Pernahkah kau
merasa menyerah sebelum berjuang?
Pernahkah kau
merasa kalah telak bahkan sebelum menghunuskan pedang?
Pernahkah kau
merasa bahwa fighting is pointless?
Aku pernah. Dan aku
sedang berada pada stage itu. Lebih parah
lagi, aku tidak mampu bergerak.
Mundur atau
berani berani berjuang? Mundur atau berani bersaing? Hanya itu pilihannya.
Aku terpingkal sambil memegangi perutku. Kocak. Kedai kopi
berukuran exclusive itu menjadi saksi
kegilaanku bermain UNO bersama rekan gila sejawatku, Andre.
Aku sedang patah hati karena cintaku bertepuk sebelah
tangan. Andre sedang patah hati karena seorang wanita yang bergelar kekasihnya
beberapa hari lagi akan melangsungkan pernikahan. Dengan Andre? Oh, tidak. Dengan
pria lain yang berprofesi sebagai dokter. Mampus.
Espresso yang sedang kami raup saat ini bahkan tidak
segetir kenyataan konyol yang sedang mampang di hadapan kami berdua.
Aku, seorang Della Rosalita, dan dia seorang Andre Rahman
Bimantara yang sangat hardrock dan
sangat begini \M/ (baca: metal abeess), ternyata hanyalah dua manusia yang tergopoh
dengan hati penuh luka sobek. Orang jawa menyebutnya : ngenes.
Aku masih memandangi kartu pamungkas yang akan ku
lemparkan ke muka Andre sambil berkata lantang “Unoooooo!!!!!”
Tetapi aku berpikir dua kali. Aku amati kartu itu secara
seksama. Sekali lagi. Tidak ada yang istimewa. Tidak ada yang berubah. Hanya angka
+4 dengan berbagai warna warni yang melambangkan kemenangan abadi. Kartu pamungkasku,
bisikku perlahan sambil terkekeh licik.
“Unoooooooo!” teriaak Andre sambil memamerkan jejeran
gigi putihnya dihiasi tawa yang sangat tidak senonoh.
“Anjiiiiiiiir!” aku mengumpat hebat.
Kartu pamungkasku, ternyata Andre juga memilikinya.
“Okay, you give me
no choice, Dude. Rasakan ini, anak muda!” aku membuang kartu bertanda +4
warna warni itu ke tumpukan kartu Uno yang lebih mirip tumpukan kuitansi
hutang-piutang itu.
“Thanks, I am the
champion!” teriaknya sambil mengangkat separuh alis kanannya yang tebal.
Anjir. Andre memiliki kartu pamungkas itu sebanyak 2
lembar. Kampreeeeet. Aku tidak berhenti mengumpat sambil meraih espresso super
getir dan menyruputnya hanya dalam hitungan detik. Sebentar kemudian aku
mendesah ketika merasakan espresso itu sedang bekerja di bagian pangkal lidahku
yang mendeteksi rasa pahit. Sangat pahit.
Permainan usai. Aku dan Andre masih terkekeh seperti dua
pasien yang kabur dari rumah sakit jiwa. Benar-benar sudah sakit jiwa.
“Udahan ah, mainnya.” Celetukku ketus.
“Bahahahahaha bilang aja takut kalah lagi. Iya, kan?”
tawa Andre semakin menjadi.
***
“Dhe..” suara Andre melemah.
“Ya?” aku masih asyik dengan pesanan baruku. Secangkir
latte hambar.
“Kamu pernah gak sih merasa kamu bakal kalah dalam
permainan tetapi kamu tetap bermain?”
“Nah lho, ini tadi aku melakukannya. Hahahahaha. Aku tahu
kok kalau aku gak bakalan bisa menang lawan kamu, Ndre. Suuuweer deh.” Aku mengacungkan
jari teluntuk dan jari tengah membentuk tanda “peace” sambil tertawa.
“Dasar. Aku serius.”
“Pernah.” Jawabku lugas.
UNO |
Aku membenahi cara dudukku. Setelah memperoleh posisi
paling nyaman, aku mulai bercerita. Tentang apa yang orang lain bilang “jatuh
cinta”.
Indeed, semua orang pernah mengalaminya. Baik mencintai ataupun dicintai. Tetapi, pada akhirnya mereka juga akan dihadapkan pada sebuah pilihan sulit, menyakiti atau disakiti?
Aku tahu aku akan kalah kali ini. Aku akan kalah
memperjuangkan apa yang aku yakini tentang dia. Tentang sosoknya yang secara
magis datang dan memberiku seribu satu rasa yang tidak bisa aku deskripsikan
menggunakan kamus bahasa dari negeri manapun.
Bukan masalah aku mencintai dia sedangkan dia tidak
mencintaiku. Aku masa bodoh dengan semua itu. Tetapi yang menjadi masalah,
ketika aku mencintai dan aku tidak berjuang.
Andre menatapku lekat-lekat.
Aku memandang cangkir latte berwarna coklat muda itu.
“Aku tidak bisa memprediksikan apakah aku akhirnya akan
menang atau kalah, Ndre. Sama seperti permainan Uno kita tadi. Aku sudah sangat
PeDe bahwa aku bisa mengalahkanmu. Tetapi, aku tidak bisa melihat kartumu,
bukan? Terkadang aku terlalu over percaya diri. Merasa pasti semua laki-laki
akan menyukaiku. Tetapi, aku kembali pada kenyataan bahwa aku tidak bisa
melihat kartu yang digenggam oleh lawan mainku. Mungkin orang lain memiliki
kartu yang lebih baik dibandingkan dengan diriku kemudian pujaan hatiku itu
menjatuhkan pilihannya kepada orang itu. Who
knows, Ndre?”
“Tetapi dia dokter, Dhe.” Bantah Andre.
“Lantas kenapa kalau dia dokter sedangkan kamu
fotografer? Apakah ada perjanjian tertulis bahwa seseorang akan dipertemukan
jodohnya berdasarkan profesinya. Ndre, melek dikit. Kalau kayak gitu caranya
tukang becak gak bakalan dapat jodoh. Paham?”
“It’s too late,
Dhe.” Andre menunduk lesu.
“Gak ada yang terlambat. Kalaupun itu memang terlambat,
tidak ada yang membuatnya terlambat selain dirimu sendiri.”
Aku tahu Ndre. Aku tahu betul perasaanmu. Memang bukan
tentang tampang, bukan tentang kendaraan, bukan tentang isi ATM, tetapi tentang
isi hati. Yang tidak bisa dimanipulasi. Yang tidak akan bisa di edit dengan
menggunakan camera XLR-mu. Aku paham betul.
“Lantas kenapa kau memilih berhenti berjuang kepada siapa
itu?”
“Dani..” terangku.
“Iya. Dani. Kenapa berhenti berjuang?”
“Gak ada alasannya, Ndre. Aku berjuang dulu tanpa alasan,
sekarang pun ketika aku tahu dia lebih memilih Moly dan aku memilih berhenti
berjuang, itu pun tanpa alasan. Bukan karena Moly, bukan karena Dani tidak
mencintaiku.”
“Kamu masih mencintainya? Mencintai Dani?”
“Mungkin. Tetapi aku menghentikan semua itu. Aku tahu,
aku bukan saingan Moly. Dan aku juga tidak akan bermain-main dengan peluang
yang bernilai nol, Ndre. Kemampuan berpikir logisku masih sangat waras dalam hal
ini.” Aku terkekeh hebat.
Andre menatapku dengan tatapan lain. Dengan tatapan yang
sama sekali tidak aku sukai. Tatapan iba. Aku membenci tatapan itu. Aku benci
dikasihani. Aku benci diperlakukan seperti itu. Aku benci diperlakukan
seolah-olah aku adalah gadis yang patut dikasihani. Bukan. Aku bukan gadis
seperti itu.
“Aku benci dijadikan pilihan, Ndre. Aku ingin dicintai
bukan karena pilihan. Tetapi karena aku. Karena diriku sendiri. Bukan karena
kelebihanku. Bukan karena prestasiku atau keahlianku. Karena ketika ada orang
yang lebih baik dari diriku, aku yakin dia pasti akan memilih orang itu. Paham
kan, maksudku?” bicaraku mulai tersendat. Ada tahanan di dalam hati yang
memaksa keluar.
Andre menarik kepalaku dan membawanya ke pelukannya yang
hangat.
“Aku tahu, gadis bodoh. Kau bahkan terlalu bodoh untuk
berjuang sendirian.”
Air mataku pecah.
Bahkan dulu aku masih tetap berjuang. Apakah itu hal
bodoh? Sedangkan aku sendiri tahu bahwa peluang itu adalah nol besar. Tetapi aku
pura-pura tidak tahu. Aku pura-pura bodoh. Pura-pura tidak paham dengan teori
peluang matematika. Dan pada akhirnya, aku tahu bahwa aku bukanlah gadis
pilihan Dani.
“Dhe, pernahkah kau meninggalkan arena permainan ketika
kau tahu kau akan menang?”
“Aku tidak akan pernah meninggalkan permainan semacam
itu.”
Aku masih memegang ujung cangkir latteku. Latteku telah
habis.
dhe.
Komentar
Posting Komentar