. Hai, Januari. Kau ingat lilin yang meleleh di pelataran tart mewah itu? Kau ingat bungkusan indah yang terbalut pita biru muda yang anggun? Aku masih mengingatnya, tetapi seingatku aku telah lama membuangnya. Bagiku semua itu sudah tidak ada pengaruhnya pada hati yang mulai meradang ini. Radangnya sudah bercabang, hingga membentuk kubangan luka yang ku sebut...

It's Just for Nothing

KARENA SEMUA INI PERCUMA. Percuma. Percuma setiap hari aku berharap kau membaca semua tulisanku. Percuma setiap saat aku berharap kau akan sadar bahwa aku ada untukmu. Percuma setip waktu aku berharap kau akan datang kepadaku. Benar-benar payah. Lebih baik aku lepaskan saja sosokmu itu. Yang dahulu merogoh masuk ke dalam jiwaku dan menembus menguliti dinding hatiku yang kelam. Sudah tidak berarti saat ini. Sudah tidak berpengaruh lagi. Hari ini aku putuskan untuk tidak lagi menjadi manusia menyedihkan bernama diriku. Bukankah seharusnya cinta itu diperjuangkan berdua, bukan sendiri? Aku terbahak dalam imajiku sendiri. Mengumpat pasrah tentang paradox rasa yang hingga saat ini masih susah aku cerna. Aku tersedak dalam stigma-stigma yang bahkan aku sendiri tidak paham tentangnya. Aku tersudut di ujung pikiranku yang tumpul. Aku tersisih di penghujung hatiku yang kian membeku.  Aku terbawa arus hingga ke seberang dan aku tidak mampu berenang, pun menyelam. Sem...

Pesan Singkat

12 November 2014 Tuhan, aku malu. Aku malu memandang wajah teduh yang menyilangkan senyum pasi itu. Aku malu melihat senyum yang sebaiknya tidak pernah kulihat itu. Aku terlampau malu hingga aku hanya bisa memandang jari kakiku sendiri. Tuhan, bolehkah aku melihatnya sekali lagi? Sebelum aku mengurung semua uap-uap memoar ini dalam bingkai kenangan? Hari ini aku berpikir kau tidak akan datang. Satu, dua, tiga, dan aku terus menghitung hingga detik ke sekian ribu. Aku masih saja belum mencium aroma tubuhmu. Aku kembali menghitung, dan pada hitungan kesekian aku teringat kembali serentetan kejadian yang seharusnya tidak pernah terjadi. Yang seharusnya tidak pernah berubah menjadi kenangan yang hanya akan usang dan berdebu seperti aroma rumah tua yang ditinggalkan penghuninya.  Aku kembali duduk santai di tempat duduk dimana aku mengerjakan tugas akhirku. Ada hasrat menghubungimu, tetapi untuk keperluan apa? Aku bahkan bukan partnermu. Aku hanyalah wanita dengan bol...