Langsung ke konten utama

Bapak

Bapak, adek boleh ikut ke Jakarta?

Aku kecil tersipu malu sembari memeluk leher pria yang kupanggil Bapak itu. Pria itu masih memandangiku dengan tatapan tenang dan penuh senyum tulus. Aku masih ingat bau sabun yang beliau pakai. Dan juga rambut basah yang baru saja diseka dengan handuk. Aku suka aroma Bapak sesudah mandi. Dan aku akan melempar senyum manja sembari menunjukkan deretan gigiku yang lucu dengan harapan beliau akan menggendongku. Hap. Aku digendong.

Bapak, habis ini mau kemana? Bapak mobil kita kasian ya gak punya rumah (baca: garasi). Bapak ke Jakarta itu jauhnya kayak dari rumah kemana sih? Bapak, adek mau es krim! Bapak kita habis ini main kan? Bapak kapan adek boleh nyetir sendiri kayak Bapak? Bapak kalo nanti mau keluar, adek boleh ganti baju yang bagus kan?

Semua kata-kata itu terekam sempurna dibenakku. Sempurna. Tanpa cacat. Tanpa sendat. Bahkan lebih jernih dari rekaman lagu besutan music record terbaik sekalipun.

Sudah 16 tahun berlalu. Tapi, aku tidak pernah melupakan detik-detik itu. Detik-detik ketika Bapak pulang membawa es krim. Detik-detik ketika aku merindukan Bapak. Detik-detik dimana aku mengendap masuk ke mobil Bapak dan mencari recehan di dasboard mobilnya. Aku ingat. Bapak selalu menyediakan receh disana. Kadang kalau aku sedang beruntung, aku akan menemukan satu lembar lima ribuan yang pada saat itu merupakan angka yang fantastis untuk anak seusiaku. Bapak menyediakan receh itu bukan tanpa alasan. 
Dad Is The Daughter's First Love

Bapak sering bilang "Dek, di Jakarta Bapak sering bertemu anak-anak kecil kayak kamu nyanyi di jalanan". Aku kecil hanya mengernyitkan dahi. Tidak paham. 

"Mereka masih kecil, tapi sudah bekerja di jalanan mencari recehan ini untuk diberikan pada orang tua mereka. Adek patut bersyukur, adek masih punya Bapak. Adek gak perlu bekerja seperti itu."

Aku kecil hanya melongo. Jangankan bekerja, membayangkan saja sudah ngeri. Bapak sering memberikan uang lebih kepada anak-anak yang kurang beruntung seperti mereka.

"Dek, kamu nanti sekolah yang pinter ya. Bapak pengen liat anak Bapak jadi dosen. Jadi Bu Gurunya kakak-kakak yang KKN disini itu. Mau?" Aku kecil hanya mengangguk malas sembari menjilat es krimku yang sudah mau habis. Saat itu aku tidak paham bahwa pahlawan itu sedang mengajarkan sesuatu yang baru kusadari 16 tahun sesudahnya.

Bapak pulang. Bapak pulang. HORE. HORE. Oh tidak. Pasti aku salah dengar. Bapak tidak mungkin sakit. Bapak kenapa harus pulang ke rumah sakit? Aku kecil hanya sembunyi di dalam mobil tidak mau keluar menuju kamar dimana Bapak dirawat. Kata orang-orang, Bapak kecelakaan. Mobilnya masuk ke lubang. Entah lubang apa. Aku hanya ingin Bapak sembuh tapi aku takut ketemu Bapak. Aku takut melihat kondisi Bapak. Aku pernah melihat korban kecelakaan di TV dan aku tidak bisa membayangkan jika hal serupa menimpa Bapakku. Menimpa pria yang sangat kucintai dan kugagumi.

Aku suka memandang jalan di sore hari. Dan bertemu senja. Sembari menunggu Bapak. 

"Bapak kok belum pulang-pulang ya mbak?" tanyaku pada kakakku. 

"Bapak kejebak macet, dek. Ayo masuk dulu. Nunggu Bapaknya di dalem aja". Kalau sudah seperti itu aku akan bangkit dengan malas dan memandang ke belakang. Ke tikungan jalan itu. Yang sebentar kemudian berubah menjadi orange karena warna senja yang hangat dengan bayangan pohon besar di ujung jalan. Dan berharap bayangan selanjutnya adalah mobil Bapak.


dhe. (yang ingin selalu berada di kamar hemodialisa untuk menemani Bapak)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jika Saja

. Jika saja itu cinta, aku akan langsung menarik pergelangan tangannya dan melekatkannya erat di lingkar pinggangku . Jika saja itu cinta, aku tidak peduli ada berapa pasang mata yang melihat, aku akan   merangkulnya dan mencium keningnya . Jika saja itu cinta, pasti sekarang aku sudah bahagia . Sayangnya itu sama sekali bukan cinta . Tidak hanya kamu, aku juga telah tertipu . Aku telah berlari jauh-jauh dari bagian bumi yang lain hanya untuk memastikan itu cinta . Ternyata bukan . Lantas bunga mawar yang kupegang harus aku jatuhkan di tempat ini juga . Karena aku telah lelah . Lelah bukan pasrah . Semoga di pertemuan selanjutnya, itu benar-benar cinta . Bukankah kamu juga berharap demikian? . Sekarang mari kita sejenak membasuh luka dan menutupnya dengan perban terbaik . Jangan penah melihat lukaku . Aku juga tidak akan pernah melirik milikmu . Jika perbanmu sudah habis, silahkan bertamu . Aku akan berbagi perbanku untukmu juga . Dan semoga kit...

Paket Mimpi

They said "Follow your dreams!". But, if my dreams broke into thousand pieces. Which one I should follow? “Makan, yuk?” tanyaku sambil menjepit smartphone di antara bahu dan telinga kananku. Bastian Faldanu, nama pria yang tertera di layar smartphone Sonyku. “Makan dimana?” tanyanya sambil menguap. Kebiasaan. Jam segini baru bangun. Batinku terkekeh.  “Biasanya aja?” aku balik bertanya sambil membereskan file-file mengajarku dan memasukkannya ke tas ransel. Hap. Beres.  “Jangan deh. Padang, yuk?” tawarnya.  “Okay. Aku jemput ya, bentar lagi berangkat.” Ucapku sambil mengakhiri pembicaraan di telfon. Pagi itu, oh mungkin agak siangan. Pukul 10.30, aku bergegas mengendarai kendaraanku ke arah tempat kos sahabatku. Sangat cepat. Takut keburu kres dengan waktu mengajar privatku.  Tidak lama kemudian, pria itu keluar dari pagar kosnya dengan menggunakan celana pendek abu-abu dan polo shirt warna merah maroon. Dan, sebagai tambahan saja. Dia...

Put the Gun up, Warrior !!!

Masih terdiam sembari mendengarkan pria paruh baya itu berbicara. Dari gaya bicaranya sudah bisa dipastikan bahwa pria yang tepat duduk di sampingku itu adalah seseroang yang very well-educated . Aku, dengan sikap sopan dan sesekali menatap mata pria itu masih saja terhanyut pada cerita panjang kehidupannya yang terpaksa harus beliau ringkas karena Taman Dayu (tempatku turun dari bis malam itu) sudah cukup dekat. Setelah berterima kasih karena telah membayar ongkos bisku, aku pun pamit. Ah, semoga Tuhan memberkati pria baik yang akhirnya aku tahu adalah seorang dosen di sebuah perguruan tinggi negeri di kotaku itu.  Aku turun dari bis malam, segera menghampiri seseorang yang sedang menghabiskan mocca float -nya di KFC Taman Dayu. Kami duduk berhadapan. Sedikit basa-basi kemudian saling memanjangkan lidah untuk bertukar cerita. Masing-masing dari kami tertawa, serius menyimak, tidak banyak menimpali, lebih banyak mendengarkan. Hal itulah yang selalu aku lakukan jika aku sed...