Aku
ingin mengakhirinya. Sekarang juga. Sepertinya aku masih saja sama. Tidak berubah.
Aku masih seperti yang dulu. Yang sempat kau patahkan lantas kau tinggalkan di
tengah jalan yang gelap. Aku masih sama. Tidak ada klise kuat yang akan
menjelaskan metamorfosaku. Pada akhirnya, aku juga akan terjerembab pada
kenyataan pahit bahwa aku masih benar-benar serupa meski sudah satu tahun berlalu.
Yah,
sudah satu tahun berlalu sejak semua itu menjadi batu dan membeku. Entah siapa yang
menyihirnya. Yang aku tahu, aku tidak lagi bisa mencairkannya. Sudah terlanjur
membatu bersama sejuta angan dan perasaan yang lebur di dalamnya.
Dan
sejak saat itu, aku berhenti mencari.
Everything Is Over |
Karena
tidak selamanya yang kau cari akan segera datang di depan matamu. Terkadang,
kau tidak perlu mencari. Kau hanya perlu menjaga apa yang telah Tuhan beri. Di satu
sisi, kau juga harus rajin mencari, untuk melengkapi apa yang Tuhan tidak beri.
Adilkah itu? Mungkin. Siapa tahu? Tuhan memiliki kalkulasi yang tidak mampu
dipahami oleh nalar picik manusia. Terlalu indah. Terlalu rumit. Meski pada
hakikatnya semua itu sangat sederhana.
Sesederhana
penerimaan. Sebuah penerimaan yang tulus. Bukan sebuah kalimat skeptis seperti “Aku
menyerah sampai di sini.” Atau kalimat diplomatis, “Mungkin saja aku
membutuhkan waktu untuk sekedar berhenti.” Tidak. Sama sekali tidak bisa
seperti itu. Waktu tidak akan menunggu. Waktu akan mengikis siapapun yang hanya
duduk terdiam. Waktu akan membakar siapapun yang hanya memandang kosong ke
hamparan lagit. Waktu juga akan melumpuhkan siapapun yang memutuskan berhenti
berjalan. Pada kenyataannya, waktu tidak pernah sebaik yang aku atau kau kira.
Dan
kabar buruknya. Aku tertangkap waktu.
Yah,
aku akhirnya diseret dan diborgol dengan paksa menuju ruang tahanan yang aku
sebut pesakitan.
Aku
mulai sulit memaafkan. Meski aku sudah membuka semua hati dan mengucurkan luka
beserta seluruh racunnya. Tetapi, racun itu teramat kuat untuk mausia biasa
sepertiku.
Aku
ingin memaafkan, tetapi bisa apa aku jika setiap kali langkahku bertemu
lagkahmu justru yang tertancap hanya nyeri dan panas yang sangat menjadi? Bisa apa
aku dengan kenangan yang membusuk di aliran darahku dan membuatku meringis
kesakitan ketika tidak sengaja berpapasan dengan sosokmu di persimpangan jalan?
Aku
sulit mengendalikan rasa benciku. Aku sulit mengendalikan musuh utamaku, diriku
sendiri. Karena diriku bahkan telah mengutukmu. Aku bisa apa? Aku tidak bisa
berbuat banyak ketika secara langsung namamu disebut dan divalidasi oleh
otakku. Surat validasi untuk membenci tanpa ampun.
Aku
bahkan hanya membiru menyaksikan tubuhku yang ringkih meronta hebat sambil
meneriakki namamu dengan lantang. Aku tidak mampu berbuat banyak selain menahan
dan menahan agar amarah itu tidak semakin menjadi. Tetapi, aku terlambat. Sangat
keliru perhitungan detik yang aku perkirakan saat itu. Aku terlambat datang
menyelamatkan diriku sendiri. Dan juga, aku tidak bisa menyelamatanmu dari
kemarahan jiwaku yang buas.
Kau
tau? Ada satu hal yang akan membuatnya lebih baik. Menjauhlah dariku sebisamu. Hanya itu yang bisa aku lakukan untuk
menyelamatkanmu. Mungkin benar jika ini bukan diriku. Mungkin memang bukan. Karena
diriku yang asli telah lama kau hancurkan. Tidak ada yang tersisa selain jiwaku
yang murka.
Sangat bohong jika aku selama ini baik-baik saja. Sangat bohong jika aku selama ini tertawa dengan lantang. Hanya orang bodoh yang mengatakan aku baik-baik saja. Hanya orang buta.
Aku paham betul bahwa hidup ini adalah tentang sebuah peran yang sengaja dipasangkan Tuhan untuk membentuk diriku. Untuk membangun diriku. Aku tahu betul. Tetapi, bisa apa aku jika rasa sakit itu masih saja tersisa?
Mungkin kau akan mengatakan aku terlalu payah. Jika memang aku payah kau akan berbuat apa? Tidak ada. Bahkan aku sendiri pun tidak mampu berbuat apa-apa. Semakin aku tolak semakin perasaan murka itu menguasaiku. Maka, aku biarkan ia tinggal. Untuk menduduki sudut hatiku yang tidak berpenghuni. Aku biarkan ia berperangai sesukanya. Bukan berarti aku pasrah lantas membiarkan diriku membencimu terlalu jauh.
Justru aku menerima apa yang ditakdirkan langit untukku. Kau tidak akan pernah tahu karena selama ini kau tidak pernah mau tahu.
Aku paham betul bahwa Tuhan sangat adil kepada hamba-Nya. Aku tahu. Meskipun aku tidak pernah tahu timbangan versi apa yang digunakan Tuhan. Yang aku yakin, Tuhan tidak akan salah perhitungan.
Kau bukan orang jahat. Sama sekali bukan. Hanya saja, aku yang terperangkap degan takdir langit yang secara acak dipilih malaikat dan jatuh kepadamu untuk mengeksekusiku. Itu saja.
Aku yakin suatu saat aku bisa mengambil alih diriku dan mengganti kebencian itu dengan sebuah keikhlasan yang lebih tulus. Ini bukan urusanmu. Sama sekali bukan. Ini urusanku dengan Tuhan.
Kalaupun pada akhirnya aku harus masuk neraka karena telah membencimu, maka aku akan sangat senang mendengar kabar bahwa kau masuk surga karena kau telah menjalankan peran yang diberikan Tuhan dengan sangat sempurna.
Semua ini benar-benar hanya tentang aku, harapanku, dan juga jiwaku.
Bukan tentang kau.
Semua telah berlalu. Na vida Tudo Passa.
Dhe.
Komentar
Posting Komentar