Langsung ke konten utama

Gadis Itu

Gadis itu masih memeluk boneka beruang cokelat miliknya. Mencengkeram dengan erat seolah tidak ingin siapapun mengambil separuh jiwanya. Yah, separuh atau bahkan seluruh jiwanya telah ia titipkan ke boneka beruang cokelat bernama “Andrea” itu. Gadis itu, duduk memojok di ujung kamarnya yang dingin. Hanya berbalut air mata sekujur wajahnya. Tangan kanannya menggenggam kepalanya dengan lemah. Pusing. Tangan kirinya masih mencengkeran erat boneka beruang yang sudah mulai lusuh. Pilu. 

Matanya masih berpilinkan bekas air mata yang kini telah mengering. Tetapi, beberapa detik kemudian gelayutan air putih hangat itu kembali tampak dan memaksa turun (lagi). Meruntuhkan pertahanan gadis itu. Lantak dan ambruk mengenai dinding hatinya yang semakin keropos.

Beberapa detik yang lalu, sebelum air mata itu pecah. Sebelum kekecewaan itu menyeruak serakah, sebelum senyum manis itu berganti menjadi raut yang mengerikan, ia masih sempat bernyanyi. Sambil menari bersama boneka beruang cokelat kesayangannya. Bahagia. 

Kemudian, hatinya geger, otaknya berorasi, tidak tahan menerima keadaan yang baru saja terjadi. Tentang kepercayaan, tentang image, tentang segala yang telah ia bangun dengan susah payah. Segala yang ia upayakan sendiri ketika anggota yang lain justru menyerah pasrah. Segala yang ia sebut “masa depan”. Segala yang ia harapkan menjadi sesuatu yang sangat berharga untuk dirinya dan anggotanya. Tetapi, satu dari anggotanya yang seharusnya ikut memelihara segala ke-segala-an itu justru bertindak sebagai aktor utama kehancuran mimpinya. 

Ia hanya gadis 21 tahun yang mempercayakan hidupnya pada sebuah boneka beruang cokelat. Bukan gadis istimewa. Hanya gadis biasa yang dipaksa menjadi luar biasa. Hanya gadis setengah dewasa yang harus menjadi dewasa sebelum waktunya. Itu saja.

Tetapi, bisa apa ia jika menara yang ia bangun susah payah selama 5 tahun akhirnya harus runtuh hanya karena tindakan ceroboh anggotanya yang lain. Yang ia sebut keluarga. Yang ia sebut “kembarannya” dalam berjuang. Yang ia sebut “pengikut”. Bisa apa gadis yang sekarang menelungkupkan lukanya pada pedalaman imajinya yang gelap itu jika semua perjuangannya telah ternoda? Bahkan ia sendiri tidak memiliki kekuatan lebih untuk membangun yang baru. Untuk sekedar memulai merakit puing yang telah lantak. Bisa apa ia jika segala yang ia sebut mimpi harus segera ia gadiakan atas nama image atau sekedar reputasi? Atau bisa jadi, sebuah rasa “ingin dianggap manusia oleh manusia lain”.

Gadis itu murka, marah sejadinya, mengumpat hebat, mendebat Tuhan, dan untuk pertama kalinya ia meraung di hadapan ayah-bundanya. Ayah-bundanya memandang pilu. Tidak bergeming. Saling terisak. Tetapi tidak ada sepatah kata pun yang keluar. Raungan gadis itu semakin menjadi. Semakin hebat, semakin keras, isaknya menjelma menjadi sebuah mantra yang entah ia pelajari dari mana. Amuknya membesar dan berubah menjadi sebuah mimpi buruk, ungkapan hatinya yang selama ini tertahan akhirnya meluap bagaikan banjir di musim hujan. Tidak terbendung. Kemudian, isaknya terhenti sejenak. Sebentar kemudian gadis itu melarikan diri ke toilet. Muntah. Tubuh kecilnya terguncang. Kembali terisak. Amarahnya benar-benar disampaikan secara sempurna.

Benarkah ini semua hanya tentang waktu? Waktu yang akan memulihkan semuanya? Mulai dari kekecewaannya, lukanya, bekas lukanya, hingga jelmaan mimpi indah yang kini telah menjadi asap. Hangus.
That Girl
Kemudian tangisnya terhenti. Gadis itu pergi. Ia tahu konsekuensi dari mengendarai kendaraannya seorang diri di saat hatinya sedang kalut. Ia tahu persis. Tetapi, baginya menetap adalah keputusan terbodoh. Maka, ia memilih berlari. Sejenak saja. Karena jiwanya mungkin terlalu payah untuk diajak bernegosisasi. Otaknya masih memanas dan tidak akan menerima teori logika macam mana pun. Hatinya masih berderit nyaring. Seperti ayunan besi yang berdecit karena lupa tidak diolesi minyak. Setiap saat ia bernafas, hatinya terluka. Semakin terkikis. Semakin sesak. Sampai akhirnya ia tidak mampu menahan. Ia terpejam sambil merasakan segala perasaan yang bercampur menjadi satu di suatu tempat : hati.

Masih di dalam kendaraanya. Ia terpaku. Jauh dari keramaian. Jauh dari lampu merah. Hanya ada beberapa toko kelontong kecil di kanan kiri jalan. Bukan jalan besar, hanya jalan setapak yang licin akibat guyuran hujan. Daerah itu asing baginya. 

Kemudian ia keluar dari kendarannya. Menengadah. Mencari-cari. Was-was. Menoleh ke kanan dan ke kiri. Mencari sesuatu yang dinamakan Tuhan. Yang kata orang-orang, Tuhan ada di dalam hati manusia. Tetapi, hati gadis itu bahkan kini telah hilang. Lantas, ia harus mencari Tuhan di sebelah mana? Di bagian bumi yang menghadap ke arah mana? Di jalan apa? 

Gadis itu kembali bersimpuh. Kalah. Lututnya mengiba haru di tanah. Tangannya mencengkeram erat tanah yang kotor dan lembab. Rambutnya yang panjang menutupi seluruh wajah lesunya yang tertunduk. Persis posisi kuda-kuda saat akan berlari. Tetapi ia bahkan tidak tahu arah, mau kemana sekarang? Mau berjalan atau berlari masalah belakangan baginya, tetapi pertanyaan terbesar adalah “ mau kemana setelah ini?”

Akan ia langkahkan kemana kaki rampingnya jika ia sendiri tidak tahu warna rumahnya yang seperti apa. Atau mungkin sekarang rumahnya sudah ikut hancur bersama peristiwa memilukan hati itu. Ia bahkan tidak memiliki teman. Setidaknya yang akan berkata “Sabarlah, Dhe.” Atau sekedar teman yang akan meminjamkan bahu untuk ia bersandar. Ia tidak memilikinya. Dunia benar-benar keterlaluan kali ini. Sekali ini ia ingin benar-benar berakhir. Dengan cara konyol yang semasuk akal mungkin, seperti menjatuhkan kendaraannya ke tebing. Atau menelan beberapa pil depresi secara bersamaan. 

Hatinya carut marut. Jiwanya sepi. Raganya menggigil kedinginan. Sisa teriakan tadi siang masih menghantui kewarasannya. Sisa air matanya bahkan belum sepenuhnya terhapus. Karena air mata itu bagaikan sungai Seine yang tidak mengenal ujung. Air mata itu, yang sekali saja turun, maka akan menyeret air mata lain untuk turut serta berpesta di pipi gadis itu. Menyeret peristiwa pedih lainnya yang terpaksa harus diingat.

Maka, ia biarkan air mata itu menikmati pipinya. Meresap perlahan di sela pori-porinya sembari ia menahan jeritan jiwanya yang lain. Masih bersimpuh di tanah. Lantas, ia berkata lirih, “Tuhan, Kau dimana? Aku butuh sedikit kehangatan-Mu.”

Gadis itu, bukan siapa-siapa. Gadis itu adalah diriku sendiri. Yang kini dengan perasaan lebih baik bisa menuliskan kisah itu. Meski luka hanya akan tetap menjadi luka. Mungkin besok, lusa, atau seterusnya bisa sembuh seiring dengan berjalannya waktu. Tetapi, suatu ketika jika luka itu telah menjadi bekas luka yang sempurna, ia tetap akan mengingatkan luka yang sama. 

*When my world is falling apart, when there’s no light to break up the dark, that’s when I look at you. When the waves are flooding the shore and I can’t find my way home anymore, that’s when I look at you*


Dhe.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dear Diary

Dear Diary, Dad, you make it harder actually. You push me away, now you’re gonna pull me back to that time. I can’t even imagine how we’ll be when we still stay together. Cause, one thing I know for sure about you, that you never really care to us. To me. What’s wrong with you during this time, Dad? You’ve been changing to be someone I can’t recognize. We can’t stand this fight anymore. And I think this fight is pointless. Again, I’m too tired to make it better than it used to be.  I was alone. All the time. Can you imagine how my life running without Mom, and them? Can you imagine that I’ve been hurting for six years. Was it all never enough? I’m dying inside. But, everytime I go to my own funeral, I stand there so tall with these tears falling from my eyes. I don’t even have someone beside me.  Dear Dad Then, I always find the way to make it all alone. To make it dark and senseless. Are we not supposed to be happy? That was the question from sister two d...

Kaleng Soda

Sore itu aku pulang bekerja seperti biasa. Tidak ada yang istimewa. Pukul 16.11 WIB aku berjalan menuju parkiran kendaraan, sebentar kemudian aku langsung tancap gas. Menuju tempat dimana kita dulu pernah saling berbagi luka dan rasa senja. Tempat itu. Dulu kita sering menghabiskan soda di tempat yang bisa dibilang sangat sederhana itu. Meskipun aku selalu melarangmu mengkonsumsi minuman berkarbonasi, kau tetap saja ‘ngeyel’. Dengan wajah tak bersalah kau selalu mempersiapkan dua kaleng soda di tas ranselmu. Kebiasaan yang kini beralih kepadaku. Aku membuka tasku dan menemukan dua kaleng soda dengan merk kenamaan Amerika. Aku membukanya satu. Satu kaleng lainnya aku biarkan tetap tersimpan di dalam tasku. Ah, aku selalu menyukai suara wakktu pertama kali tutup di kaleng soda itu dibuka. Seperti emosi yang tertahan untuk kurun waktu yang sangat lama. Benar saja, sesaat setelah aku meminum soda tersebut, aku merasa emosiku kembali bergejolak. Entah, rasa rindu atau sekedar bawaa...

The Fool

Sore itu, Malang hujan. Aroma tanah yang basah berbaur dengan bau jemuran yang belum sempat diangkat oleh Sang Empunya. Pukul 14.12 WIB. Masih bernuansa mendung serta sedikit sendu, perempuanku membuka kamar nomor 5 sembari berbisik, “Nanti ya kalo udah agak redaan kita jalan ke tempat biasa. Kamu gak papa? Kan kemarin malam kamu sudah ke sana?” Aku tersenyum lebar, “Aahahahahaha kamu ajakin aku ke sana sehari tiga kali pun kalo Della mah okay sajoooo!!” Perempuanku tebahak lantas menutup kembali pintu nomor 5 dan berjalan menuju kamarnya sendiri. Kami berdua tidur di “bangsal” masing-masing. Sementara di luar hujan sedang bercumbu mesra dengan tanah dan bunga-bunga di halaman. Hujan yang sangat mencerminkan kerinduan mendalam. *** Pukul 18.13, Malang tidak lagi basah. Tetapi jalanan cukup sejuk dan aroma hujan yang sejenak datang tadi sudah cukup untuk mengguyur jiwa-jiwa yang lelah. Ah, inilah yang aku suka dari Malang-ku. Adem.  Perempuanku berdandan...