One more cup. Ucapku pada seorang waitres perempuan cantik yang kebetulan
melewati mejaku setelah mengantarkan sebuah frappe
dan risol mayo kepada pengunjung di sebelah mejaku yang sedang asyik dengan
tabnya.
“Haiiish, Madam.
Satu aja cukup.” Pria disampingku menimpali.
Aku hanya
memandang wajah pria itu sekilas kemudian lamunanku kembali ke gelas sekali
pakai yang terpampang di hadapanku. Dengan label Cappucino for Miss Rosalie dan isinya yang tinggal seperempat
bagian.
Kali ini aku menghabiskan sabtu malam yang dingin
di café agak jauh dari kediamanku. Masih bersama lelaki yang sudah sebelas
tahun menemani hidupku. Pria yang selalu
aku maki sebelum keluar bersama entah hanya untuk nongkrong di café atau
sekedar windows shopping di bookstore terdekat. Makian yang selalu
sama,
“Males banget sih keluar sama kamu, Na! Nurunin
pasaranku tahu gak? Dikiranya aku cewekmu tauk!” seperti itulah kira-kira
mantra klasik yang selalu aku ucapkan ketika pria itu bersiap menjeputku.
Kalau sudah seperti itu, pria itu akan tertawa
seperti kakek lampir jahanam. Sialan.
Malam ini, aku berbekal buku yang belum sempat aku
baca secara keseluruhan dan pria itu berbekal laptop dengan deadline tugas
akhir yang menghiba untuk segera dieksekusi. Sangat menderita pasti menjadi
tugas akhir itu. Tidak pernah dihiraukan oleh sang empunya. Lantas aku terkekeh
ketika melihat garis wajah pria itu sangat serius mendalami bahasa asing yang
sedang menjadi bahan skripsinya. Ironis betul.
Waitres perempuan yang cantik tadi menghampiriku
lagi dan menyajikan satu cup cappuccino
untukku. Pria yang biasa kupanggil Na itu hanya melirik sambil menggelengkan
kepala sesaat, kemudian tatapannya kembali fokus pada layar laptopnya. Aku
mengudarakan cup cappuccino-ku
sembari berkata “for Rosalie and her
freedom”. Terkekeh sesaat kemudian kembali hening.
Ah, aku sedang memikirkan apa sih? Rencana awalnya
kan aku membaca buku berjudul “London” yang baru aku beli beberapa hari lalu,
tetapi kenyataannya aku kembali melirik laptop Na dan berharap pria itu menyadari
kegusaran hati sahabatnya.
Come on
look at me, Dude. Batinku
mengucapkan jampi-jampi ajaib.
Ah, it
doesn’t work on him. Damn.
“I
deleted him from my Blackberry Messanger.” Ucapku tidak tahan untuk segera mengakhiri keheningan itu.
“Whaaaats?” Pria itu setengah berteriak namun tatapan matanya
masih tertuju pada layar laptop yang ada di hadapannya.
“Aku capek. Katanya cinta harus berjuang, kan?
Tapi berdua, bukan sendirian. Kalo sendirian mah namanya tarik tambang.”
Wajahku cemebrut seketika, namun tatapanku masih juga melayang pada cup of cappuccino yang pertama aku
pesan.
“Kau tau? Hal yang paling menyedihkan dari
mencintai seseorang adalah ketika tanpa sadar kau telah dijadikan pilihan.
Namun, kau tidak pernah terpilih.” Lanjutku terbata.
Tanganku kini meremas sudut buku berjudul “London”
dengan warna sampul merah maroon menggoda itu.
“As the new
door opens, we close the ones behind-lah.” Ucapku dengan aksen Inggris yang
kental.
![]() |
One More Cup |
“Dari dulu sebenarnya aku bermaksud mengehentikan
aksimu itu. Kamu terlalu berlebihan menunjukkan kalau kamu suka dia, Madam.”
Pria itu menimpali santai.
Aku seketika terkejut dengan perkataannya. Ah,
sial. Aku terlihat semakin menyedihkan.
“Padahal kamu udah ngasi kode keras, Cuy. Ibarat
department store nih ye, kamu udah pasang Garage
Sale. Diskon 70 + 20 % dengan barang mulus dan whole package.
Kemudian tawa kami bertabrakan di udara. Kampret
betul sahabatku yang satu ini. Tetapi, he
just said a right thing anyway.
“No one
even can handle you or understand you, Madame. You know, you look like a messy
art. You may not perfect or what, you may broke, you may seem upset, you may
look great, look nice, and your eyes look like home and also adventure. But,
the matter is just a few people who can see the way you are. Another people
just see your bad side or maybe they just see yourself which is they picturing
in their mind. So, he is not the one, Madame. He is not the kind of man who can
really enjoy have a driving road with the art like you. So, don’t stoop so low.
You need a braver man.”
Ow shit.
It’s feel like he slap me right in my face. Slap me with something I don’t even
realize during this time.
Aku terdiam. Memandang cappuccino-ku yang tak kunjung habis.
Pria itu menambahkan, “In fact, you don’t need any guy or boy, Madame. Notice that! You just
need someone who will stand by you when you need a caffeine or when you start
to crave on your weird sense of adventure. You just need someone who never
bored to have a deep talk with you or even a polite conversation with you or eventually pervert
thing talk. And, you could get the one
easily through your friend. You just need someone to discuss about
nature, supranatural, illegal logging, climate change and any other things that
keep you still alive. You are more valueable than the guy you walking through. Be
smart, please.”
Pria itu masih asyik dengan laptop dan tuts
keyboardnya. Aku masih menatapnya lekat-lekat, sebentar kemudian pandanganku
aku lemparkan ke sisi jalan raya yang tidak begitu padat seperti sabtu malam
biasanya. Beberapa bulir air dari angkasa jatuh ke bumi dengan kecupan ringan yang
berhasil membuat bumi bertekuk lutut. Pasrah. Ah, gerimis itu begitu
menggerimiskan hati.
Mungkin memang benar. Apa yang dikatakan Na. Aku
terlalu sulit untuk dipahami. Terlalu aneh untuk dijadikan standart normal
suatu hal. Terlalu memiliki dunia sendiri dan tidak banyak orang yang memiliki hak istimewa untuk sekedar duduk dan
berbincang denganku di kedai kopi saat sore mulai menguliti malam. Atau setidaknya
tidak banyak orang yang tingkat ketidakwarasannya setara denganku. Tidak banyak.
Tetapi, aku menyukai hal yang sangat sederhana. Seperti berbincang di atap
rumah sembari membicarakan tokoh anime, berjalan-jalan ke toko buku dan menekukan
sesuatu yang lucu, mencari spot senja paling bagus sambil menikmati popcorn dan
sekedar bermain di taman bermain bersama anak TK di sekitar tempat tinggalku. I’m not that fancy girl or what anyway. But,
this is deal that I have to sign which is nobody can even read my eyes or stay
my heart. Nobody does.
Rosalie
Komentar
Posting Komentar