Langsung ke konten utama

Botol Kaca atau Kemasan Plastik?




Hari ini, aku mencoba. Lagi. Sebuah percobaan hidup yang sangat konyol. Seperti biasa, senyum selalu kubawa kemanapun aku berkendara. Ada lamun yang manja minta dihidupkan dalam perjalananku. Kendaraanku sengaja kuparkirkan di tempat agak jauh dari tempatku mencari “hidup”. Aku akan jalan dengan kakiku yang lama sudah tidak aku manfaatkan untuk berjalan secara wajar. 

Aku bertemu teman lawas, teman baru, bahkan bertemu dengan teman yang sama sekali tidak pernah kukenal dan bertemu kopi serta buku-buku tidak manusiawi di kantin perpustakaan pusat tempatku menuntut ilmu. Wow, ternyata seperti inilah caranya hidup dan tertawa. Tidak peduli dengan siapa kau duduk, tidak peduli kopi siapa yang kau minum, bahkan tidak peduli apakah otak kita memancarkan gelombang yang sama, tetapi ada benang merah yang halus dalam setiap tawa yang pecah. Hening yang bukan berarti kosong, dan juga tatap mata serius ketika kau memulai obrolan yang lebih “berperikenyataan”.

This is it. Terkadang aku berpikir untuk mengurung diriku atau lebih jahat lagi tubuhku ke area yang aman agar aku selamat. Tetapi, sekali lagi bisakah kita menentukan mana yang aman dan mana yang tidak? Seperti orang bodoh, terkadang manusia menyelam ke dalam lubang yang tidak aman yang justru mereka buat dengan galian mereka sendiri dan mereka aliri air dari air mata mereka sendiri. Tenggelam oleh air mata mereka sendiri. Miris. Manusia bahkan tidak dapat membedakan mana yang “aman” atau mana yang “mematikan”.

Aku mencoba mengamati dunia dari perspektif yang berbeda. Dengan sahabat lelaki di depanku yang membawakanku secangkir kopi tadi, dan juga buku itu. Ada baris yang terpaksa membuat aku mendebat diriku sendiri. Seorang Della Rosalita akhirnya berkata “Iya, aku kalah”.

Image result for bottle tumblr
Magic Bottles
Tetapi apakah makna kekalahan tanpa perjuangan? Apakah makna jatuh tanpa berdiri? Apakah makna semua itu? Kami terdiam lama, saling menatap hati dan membenarkan letak duduk masing-masing yang mulai tidak nyaman. Tetapi kemudian seulas senyum menyeruak ke permukaan. Itulah jawabnya. Senyum dan penerimaan. Penerimaan atas segala kekalahan, penerimaan atas segala penolakan, penerimaan atas segala bentuk ketidaknyamanan, penerimaan atas segala bentuk usaha yang keluar dari teori eksak, penerimaan dari rasa ganjil yang semakin tumbuh dan membabat habis hatimu, dan penerimaan atas segala bentuk kemarahan akal.

Penerimaan.

Penerimaan bahwa selama ini aku mengemas diriku dalam kemasan botol yang kuat, kokoh, keras namun apabila terjatuh, porak-poranda tiada bentuk. Penerimaan bahwa selama ini dunia yang dihadirkan Tuhan lebih banyak aku jadikan ajang kompetisi dalam hidup agar aku sekali saja merasakan "menang". Entah menang sendiri bagiku yang seperti apa. 

Aku mencoba menatap semua itu dari asap rokok yang dihembuskan teman baruku dari jurusan Statistika, dari kacamata teman satunya lagi dengan backround Ilmu Budaya. Ternyata di atas meja berwarna itu kita sama. Sama-sama menggali, sama-sama belajar. Dan apabila secara tidak masuk akal akhirnya kita menangis dan menggungat dunia, kita akan melakukannya bersama. Dengan aroma kopi dan hembusan asap rokok yang semakin terbiasa aku hirup. Entah sejak kapan aku mulai akrab dengan asap rokok, mungkin saat aku berhenti memanipulasi otakku. 

Lalu bagaimana dengan bentuk kemasan yang sesuai? Apakah botol kaca selamanya akan buruk untukku? Tidak juga. Karen hidup ini fleksibel, tidak bisa kita hanya menjadi botol kaca yang kuat, juga tak selamanya kita akan menjelma mencari aman dengan kemasan tetrapack atau kemasan plastik yang tahan banting. Hidup ini sebuah keseimbangan. 

Terimakasih teman lawas, teman baru, dan teman tak dikenal yang akhirnya menjadi kenal.

Ada aroma kopi yang tertinggal dan bekas rokok yang tersisa. Sebagai penanda bahwa kalian nyata. Buka bilangan imajiner.  

Rosalie

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Namanya Andrea

Namanya Andrea. Aku suka memandang matanya. Aku suka melihat gaya bicaranya yang lugu ketika pertama kali ia memperkenalkan diri di depan kelas. Waktu itu, aku hanyalah murid kelas 3 SD yang tidak begitu paham cara menyapa seseorang yang belum dikenal. "Apa kabar?" ataukah "Hallo selamat siang!" apa mungkin "Apakah harimu menyenangkan?". Entahlah.   Namaku Andrian. Waktu itu aku hanyalah bocah kelas 3 SD yang hanya mempedulikan layang-layang dan komik. Itu saja. Tidak ternah terbesit di benakku untuk melakukan hal yang lebih dibandingkan berlarian di tengah teriknya matahari untuk mengejar layang-layang yang putus atau berdiam diri di kamar berjam-jam hanya untuk menamatkan satu komik Inuyasha. Tapi, kali ini beda. Ada suara sesuatu yang pecah di dalam jantungku. Sesuatu yang berat tampaknya. Tidak lama kemudian aku merasa aliran darah yang melalui pembuluh nadiku mendadak sesak dan seperti ingin keluar saja. Keluar menyapa Andrea dan b...

Isyarat

Malam ini, gundah memuncak di sudut sanubariku yang paling ujung. Aku kembali teringat tentang wajahmu. Tentang konsep mengakhiri dan menjadikannya kenangan. Bahkan, kita tidak pernah memulai sebuah awal, bagaimana bisa mengambil kosa kata “mengakhiri”. Aku kembali ke detik beberapa hari yang lalu, ketika tatapanmu dan tatapanku bertemu di sebuah kedai kopi dan sebuah Espresso beserta Americano menjadi saksi dua umat manusia yang berbincang tentang kehidupan yang tidak pernah sekalipun benar-benar hidup. Mungkin saat itu, kenyataan tidak sepahit Espressomu atau tidak sedingin Americanoku. Tetapi, aku telah lebih awal mengakhiri segala letupan-letupan perasaan yang menjadikanku semakin hanyut dan tenggelam dalam medan magnet yang kau buat. Mungkin, medan magnet itu bukan untukku. Aku hanya tersesat dan baru menyadarinya di akhir hari. Dingin tidak membuat langkah kakiku berhenti. Menyusuri jalan di sekitar tempat tinggalku dan menghirup sedikit udara segar untuk menyuplai ulang...

I Was in Pain

I’m not afraid of death. I’m afraid of being despair on my life. Aku terkejut. Aku takut. Aku hanya bisa diam. Menyudut di pojok ruangan. Dingin dan tanpa teman. Aku menggigil dengan vibrasi yang luar biasa. Aku mengamini setiap doaku sendiri. Agar aku bisa melihat senja lebih lama, menikmati embun pagi, dan menaikki merry go round. Setidaknya itulah yang ingin aku lakukan sebelum akhirnya aku benar-benar hilang. Aku tidak memiliki teman special, aku cukup bersyukur. Setidaknya aku tidak perlu memberikan aba-aba tentang perpisahan atau apalah yang membuatnya meneteskan air mata. Ada beberapa sahabat lawas yang bisa diatur ritmenya agar mereka tidak terlalu melow. I Was In Pain Hari ini, aku takut. Luar biasa takut. I need some hugs to back me up . Tetapi aku yakin, Tuhan pasti bersamaku dalam hal ini. Tuhan, tidak pernah membuatku menderita. Ia hanya menunjukkan warna kehidupan yang sesungguhnya. Agar aku tidak mudah tertipu. Dan untuk pertama kalinya aku meng...