Aku
sedang jatuh cinta sepertinya. Sahabatku bilang aku positif terkena virus
terkutuk itu. Ah, damn it.
Benarkah?
Bukankah jatuh cinta adalah cara bunuh diri yang paling masuk akal. Bukankah
jatuh cinta adalah cara lain untuk sebuah moment sakral masuk jurang atau
menenggelamkan mobil di sungai. Aku terkekeh. Sahabatku melongo.
Aku
kembali menatap wajah yang mirip denganku itu. Sembilan tahun bukan waktu yang
singkat untuk sebuah persahabatan. Dan dia bisa menebak hal sederhana itu. Sepertinya
aku sedang jatuh cinta. Sesederhana itu.
Tetapi,
aku bisa apa? Selain menahan degub jantungku sendiri ketika pria itu melewatiku.
Selain berteriak kencang ketika pria itu menyapaku. Ah, bodoh. Apa memang
begitu? Orang jatuh cinta bisa sebodoh itu?
Tetapi,
ini tidak mudah. Ada beberapa hal yang tidak bisa aku tembus. Pertama, aku
tidak mengenalnya. Kedua, sepertinya dia sudah memiliki pujaan hati lain.
Sudah.
Selesai, kan? Ambil saja keputusan paling eksplisit. Dia tidak mungkin
menyukaiku. Aku gadis ceroboh. Aku gadis gila. Aku hanya gadis yang suka pergi
ke café sendiri dan menikmati secangkir latte hambar. Dan blogku. Aku hanya
memiliki blog ini. Hidupku satu-satunya. Ah, sialan.
Apa
yang bisa dibanggakan dari gadis sepertiku?
Aku
menjauh menuju dunia yang paling sempit. Seperti kotak-kotak kardus. Aku terpental
jauh. Tidak mungkin berjuang.
***
Malam
ini, malam minggu. Anggap saja sabtu malam.
Aku
berjalan lagi menyusuri jalan setapak itu. Berbekal jaket bulu-bulu yang tebal
dan sepatu boot yang hangat.
Langkahku
terhenti di depan bundaran. Bundaran taman, tempat paling aku suka untuk
menghabiskan malam minggu. Dengan milk shake yang aku genggam di tangan
kananku. Aku duduk menghadap sebuah tempat hiburan malam. Sangat ramai. Banyak pengunjung
yang sepertinya ingin merayakan malam dengan cara yang sedikit ‘tidak biasa’. Aku
tersenyum kecil. Menyedot milk shake-ku dan mulai berbincang dengan langit. Atau
lebih tepatnya dengan diriku sendiri.
Pertanyaanku
hanya satu. Apakah semesta bisa menjamin bahwa mereka pun yang mungkin sedang
bersenang-senang di tempat hiburan malam itu benar-benar tidak merasakan
kesendirian? Aku tidak menyukai kosa kata sepi. Terlalu dingin. Terlihat angkuh. Aku
lebih memilih diksi ‘sendiri’. Menunjukkan kesan mandiri dan taste of struggle yang lebih berkelas.
Aku
kembali tersenyum kecil. Merogoh smartphone yang aku selipkan di saku jaketku
sebelah kiri. Waktu menunjukkan pukul 18.40. Masih terlalu sore pikirku.
Kemudian
aku memasang headset yang sudah aku siapkan di saku celana jeansku dan memutar
playlist favoritku. Sesederhana itukah menikmati kehidupan? Pikir dan
imajinasiku terbang ke negeri seberang. Menikmati alunan musik yang lembut.
Beberapa
saat kemudian, smartphoneku bergetar. E-mail dari teman dekatku. Kebiasaan. Malas
memebeli pulsa regular. Biasanya dia akan mengirimkan pesan singkat melalui SMS.
Kalau sedang kere, E-mail menjadi alternatif paling keren. Hahahaha.
Temanku,
Luna, sedang berkencan dengan pacarnya. So, malam ini aku komplit sendirian di
tempat ini. Okay. That was not really
bad deal.
Betapa
bahagianya Luna, memiliki Andre. Setidaknya dia memiliki satu tempat untuk
sekedar merebahkan diri. Tanpa harus bercerita panjang lebar. Hanya tempat bersandar.
Aku
menengadah. Berharap ada malaikat, atau setidaknya Venus yang akan mendengar doaku. Jika
tidak, Amore pun boleh juga. Hahaha. Konyol.
Sendiri.
Bukankah itu sebuah kosa kata yang sangat mengerikan? Itu yang mungkin aku
rasakan ketika aku berjalan di keramaian. Pandangan orang lain terhadapku. Tetapi
aku menikmatinya. Lebih tepatnya aku menerimanya. Jika memang harus sendiri,
aku lantas bisa berbuat apa? Milk shake di tangan kananku aku remas kuat. Bodoh.
Untuk apa ambil pusing dengan pendapat orang lain. Orang lain hanya bisa melihat tanpa
bisa bertukar posisi. Celatukku membela diri.
Lantas,
apakah mereka yang aku lihat di depan mataku saat ini benar-benar bahagia
dengan apa yang mereka miliki?
Mereka
di ujung sana yang sedang bergurau mesra dengan pasangannya. Mereka yang di
seberang sana sedang bernyanyi bersama kelompoknya. Lalu, beberapa balita yang
berlari-lari kecil mengejar gelembung-gelembung udara dari sabun.
Left Outside Alone |
Mungkinkah
kebahagiaan itu mirip gelembung-gelembung udara dari sabun itu? Tampak indah,
jika terkena cahaya akan menyemburkan warna pelangi. Lengkap. Yang tampak kokoh
dan terbang dengan bebas. Tetapi, ketika ditangkap. Keindahan itu akan hilang. Lenyap
dalam sekejap. Kemudian meluruh menjadi bekas sabun yang berbau tidak sedap. Apakah
seperti itu?
Lantas, jika pun aku memang benar jatuh cinta. Apa yang bisa aku berikan kepadanya? Apakah kebahagiaan yang serupa gelembung-gelembung sabun itu? Ah, aku tidak setolol itu.
Tuhan,
sekarang giliranku bertanya kepada-Mu. Sebenarnya, bolehkah aku jatuh cinta? Apa
Kau tidak akan mengutukku lagi? Kali ini aku tidak ingin tertipu. Aku berbicara
serius. Bolehkah, Tuhan? Jika boleh, maka kebahagiaan macam apa yang bisa aku
berikan untuk pria sebaik itu?
Aku
menundukkan wajahku. Bodoh. Untuk apa aku bertanya jika aku sudah memiliki
jawabannya. Di hatiku. Bukankah aku masih memiliki hatiku untuk mencintainya. Atau
jika tidak, aku bisa menggunakan jiwaku. Bukankah jiwaku masih utuh?
Tetapi,
aku lagi-lagi tidak ingin terkecoh. Benarkah letupan rasa senang itu adalah
sebongkah kasih sayang? Benarkah siluet wajah pria itu adalah jelmaan dari rasa
rindu?
Aku,
bisa apa aku selain menunggu?
Sementara
aku tidak mungkin maju. Aku cukup tahu diri.
Malam
ini, masih sabtu malam. Masih pada zona waktu yang sama. Tetapi, aku merasa
terasing di tempat yang bahkan tidak memiliki zona waktu. Tempat yang kosong. Hambar.
Tidak berdimensi. Mungkinkah aku memerlukan cintanya?
Ah,
damn it.
Aku
melirik smartphoneku. Waktu normal telah menunjukkan 00.00.
Headset
masih terpasang sempurna di telingaku. Beberapa pengunjung taman sudah
berhamburan. Pulang ke rumahnya masing-masing. Bertemu rindu. Di kamar. Di sofa.
Di bed yang empuk. Atau mungkin di ruang keluarga. Sementara, tempat hiburan malam itu semakin ramai.
Aku
masih terjaga dengan jaket tebalku yang semakin aku rapatkan. Hangat. Tetapi otakku
beku. Sedang tidak memiliki frekuensi yang bagus untuk sekedar berpikir masalah
cinta atau sejenisnya. Bagiku, cinta sepeti anai-anai yang terbang, atau serupa
gelembung-gelembung sabun yang ditiup. Tampak indah, tetapi ketika aku pegang,
ia akan hilang.
Maka,
aku akan membiarkan perasaanku ini. Akan aku bingkai dengan rindu yang hanya
sebatas rindu. Tidak akan aku kotori dengan sentuhanku. Biarkan aku mencintainya
dengan caraku. Aku memiliki cara sendiri untuk mencintainya. Dia tidak perlu
tahu. Kalaupun dia tahu aku mencintainya, aku tidak memiliki kata lain selain ucapan maaf.
Volume
MP3 aku tambah beberapa level. Malam ini, hanya untuk malam ini saja, biarkan
aku menikmati cintaku. Hal itu sudah lebih dari cukup.
All my life I’ve been waiting
For you to bring a fairy tale my way
Been living in a fantasy without meaning
It’s not okay I don’t feel safe
I don't feel safe..
Ohhh..
Left broken empty in despair
Wanna breath can’t find air
Thought you were sent from up above
But you and me never had love
So much more I have to say
Help me find a way
And I wonder if you know
How it really feels
To be left outside alone
When it’s cold out here
Well maybe you should know
Just how it feels
To be left outside alone
To be left outside alone
For you to bring a fairy tale my way
Been living in a fantasy without meaning
It’s not okay I don’t feel safe
I don't feel safe..
Ohhh..
Left broken empty in despair
Wanna breath can’t find air
Thought you were sent from up above
But you and me never had love
So much more I have to say
Help me find a way
And I wonder if you know
How it really feels
To be left outside alone
When it’s cold out here
Well maybe you should know
Just how it feels
To be left outside alone
To be left outside alone
(Anastacia - Left Outside Alone)
Love,
Dhe.
Komentar
Posting Komentar