Aku punya satu pertanyaan.
Begini.
Seandainya kamu diberi kesempatan
Tuhan satu hari saja untuk menjadi apapun yang kamu inginkan. Kamu memilih
menjadi apa?
***
Di taman kota.
Hari
ini aku kecewa. Berat. Aku berpaling dari pandanganmu dan berlari. Menyusuri kegelapan
di lorong sempit itu kemudian menghilang di telan malam.
Aku
terdiam di taman. Aku sedang tidak buta. Aku juga sedang tidak tuli. Aku tahu
saat ini malam semakin larut, gerimis semakin menjadi dan udara sangat dingin. Aku
tahu. Aku hanya ingin menikmatinya.
Hari
ini aku marah. Tetapi, aku tidak mampu mengungkapkannya. Aku marah pada
seseorang yang bukan siapa-siapaku. Aku hanya tergolek lemas menyaksikan semua adegan
itu. Pasrah.
Menyaksikan
sesuatu yang seharusnya tidak pernah aku saksikan. Tetapi, aku bisa apa? Batinku
protes. Ah, konyol. Tubuhku tergeletak lemah di kursi kayu taman kota sambil
memegang sebotol soda.
Broken Heart |
Apakah
nama perasaan ini? Aku memainkan botol sodaku. Aku kocok kuat-kuat dan aku buka
dengan cepat. Ada suara letupan hebat. Kemudian aku tertawa. Orang-orang melihat
tingkahku. Sebagian menatap acuh, sebagian memicingkan mata, heran. Sebagian lagi
mungkin menganggap aku gila. Hahahahaha. Aku tidak peduli. Aku asyik bermain
dengan botol sodaku. Malam, hujan, dan aku cemburu.
Jadi,
kalau aku diberi kesempatan satu hari oleh Tuhan untuk menjadi apapun, aku
memilih menjadi diriku. Diriku namun dengan kemasan yang lebih berani, yang
memiliki nyali untuk menghampirimu dan berkata, “Aku cemburu melihatmu bersamanya.”
***
Di coffeeshop latai dasar.
Aku
memandang hujan di jendela. Titik-titik air itu memberi sensasi menyegarkan. Lalu,
aromanya saat pertama kali bercumbu dengan tanah, sungguh sebuah selera
sensoris kelas tinggi.
Aku
berada di bangku paling ujung. Paling pojok. Spot favoritku untuk bercinta
dengan hujan dan menyapa malam. Tetapi, ada satu hal yang tampaknya sedang tidak
ingin bersahabat denganku. Manusia.
Aku
menyaksikan bangku di depanku. Kemudian di sebelah kiriku, sebelah kananku, aku
melihat mereka semua bersama seseorang. Mungkin teman, mungkin pasangan,
mungkin juga suami atau istri. Aku tersenyum. Bukankah kau masih bisa menikmati
hidup dan hujan meski sendiri? Batinku bertanya.
Coffee Shop |
Kemudian
tatapanku berpaling ke arah keluarga keturunan Arab yang sedang bergurau mesra di
sisi kiriku. Harmonis. Sang Ibu yang menggunakan kerudung hitam menyapaku
dengan lembut. Aku menganggukan kepala perlahan. Sopan. Sang Ayah tampak sibuk
bermain ular tangga bersama ketiga putranya yang kira-kira masih berusia 6
sampai 8 tahun. Aku memandang kagum keluarga itu. Haru.
Aku
menikmati espressoku. Tidak biasanya aku memesan espresso. Hari ini adalah hari
jumat. Jadwalku memesan coklat panas seharusnya. Dan pelayan dengan polo shirt
warna kuning itu sudah paham betul kebiasaanku. Tetapi, aku ingin mencoba hal
baru. Aku ingin mencoba kegetiran espresso.
Kembali
ke keluarga Arab di sisi kiriku. Aku berpaling sepintas kemudian tatapanku
kulemparkan ke sisi kananku. Jendela besar bertuliskan “LOGO” yang merupakan
nama coffeeshop tempatku merebahkan lelah. Hujan masih mengguyur dengan santai.
Tidak terburu-buru. Tidak juga terlalu perlahan. Dengan ritme yang sempurna. Di
luar kaca jendela yang besar itu terpampang jelas dua orang tukang parkir dengan
jas hujan warna biru tua yang sedang sibuk mengatur dan menata kendaraan para
pengunjung coffeeshop. Hujan yang sangat menggerimiskan hati.
Jika
aku diberi kesempatan Tuhan selama satu hari untuk menjadi apapun. Aku memilih
bersanding dengan keluargaku.
***
Di dance floor lantai tiga.
Suara
musik masih mengalun keras dari sound yang terletak di ujung-ujung ruangan besar
itu. Seorang DJ sedang asyik menggoyang-nggoyangkan badannya mengikuti irama musik
house yang ia lahirkan dengan tangannya. Sangat lihai. Di sebelah kiri DJ yang
sedang beraksi, beberapa pria sedang mengobrol bersama gelas-gelas anggur di
tangan kirinya komplit dengan rokok yang menyala berani terselip di antara jari
tengah dan telunjuknya.
Beberapa
bartender sibuk melayani pelanggan. Ada yang memesan Merlot. Ada yang meemsan
Sauvignon Blanc, ada juga penggila Cabernet Sauvignon yang meminta pesananya
segera didahulukan. Tipe pelanggan yang cerewet. Ada juga yang hanya memesan
soft drink.
Sementara
di ujung kanan ruangan gelap itu ada tempat duduk kosong. Dekat toilet. Seorang gadis berusia 20-an sedang menikmati malamnya. Malam yang sangat asing baginya
meski dia berada di tempat yang tidak asing.
Dia
adalah pelanggan lama club malam ternama itu. Tetapi, kali ini dia hanya duduk terdiam.
Tidak memesan Pinot Noir kesukaannya. Tidak ada rokok Marlboro yang terselip di
jari-jarinya yang lentik seperti biasa. Ada yang berbeda. Tidak ada lipstick merah
yang menggugah selera. Tidak ada polesan make-up tebal dan bulu mata lentik yang
menggoda. Tidak ada rok mini dan baju seksi. Dia hanya menggunakan celana blue
jeans panjang dengan T-shirt putih pres body. Tubuhnya yang semampai terlihat
semakin seksi. Tetapi, kali ini tidak ada heel yang tinggi. Dia justru
menggunakan sneaker dengan rambut panjangnya diikat ekor kuda. Garis-garis
wajahnya terlihat semakin tegas dan dewasa. Benar-benar pemandangan yang
berbeda.
Beberapa
pria yang sudah bisa dipastikan brengsek mulai mendekatinya dan menawarinya
minum. Gadis itu tidak bergeming. Tetap diam. Memaku. Menatap DJ yang sedang
beraksi dengan pasi. Tanpa ekspresi.
This Is Called Passion |
Beberapa
detik kemudian dia bangkit dari duduknya di sofa merah maroon itu dan
menyampirkan jacket jeansnya di lengan sebelah kanan. Sementara tangan kirinya
sibuk meorogoh saku celananya dan menemukan sekotak Marlboro yang kemudian dia
lemparkan ke tempat sampah di dekat pintu keluar club.
Gadis
itu berjalan menyusuri trotoar jalan yang semakin sepi. Dia tidak peduli
gerimis sedang bergurau dengan malam. Dia tetap berjalan.
Gadis
itu adalah aku.
Jika
Tuhan benar-benar memberikan diriku waktu satu hari untuk menjadi apapun yang
aku inginkan. Aku ingin berhenti dari dunia malam dan memilih menjadi fotografer.
***
dhe.
Komentar
Posting Komentar