Langsung ke konten utama

Namanya Andrea



Namanya Andrea.

Aku suka memandang matanya. Aku suka melihat gaya bicaranya yang lugu ketika pertama kali ia memperkenalkan diri di depan kelas. Waktu itu, aku hanyalah murid kelas 3 SD yang tidak begitu paham cara menyapa seseorang yang belum dikenal.

"Apa kabar?" ataukah "Hallo selamat siang!" apa mungkin "Apakah harimu menyenangkan?". Entahlah.
 
Namaku Andrian. Waktu itu aku hanyalah bocah kelas 3 SD yang hanya mempedulikan layang-layang dan komik. Itu saja. Tidak ternah terbesit di benakku untuk melakukan hal yang lebih dibandingkan berlarian di tengah teriknya matahari untuk mengejar layang-layang yang putus atau berdiam diri di kamar berjam-jam hanya untuk menamatkan satu komik Inuyasha.

Tapi, kali ini beda.

Ada suara sesuatu yang pecah di dalam jantungku. Sesuatu yang berat tampaknya. Tidak lama kemudian aku merasa aliran darah yang melalui pembuluh nadiku mendadak sesak dan seperti ingin keluar saja. Keluar menyapa Andrea dan bersalaman dengannya. Konyol. Sangat.

Andrea. Andrea Hermawan. Gadis itu mengulang perkenalannya di depan kelas. Namanya hampir sama denganku. Aku tersipu malu sembari menatap paras ayu gadis itu.

Andrian.Andrea

Aku tahu. Ada waktu yang harus kutunggangi untuk mencapai tahap itu. Mencapai tahap yang orang dewasa sebut sebagai kasmaran. Tapi aku bahkan masih sangat belia untuk tindakan semacam itu. Pasti jika ada orang yang mengetahuinya akan mengataiku yang tidak-tidak. Sungguh aku tidak paham dengan sensasi rasa macam apa ini. Berani-beraninya. Batinku mulai mengumpat. Nafasku sesak.
Namanya Andrea. Namaku Andrian. Ingin aku memperkenalkan diriku secara langsung. Tetapi, aku hanyalah bocah ingusan yang tidak mengerti apa-apa. Bahkan tentang aliran pembuluh darahku yang semakin kurang ajar membebatku.

Hingga aku tahu. Musim tidak pernah sekalipun bersahabat dengan waktu. Karena waktu hanya akan mengkhianati musim. Dan akan berganti dengan musim berikutnya. Seperti itu seterusnya. Hingga aku harus sedikit bersabar untuk mendapatkan giliran.

Tetapi, bisa apa aku dengan bekas senyum yang ia ulaskan pada perkenalan itu? Bisa apa aku dengan kenangan yang mengalir di pembuluh darahku?

Selamanya mungkin hanya akan menjadi Andrian yang tidak akan pernah berani menyapa Andrea. Karena aku sedang menyogok waktu untuk meningkatkan testosteronku dan membuat penampakanku lebih pantas untuk berbicara. Itu saja. Jika musim itu telah tiba. Aku akan kembali. Kembali dengan satu tangkai bunga di tangan kanan. Dengan keberanian yang menyala lebih terang. Dengan senyum yang lebih dewasa dan iringan kata "Aku Andrian. Apakah harimu menyenangkan?"

Jangan pernah biarkan rasa hanya tinggal rasa. Jangan pernah biarkan moment hanya menjadi bangkai. Setidaknya ketika aku bertemu dengan Andrea, walau hanya sekali, aku yakin aliran darahku akan normal kembali. Nafasku tidak akan tersengal lagi. Aku tidak mengharap Andrea membalas senyumku atau menerima bungaku serta menukarnya dengan hadiah lain.

Untuk bersanding dan berkata bahwa akulah Andrian. Yang selama ini duduk di kursi paling belakang. Yang selama ini tenggelam dalam segala macam "bagaiaman jika?" dan takut untuk memulai. Yang selama ini hanya menyimpan seribu satu cadaan dalam bungkam. Akhirnya angkat bicara. Dan membiarkan kenangan itu pecah hingga menjelma menjadi satu momen yang indah. Hanya satu, tidak lebih.


dhe.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hai Januari

Hai, Januari. Bulan suciku. Bulan dimana aku 22 tahun yang lalu hanya seonggok daging yang bisa jadi dihidupkan. Atau bisa jadi kehidupan itu dibatalkan. Januari berbekas seperti sisi luka yang tidak pernah mereka tahu. Mereka hanya melihat, tidak menatap tajam. Mereka hanya lewat, tidak merapat. Bulan yang penuh hujan air mata. Ah, andai aku bisa membendungnya. Sedikit saja agar mata ini tidak membengkak kemudian mengumbar tanya. Ada apa dengan matamu? Kemudian aku buru-buru membungkusnya dengan kerutan senyum yang aku buat sendiri. Sembari mengucapkan aku tidak apa-apa versiku sendiri. Hai, Januari. Kau ingat lilin yang meleleh di pelataran tart mewah itu? Kau ingat bungkusan indah yang terbalut pita biru muda yang anggun? Aku masih mengingatnya, tetapi seingatku aku telah lama membuangnya. Bagiku semua itu sudah tidak ada pengaruhnya pada hati yang mulai meradang ini. Radangnya sudah bercabang, hingga membentuk kubangan luka yang ku sebut...

It's Just for Nothing

KARENA SEMUA INI PERCUMA. Percuma. Percuma setiap hari aku berharap kau membaca semua tulisanku. Percuma setiap saat aku berharap kau akan sadar bahwa aku ada untukmu. Percuma setip waktu aku berharap kau akan datang kepadaku. Benar-benar payah. Lebih baik aku lepaskan saja sosokmu itu. Yang dahulu merogoh masuk ke dalam jiwaku dan menembus menguliti dinding hatiku yang kelam. Sudah tidak berarti saat ini. Sudah tidak berpengaruh lagi. Hari ini aku putuskan untuk tidak lagi menjadi manusia menyedihkan bernama diriku. Bukankah seharusnya cinta itu diperjuangkan berdua, bukan sendiri? Aku terbahak dalam imajiku sendiri. Mengumpat pasrah tentang paradox rasa yang hingga saat ini masih susah aku cerna. Aku tersedak dalam stigma-stigma yang bahkan aku sendiri tidak paham tentangnya. Aku tersudut di ujung pikiranku yang tumpul. Aku tersisih di penghujung hatiku yang kian membeku.  Aku terbawa arus hingga ke seberang dan aku tidak mampu berenang, pun menyelam. Sem...

Pesan Singkat

12 November 2014 Tuhan, aku malu. Aku malu memandang wajah teduh yang menyilangkan senyum pasi itu. Aku malu melihat senyum yang sebaiknya tidak pernah kulihat itu. Aku terlampau malu hingga aku hanya bisa memandang jari kakiku sendiri. Tuhan, bolehkah aku melihatnya sekali lagi? Sebelum aku mengurung semua uap-uap memoar ini dalam bingkai kenangan? Hari ini aku berpikir kau tidak akan datang. Satu, dua, tiga, dan aku terus menghitung hingga detik ke sekian ribu. Aku masih saja belum mencium aroma tubuhmu. Aku kembali menghitung, dan pada hitungan kesekian aku teringat kembali serentetan kejadian yang seharusnya tidak pernah terjadi. Yang seharusnya tidak pernah berubah menjadi kenangan yang hanya akan usang dan berdebu seperti aroma rumah tua yang ditinggalkan penghuninya.  Aku kembali duduk santai di tempat duduk dimana aku mengerjakan tugas akhirku. Ada hasrat menghubungimu, tetapi untuk keperluan apa? Aku bahkan bukan partnermu. Aku hanyalah wanita dengan bol...