Langsung ke konten utama

Cheers !!!!!!!!!!!!



Dear Diary,
October 2015

I don’t really know about all this things. I cried for hours last night. Hoped for the best of this fucking life. What if I’m begging You to stop? But, I’m not a quitter. Maybe I just need some valium or even more vervein. I really need that but I know someone who know me so well will never let me do that (anymore).

But, this condition is so confusing me a lot. I was just surprise that my life is full of rejection. Even, it’s comes from the one who should take care of me. And, another version of reality, I stuck there. Can’t move faster cause there’s something inside me hold me so tight. Hold my soul. 

I just wanna running away from You. but, you stay closer every single time while everyobody else is just laughing at me  because I’m becoming crazy day after day. I can’t fight this things anymore. How many times I should say or even scream over your ear about my feeling? I’m done with this, Dad. I’m done.

Malam itu, seperti biasa. Aku pergi ke taman kota. Bersama teman sekaligus gitaris yang selalu aku panggil “Jazzy”. I don’t know I really like that name. Jazzy. So, when I started to call her so, she doesn’t mind anyway. You know, sometimes it’s your call to give yourself the best name ever. Because name is a hope. Name is also a wish. And, they are calling me “Walker”. Hahahahahhaha agak konyol jika dibahasa-Indonesia-kan adalah ‘pejalan’. Tetapi, pada prakterknya mereka memanggilku demikian karena aku terkenal suka sesuatu yang berhubungan dengan kecepatan, mesin, adrenalin, dan jalan. I like to driving along the street. With high speed of course. 

So, jadilah malam itu kami melakukan pesta minuman. Seorang Walker dan sesosok Jazzy. Bukan minuman yang memabukkan. Hanya dua botol soda yang sudah pasti akan kami kocok dengan kuat terlebih dahulu sebelum membukanya. You see that? BOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOM !!!!!!!!!

Jazzy : Hey, it’s firework!!! *Laughing all aloud*
Me    : I say it ‘paradise’, Jazz!!!! *Run away, then Jazzy run after me too*
Jazzy : So, How was your Dad?
Me    : Nothing. Really nothing.
Jazzy : Sure? But your eyes say hmmmmmm different way. Come on tell me, girl. It’s okay.
Raise Yours !!

Dua puluh menit berlalu. Tanpa canda. Tanpa cela. Hanya ada perempuan bergelar Walker yang berkisah tentang jaman colonial di era modern. Tentang kebebasan yang tidak bisa ditebus dengan apapun. Tentang rasa sakit yang tidak bisa disembuhkan dengan herbal macam manapun. Tentang seseorang yang telah hilang. Long gone. Tetapi jasadnya masih gentayangan. Dan, lagi. jasad itu benar-benar membuatmu muak akan kehidupan.

Jazzy : So, how it’s feel?
Me    : Feel? What?
Jazzy : Your feeling to stand without him…
Me    : So much better. But, its killing me when he calling me up again. Everytime, Jazz. Jazz…
Jazzy : Hmmm?
Me    : Am I look like a good guy?
Jazzy : what did you said? Of course you’re good person.
Me    : Then, why does my life turn into something miserable?
Jazzy : *Look at the stars over the sky* I’m not sure about that, but one think I know for sure about you…….that you deserve better.
Me    : Am I?
Jazzy : Yeah, let’s laugh until the pain doesn’t matter anymore. Let’s rave until the sun goes down.
Me    : So, ayoooo bersulang. Untuk Rosalie Walker dan Jazzy Je!!!!!!
Jazzy : Of course, Sweet Walker !!!! *We toss the cola up in the air*

So, semua ini kembali lagi tentang pilihan. You choose. You will determind. And in the end you will also pick the result up. When the thing never run as the plan, it’s called ‘Life’.

And if my life has a soundtrack, it must be “STOP” by David Guetta ft Ryan Tedder. I recommend it as an acoustic version.

Rosalie

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hai Januari

Hai, Januari. Bulan suciku. Bulan dimana aku 22 tahun yang lalu hanya seonggok daging yang bisa jadi dihidupkan. Atau bisa jadi kehidupan itu dibatalkan. Januari berbekas seperti sisi luka yang tidak pernah mereka tahu. Mereka hanya melihat, tidak menatap tajam. Mereka hanya lewat, tidak merapat. Bulan yang penuh hujan air mata. Ah, andai aku bisa membendungnya. Sedikit saja agar mata ini tidak membengkak kemudian mengumbar tanya. Ada apa dengan matamu? Kemudian aku buru-buru membungkusnya dengan kerutan senyum yang aku buat sendiri. Sembari mengucapkan aku tidak apa-apa versiku sendiri. Hai, Januari. Kau ingat lilin yang meleleh di pelataran tart mewah itu? Kau ingat bungkusan indah yang terbalut pita biru muda yang anggun? Aku masih mengingatnya, tetapi seingatku aku telah lama membuangnya. Bagiku semua itu sudah tidak ada pengaruhnya pada hati yang mulai meradang ini. Radangnya sudah bercabang, hingga membentuk kubangan luka yang ku sebut...

It's Just for Nothing

KARENA SEMUA INI PERCUMA. Percuma. Percuma setiap hari aku berharap kau membaca semua tulisanku. Percuma setiap saat aku berharap kau akan sadar bahwa aku ada untukmu. Percuma setip waktu aku berharap kau akan datang kepadaku. Benar-benar payah. Lebih baik aku lepaskan saja sosokmu itu. Yang dahulu merogoh masuk ke dalam jiwaku dan menembus menguliti dinding hatiku yang kelam. Sudah tidak berarti saat ini. Sudah tidak berpengaruh lagi. Hari ini aku putuskan untuk tidak lagi menjadi manusia menyedihkan bernama diriku. Bukankah seharusnya cinta itu diperjuangkan berdua, bukan sendiri? Aku terbahak dalam imajiku sendiri. Mengumpat pasrah tentang paradox rasa yang hingga saat ini masih susah aku cerna. Aku tersedak dalam stigma-stigma yang bahkan aku sendiri tidak paham tentangnya. Aku tersudut di ujung pikiranku yang tumpul. Aku tersisih di penghujung hatiku yang kian membeku.  Aku terbawa arus hingga ke seberang dan aku tidak mampu berenang, pun menyelam. Sem...

Pesan Singkat

12 November 2014 Tuhan, aku malu. Aku malu memandang wajah teduh yang menyilangkan senyum pasi itu. Aku malu melihat senyum yang sebaiknya tidak pernah kulihat itu. Aku terlampau malu hingga aku hanya bisa memandang jari kakiku sendiri. Tuhan, bolehkah aku melihatnya sekali lagi? Sebelum aku mengurung semua uap-uap memoar ini dalam bingkai kenangan? Hari ini aku berpikir kau tidak akan datang. Satu, dua, tiga, dan aku terus menghitung hingga detik ke sekian ribu. Aku masih saja belum mencium aroma tubuhmu. Aku kembali menghitung, dan pada hitungan kesekian aku teringat kembali serentetan kejadian yang seharusnya tidak pernah terjadi. Yang seharusnya tidak pernah berubah menjadi kenangan yang hanya akan usang dan berdebu seperti aroma rumah tua yang ditinggalkan penghuninya.  Aku kembali duduk santai di tempat duduk dimana aku mengerjakan tugas akhirku. Ada hasrat menghubungimu, tetapi untuk keperluan apa? Aku bahkan bukan partnermu. Aku hanyalah wanita dengan bol...