Langsung ke konten utama

Paket Mimpi


They said "Follow your dreams!".
But, if my dreams broke into thousand pieces. Which one I should follow?

“Makan, yuk?” tanyaku sambil menjepit smartphone di antara bahu dan telinga kananku. Bastian Faldanu, nama pria yang tertera di layar smartphone Sonyku.

“Makan dimana?” tanyanya sambil menguap. Kebiasaan. Jam segini baru bangun. Batinku terkekeh. 

“Biasanya aja?” aku balik bertanya sambil membereskan file-file mengajarku dan memasukkannya ke tas ransel. Hap. Beres. 

“Jangan deh. Padang, yuk?” tawarnya. 

“Okay. Aku jemput ya, bentar lagi berangkat.” Ucapku sambil mengakhiri pembicaraan di telfon.

Pagi itu, oh mungkin agak siangan. Pukul 10.30, aku bergegas mengendarai kendaraanku ke arah tempat kos sahabatku. Sangat cepat. Takut keburu kres dengan waktu mengajar privatku. 

Tidak lama kemudian, pria itu keluar dari pagar kosnya dengan menggunakan celana pendek abu-abu dan polo shirt warna merah maroon. Dan, sebagai tambahan saja. Dia belum mandi. 

“Kampret, tadi kemana aja telfonku gak diangkat?” protesku sambil melempar kunci kendaraanku ke wajah pria resek itu. 

“Biasa, Nyah. Boker.” Wajahnya nyengir. Bangke. Aku mengumpat.

“Hari ini gak ada janji sama si Putri?” tanyaku memastikan bahwa aku tidak lagi menculik pacar orang seperti kejadian tempo hari. 

“Santé, Nyah. Hari ini bebas tugas.” Tangan pria itu mengempal dan diacungkan ke angkasa sebagai lambang kemerdekaan. Bebas.  

Beberapa hari lalu. Si Putri, pacar Bastian kedapatan ngambek gara-gara acaranya karaokean harus aku ganggu dengan menculik si pengantin pria sebagai temanku nglembur kerjaan di kampus. Sotoy. Tetapi, aku dan Putri sudah seperti saudara. So, biasanya dia malah lebih mempercayakan lakinya untuk aku culik dan seperti biasa, membantu kerjaanku di kampus. Jadi, kalaupun aku adalah dalang dibalik ketidakhadiran Bastian dalam agenda per-kencan-an bersama si Putri, cewek kalem itu sudah pasti akan memaafkan. What a sweet friend.
 
***

Di rumah makan padang posisi lantai dua.

“Gimana kabar Bunda?” Bastian membuka pembicaraan.

Aku mengangkat bahu. Cuek.

“Jangan lama-lama ngambeknya dong, Nyah.” Pintanya sambil mengunyah kripik balado pedas.

“Aku sih gak ngambek…”

“Cuma kecewa?” Tegasnya.

Suasana rumah makan padang lantai dua akhirnya hening. Membatu selama beberapa waktu. Mungkin benar apa yang dikatakan Bastian. Aku tidak marah. Aku bahkan tidak memiliki hak untuk marah. Tetapi, aku hanya kecewa. Kecewa dengan orang yang paling aku kasihi. Kecewa dengan orang yang paling aku harapkan untuk hadir. Untuk tinggal bersamaku. Bersama kami di sini. Tetapi ia justru memilih hal lain. Dan itu bukan aku atau pun kami. 

“Kemarin beliau masih sempet kirim SMS,” ucapku sambil memutar-mutar smartphoneku sembari menunggu pesanan makanan datang.

“Tapi aku masih belum sempet bales sampai sekarang…” lanjutku. Berusaha mencari alasan. Payah. 

Bastian hanya memandangiku yang kini mulai menekuk bibir sambil memiringkan kepala ke kanan.

Aku ngerti Beh kon kudu dadi wong waras di antara kabeh sing gendheng iku.” Celetuknya menggunakan logat kental khas jawa.

“Aku capek mungkin, Bas.” Tegasku singkat.

“Tapi setidaknya kamu masih punya masa depan. No matter what they say. Just fucking them if they fuck you up.” Kini logatnya berubah menjadi Hugh Grant di film Music and Lyric. Aku curiga, jangan-jangan setelah ini dia akan mengeluarkan logat andalannya. Prancis. Maklum, dia adalah pria yang terobsesi dengan Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada, namun malang, pria penggemar berat Franciskus itu justru terseret ke Sastra Prancis Universitas Brawijaya. Nyrempet sedikit pun tidak. Hahaha konyol.

Aku tersenyum kecil. Mungkin iya. Mungkin juga tidak. Impian. Masa depan. Setelah semuanya tercoreng. Aku tahu bahwa aku mungkin sedang mengalami fase yang disebut From Hero to Zero dan harus ke Hero lagi. Sulit. 

You need a vacation, Nyah.” Tukasnya tajam.

Maybe.” Aku menyernyitkan dahi.

Take your time. Have a quality time with your dear friends, or even with your own self. Trust me! The best way to travelling if you go all by yourself. Jangan melulu mikir tentang target. Kalau udah kacau begini malah kamu yang drop. Stay calm sekali-kali, Nyah”

Aku hanya diam. Berusaha mencerna kalimat yang baru saja diucapkan sahabatku itu. Iya, aku terlalu keras memasang target hidupku. Lagi. Selalu seperti itu. Terlalu cepat berlari. Hingga tidak menyadari bahwa mungkin saja di kanan kiri jalan yang aku lalui banyak terhidang keindahan. Entah keindahan semacam apa aku juga tidak paham. Aku tidak paham, karena aku tidak pernah mengurangi kecepatan berlariku. Aku selalu stay constant. Dengan kecepatan cahaya. Tetapi konsekuensinya, jika menabrak juga tidak akan tanggung-tanggung lukanya. Seperti itu kira-kira perumpamaannya.
It's All About Dreams
 
Tetapi, kembali lagi harus ada mimpi yang aku kibaskan sejenak dan harus ada lembar baru yang harus aku tulis ulang.  Kata "ulang" dalam kalimat itu membuatku merinding. Bagaimana mungkin memulai sesuatu yang bahkan sudah seharusnya selesai? Sisi positifnya, aku bisa dengan leluasa mengetahui dimana aku bisa mengambil celah. Pendek kata, aku sudah lihai. Sisi negatifnya, aku memulai dengan energi lagi, dengan waktu lagi, dan dengan semangat lagi. Sementara saat ini kecepatan berlariku bahkan tidak mampu terdeteksi. Ini lebih mirip posisi rebahan daripada posisi berlari.

Aku sering berpikir bahwa aku tidak akan mengurangi kecepatanku. Tidak akan. Karena aku tahu bahwa pemberhentian masih jauh di depan sana. Bahkan tandanya saja belum terlihat. Bagaimana aku bisa santai-santai? Aku tidak bisa bersantai-santai dalam menggapai mimpi. Tidak bisa. 

Terlebih, aku tidak bisa berhenti berlari. Itulah sebabnya aku semakin terluka. Bagaimana mungkin orang yang baru saja jatuh bisa berlari kencang seperti sediakala? Tetapi aku bisa seperti itu. Dan alhasil, aku babak belur. Tergolek lemah di lantai dasar.

Aku paham betul dengan Hukum I Newton dimana sebuah benda yang diam, maka akan tetap diam selama tidak terdapat gaya luar yang mempengaruhinya. Dan jika pun benda itu akan bergerak, maka ia harus melawan inersia gaya yang ada pada benda tersebut. Semakin besar bendanya, maka akan semakin besar pula gaya yang diperlukan untuk membuat benda tersebut bergerak. 

Sama seperti mimpi. Semakin aku biarkan mimpi itu diam. Maka akan semakin besar inersia yang nantinya aku lawan untuk menggerakkan kembali mimpi itu. Terlebih aku tidak pernah memiliki mimpi yang sedang. Mimpiku selalu extra large. Paket special. Dipesan secara istimewa. Karena itu, aku tidak akan mendiamkannya begitu saja. Aku akan terus berlari, pikirku.

Hal itu juga serupa ketika menjalankan mobil dari pertama kali mesin mobil dihidupkan. Ketika menginjak kopling dan memasukkan persneling 1 kemudian gas diinjak, sampai mobil akhirnya berjalan perlahan, bukankah memerlukan gaya yang tidak sedikit? Gaya minimal yang harus dimiliki adalah lebih besar dari berat mobil itu sendiri. Kurang lebih seperti itu persamaan fisikanya.

“Kamu terlalu fokus dengan tujuanmu. Just take a deep breath and look around! Just take your time to enjoy the evening scenery and having a hot tea in the tea corner!” lanjutnya.

Pesanan makanan telah datang. Lengkap dengan minumannya. 

Kemudian, terdengar suara nada dering dari smartphoneku. Nada dering yang sangat familiar.

Layar 4 inchi itu menujukkan nama caller yang sangat jelas : Bunda.

dhe. *ini tentang mimpi. yang besarnya bukan main. dan hilangnya pun dengan alasan yang bukan main tidak masuk akalnya. bukankah aku masih  memiliki kesempatan untuk memimpikan hal lain?*

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

IT'S STILL ABOUT PERSPECTIVE

"Dunia tidak kekurangan orang yang baik, dunia hanya kekurangan orang yang mau menghargai pilihan orang lain. Itu saja." Masih di gedung yang sama, masih bersama orang yang sama dengan kondisi yang masih sama, bedanya hari ini kita lebih 'segar' dalam memandang kehidupan. Bersama Jane. Aku pikir pertemuan ini akan menjadi pertemuan yang saling menguatkan, menginspirasi dengan jalan hidup masing-masing yang sudah hampir lima tahun lamanya tidak pernah terkait. Aku pikir kehidupannya akan sedikit lebih mudah, akan sedikit lebih ceria dan lebih mengesankan dari sebelumnya. Tetapi ekspektasiku tampaknya terlalu berlebihan untuknya. Tidak ada cokelat panas atau kopi susu hari ini. Hanya air putih dalam balutan gelas wine bening yang menawan. Yah, selera hotel ini masih tetap saja sama, meskipun beberapa orang telah berubah. Mode berubah, kebiasaan berubah, pemikiran orang-orang juga berubah, hampir setiap elemen kehidupan yang aku temui selalu ada revisi. Entah itu pembaha...

One More Cup

One more cup . Ucapku pada seorang waitres perempuan cantik yang kebetulan melewati mejaku setelah mengantarkan sebuah frappe dan risol mayo kepada pengunjung di sebelah mejaku yang sedang asyik dengan tabnya. “Haiiish, Madam. Satu aja cukup.” Pria disampingku menimpali. Aku hanya memandang wajah pria itu sekilas kemudian lamunanku kembali ke gelas sekali pakai yang terpampang di hadapanku. Dengan label Cappucino for Miss Rosalie dan isinya yang tinggal seperempat bagian .   Kali ini aku menghabiskan sabtu malam yang dingin di café agak jauh dari kediamanku. Masih bersama lelaki yang sudah sebelas tahun menemani   hidupku. Pria yang selalu aku maki sebelum keluar bersama entah hanya untuk nongkrong di café atau sekedar windows shopping di bookstore terdekat. Makian yang selalu sama, “Males banget sih keluar sama kamu, Na! Nurunin pasaranku tahu gak? Dikiranya aku cewekmu tauk!” seperti itulah kira-kira mantra klasik yang selalu aku ucapkan ketika pria ...

Dear Diary

Dear Diary, Dad, you make it harder actually. You push me away, now you’re gonna pull me back to that time. I can’t even imagine how we’ll be when we still stay together. Cause, one thing I know for sure about you, that you never really care to us. To me. What’s wrong with you during this time, Dad? You’ve been changing to be someone I can’t recognize. We can’t stand this fight anymore. And I think this fight is pointless. Again, I’m too tired to make it better than it used to be.  I was alone. All the time. Can you imagine how my life running without Mom, and them? Can you imagine that I’ve been hurting for six years. Was it all never enough? I’m dying inside. But, everytime I go to my own funeral, I stand there so tall with these tears falling from my eyes. I don’t even have someone beside me.  Dear Dad Then, I always find the way to make it all alone. To make it dark and senseless. Are we not supposed to be happy? That was the question from sister two d...