Langsung ke konten utama

The Fool



Sore itu, Malang hujan. Aroma tanah yang basah berbaur dengan bau jemuran yang belum sempat diangkat oleh Sang Empunya.

Pukul 14.12 WIB. Masih bernuansa mendung serta sedikit sendu, perempuanku membuka kamar nomor 5 sembari berbisik, “Nanti ya kalo udah agak redaan kita jalan ke tempat biasa. Kamu gak papa? Kan kemarin malam kamu sudah ke sana?”

Aku tersenyum lebar, “Aahahahahaha kamu ajakin aku ke sana sehari tiga kali pun kalo Della mah okay sajoooo!!”

Perempuanku tebahak lantas menutup kembali pintu nomor 5 dan berjalan menuju kamarnya sendiri. Kami berdua tidur di “bangsal” masing-masing. Sementara di luar hujan sedang bercumbu mesra dengan tanah dan bunga-bunga di halaman. Hujan yang sangat mencerminkan kerinduan mendalam.

***

Pukul 18.13, Malang tidak lagi basah. Tetapi jalanan cukup sejuk dan aroma hujan yang sejenak datang tadi sudah cukup untuk mengguyur jiwa-jiwa yang lelah. Ah, inilah yang aku suka dari Malang-ku. Adem. 

Perempuanku berdandan sangat cantik. Jarang sekali dia melakukan hal itu, mengingat dia adalah tipe orang yang bahkan sangat malas untuk menggambar alisnya sendiri.

Aku mengerlingkan mata sambil menggoda… . ”Wohoo, wonderful!!!!! Nah, gini dong kalo mau keluar. Masak iya kucel terus. Jahahahaha!!”

She replied… . ”Sialan. Iyasih aku akhir-akhir ini jarang dandan, ya? Ke gereja pun kadang polosan.”

Entah malam itu kita berdua berasa “berbeda”. Aku berdandan full-up seperti biasa dengan jeans biru tua serta T-shirt putih yang aku balut dengan casual blazer bernuansa pastel. Rambut panjangku aku biarkan terurai sedangkan di belahan rambut yang kanan aku jepit dengan penjepit hitam. Sedangkan sahabat perempuanku menggunakan blouse berwarna maroon plus skinny jeans yang sangat cocok dengannya.

Malam itu. Malam minggu. Kami berjalan menyusuri jalan di kompleks perumahan dan langkah kaki kami terhenti di kedai kopi tempat kami biasanya minum.

Malam itu kami tidak banyak minum. Hanya Iced Cappucino dan Coffee Latte yang terhidang di meja nomor 16. Plus satu piring pancake coklat. So yummy anyway.
 
So, there we were. Talked about life, career, last  project and all of sudden seorang pelayan wanita dengan polo-shirt hitam menghampiri meja kami dan menawarkan sesuatu yang masih asing bagi kami. Well, ini bukan semacam Red Wine yang selalu diminum perempuanku saat perjamuan kudus. Bukan pula tawaran untuk menjadi MC dadakan atau host acara ulang tahun yang freak. She offered us a Tarot. Yap, tarot.

***

Lima belas menit setelah pelayan manis tadi menawarkan kartu ajaib itu. Kami bersiap bermain dengan kartu yang sama sekali belum akrab di telinga kami.

Perempuan pembaca kartu itu bernama Ika. Ternyata satu almamater dengan diriku dan sahabat perempuanku. Kami bertiga duduk di meja nomor 16. Perempuan pembaca kartu tarot itu membuka kain merah sebagai alas dari 78 buah kartu yang sedang digenggamnya.

“Siapa duluan yang ingin dibacakan?” tanyanya.

“Aku duluan aja, Mbak.” Jawabku. 

“Tentang apa?”

Family.”

“Okay, tiga kartu.”

Tiga kartu. Aku mengambilnya secara acak. Entah aku tidak paham dengan gambar yang tertera di dalam kartu yang aku ambil. Aku juga tidak yakin bagaimana bisa seorang wanita yang sedang duduk di hadapanku menafsirkan makna dari simbol-simbol asing itu. Sungguh luar biasa, penggabungan antara filosofi, kekuatan intrapersonal dan juga kemampuan analisa yang bagus.
The Fool

“Di rumah lagi banyak masalah ya? Komunikasinya ancur banget.”

Aku hanya mengangguk. Berusaha membenarkan. Dan menunggu kata-kata selanjutnya dari perempuan pembaca kartu tarot itu. 

Sekitar dua puluh menit perempuan yang bernama Ika itu duduk di meja kami. Sudah out  of time sebenarnya, tapi perempuan itu masih asyik dengan kartuku.

“Boleh aku lihat lagi?” tawarnya.

“Boleh.” Jawabku.

“Satu kartu.” Sahutnya.

Satu kartu aku ambil dan aku serahkan ke tangan perempuan itu. 

Okay, I see it now.” Lanjutnya.

Malam itu aku belajar banyak. Tentang bagaimana aku selama ini terlalu khawatir terhadap pandangan orang kepadaku. Aku terlalu takut orang lain menilai aku ini dan itu. Terlebih juga tentang keluargaku. Malam iitu, aku belajar dan melihat dari kacamata orang lain. Dari kacamata seorang Ika. Dari kacamata orang yang netral. Dari kacamata perempuan yang masih menganggapku berkelas meski status ekonomiku sangat memprihatinkan. Perempuan itu menambahkan, kelas bukan tentang mobil apa yang aku kendarai. Kelas bukan tentang tempat nongkrong macam apa yang aku kunjungi. Kelas bukan tentang seberapa banyak dollar yang aku miliki. Yang menentukan kelas adalah kita sendiri. Della sendiri. Diriku secara mutlak. Karena yang paling paham dengan diriku adalah diriku sendiri. 

Malam itu, kami tidak membicarakan masalah magic dan semacamnya. Kita benar-benar berbicara masalah hidup dan aktor-aktor yang terlibat di dalamnya. Yang mana adakalanya kita harus menjadi orang yang pertama memadamkan api. Untuk selanjutnya orang-orang di sekitar kita akan melakukan hal yang serupa. Walaupun hal itu membutuhkan waktu yang lama.

Malam itu, aku belajar mengenal diriku. Tanpa rasa munafik. Tanpa ego dan gengsi. Benar-benar diriku yang mungkin selama 22 tahun terakhir ini aku ragukan keberadannya. Yang selalu aku debat dengan pertanyaan yang bahkan sesungguhnya tidak perlu dijawab. Karena di dalam kehidupan, semua orang akan menemukan sesuatu yang sangat sulit mereka pahami. Sulit untuk dipelajari. Tetapi, lantas kita harus men-skip-nya dan melanjutkan chapter yang lainnya. Karena hidup terlalu singkat  untuk adegan panjang semacam itu.  

Malam itu juga, aku juga menemukan kenyataan yang selama ini aku pungkiri. Bahwa orbitku berbeda. Bahwa kelasku berbeda. Bahwa stereotype-ku juga sangat berbeda.  What the kind of creature I am?

Karena tanpa sadar, aku telah menciptakan label buatanku sendiri. Selama 22 tahun terakhir. Itu lantas yang terkadang membuatku merasa hitam di antara yang putih. Atau merah di antara yang abu-abu. Because I’m really that different, tho.

Malam itu pula. Aku kembali merasa worthy dan wealthy meski dengan dollar seadanya. 

Pesan perempuan itu hanya satu, “Bersabarlah. Semua akan berakhir indah. Hubungi aku kalau kau membutuhkan teman bicara. Aku tahu bagaimana rasanya tidak memiliki siapa-siapa. Tidak mudah menjadi orang yang belum dewasa sebelum waktunya.”

Malam itu, aku pulang dan kembali ke kamarku kemudian tertidur dengan lelap hingga pagi. Kemudian aku beranikan diri untuk menelfon Ibuku. Membicarakan semuanya tanpa terkecuali. 

“Selama ini kita telah berlayar ke utara, tetapi kita tidak pernah menemukan apapun. Justru semakin banyak beban yang harus kita emban. Semakin banyak bajak laut yang kita hadapi dan kegelapan semakin banyak melingkupi. Aku sudah siap membelokkan arah sampanku ke barat, timur atau bahkan ke selatan. Apakah Ibu bersiap ikut dengan kapalku? Ayah, Kakak, Adik juga sudah ada di dalam. Tinggal memunggumu.”

Ibuku menangis.

“Aku beruntung memiliki anak sepertimu, Nduk. Maafkan Ibu jika selama ini kau banyak menderita.”

“Ibu, aku sudah kebal dengan rasa sakit, aku sudah kebal dengan rasanya kelaparan, aku juga sudah muak dengan ancaman yang datang dari manapun itu. See? I’am still alive anyway, Mom. Aku sudah siap bertempur. Mungkin, memang inilah jalan hidup kita, Ibu. Kau sudah melakukan bagianmu dengan sangat baik. Sekarang saatnya aku mengambil kendali. Percayalah padaku, Bu. Ini jalan satu-satunya dan dari dulu  aku benar-benar ingin melakukannya. Aku sudah muak dengan rumah. Aku sudah muak dengan semua ini. Jika memang ini adalah akhir, tolong percayakan sepenuhnya akhir ini kepadaku, Bu.”

Ibuku kembali terisak. Percayalah, Kapten-mu ini tidak akan oleng.

Rosalie

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hari ini kita tidak ada bedanya..

Hari ini. Hari dimana sebuah kata menjelma segumpal peluk hangat dan secangkir manisnya persaudaraan. Hari ini. Hari dimana seorang aku ternyata bukan hanya sebatas aku, tetapi tentang apapun itu yang menggantung di pundakku hingga kuku tanganku kaku karena membeku. Tidak seburuk itu, karena hidup ini bukan skripsi, jadi tidak ada revisi. Tidak seperti yang kau pikir di otak bebalmu itu, karena hidup ini memang tidak semudah itu.  Hari ini, lagi kumaknai hari dimana siapapun berhak memiliki dan berjuang atas nama sesuatu. Mobil mewah, apartemen megah, suami setia atau apapun yang mereka sebut cita-cita. Tidak ada batas, tidak ada beda. Kamu, yang menjadikanku pemilih dalam hidup. Pemilih atas sesuatu yang telah aku tentukan sebelumnya, akhirnya aku memilih jalanku. Jalanku yang kau bilang berliku. Tetapi kau selalu memegang pundakku dari jauh. Jangan sampai terjatuh, karena aku bahkan tidak bisa membedakan mana jurang mana jalan.   Itulah kau, yang kusebut nyawa baru bag...

Paket Mimpi

They said "Follow your dreams!". But, if my dreams broke into thousand pieces. Which one I should follow? “Makan, yuk?” tanyaku sambil menjepit smartphone di antara bahu dan telinga kananku. Bastian Faldanu, nama pria yang tertera di layar smartphone Sonyku. “Makan dimana?” tanyanya sambil menguap. Kebiasaan. Jam segini baru bangun. Batinku terkekeh.  “Biasanya aja?” aku balik bertanya sambil membereskan file-file mengajarku dan memasukkannya ke tas ransel. Hap. Beres.  “Jangan deh. Padang, yuk?” tawarnya.  “Okay. Aku jemput ya, bentar lagi berangkat.” Ucapku sambil mengakhiri pembicaraan di telfon. Pagi itu, oh mungkin agak siangan. Pukul 10.30, aku bergegas mengendarai kendaraanku ke arah tempat kos sahabatku. Sangat cepat. Takut keburu kres dengan waktu mengajar privatku.  Tidak lama kemudian, pria itu keluar dari pagar kosnya dengan menggunakan celana pendek abu-abu dan polo shirt warna merah maroon. Dan, sebagai tambahan saja. Dia...