Langsung ke konten utama

Kaca Jendela dan Pria Tampanku


Aku menangkap bayanganku sendiri di kaca jendela bening itu. Kaca jendela di kamarku. Ketika embun mulai merangsak diusir malam. Kaca jendela pagi. Ketika seulas harapan mulai dihidupkan kembali oleh pemiliknya. Sebut saja pemiliknya adalah aku. 

Aku Embun. Bukan embun pagi. Tetapi memang namaku Embun. Entah, ayahku mungkin terburu-buru ketika memberiku nama itu. Sehingga aku tidak sempat memiliki nama panjang. Hanya Embun.

Aku menyukai ide tentang bertengger di kaca jendela kamarku setiap pagi. Sembari menuliskan harapan di bagian dalam kacanya yang basah oleh embun yang sesungguhnya. Aku menyukainya. Dan hal itu sudah cukup membuatku tersenyum.  

Aku menyukai jendela kamarku. Spot terindah yang pernah dibuat oleh ayahku untuk putri kesayangannya. Jendela itu berwarna putih pucat, terbuat dari kayu jati yang kokoh. Tidak ada tralis yang dibuat untuk mencegahku keluar dari kaca jendela itu. Sama sekali tidak ada. Jendela yang kini kian kusam itu hanya dihalangi oleh kaca bening.

Jika aku membukanya, maka akan ada suara decitan nyaring yang memekakkan telinga. Tetapi aku menyukai suara itu. Dulu, hanya suara itu yang mampu membangunkanku dari tidurku. Ibuku yang melakukannya setiap pagi. Jika aku mendengar suara decitan jendela itu, maka aku akan langsung terbangun sambil memeluk tubuh ibuku yang harum. I still remember how her scent makes me paralyzed.

Tetapi itu dulu. Kini aku harus bangun lebih pagi dan membuka kaca jendela itu. Tidak ada lagi ibu yang akan membukakan jendela itu untukku. Aku yang harus melakukannya seorang diri. 

Dan hari ini adalah hari ke-2500 aku membuka jendela itu seorang diri. Sudah lama sekali. Aku masih termenung memandang kaku kaca jendela yang bening itu. Titik-titik embun yang membentuk barisan warna pagi. Sungguh menakjubkan. Kaki langit yang memancarkan lukisan indah melalui warna jingganya. Sungguh mempesona.

Aku merogoh kembali kenangan itu. Kenangan di rumah sederhana yang sekarang dindingnya semakin tua. Kenangan di jendela yang konon katanya adalah hadiah ulang tahunku yang ke-10. Dan sekarang usiaku sudah menginjak 25. 

“Happy b’day, Putri Tidur!” suara ayah dari balik pintu yang lebih memekakkan telinga.

Aku langsung meraih kue ulang tahun dari tangan pria tampan itu dan meletakkannya di meja kecil sebelah tempat tidurku. Aku peluk tubuh superhero-ku yang sekarang sudah memiliki berbagai pola kerutan di dahi dan lingkar matanya. Hangat. Masih sehangat dulu. Aku tenggelamkan lebih lama tubuhku di tubuh pria yang dulu sering menantangku bermain kartu itu.

“Hari ini tepat hari ke-2500 Ibu pergi.” Aku mulai memotong kesunyian.

Pria itu masih memelukku erat. Tidak berkata apapun. Tangannya yang lembut membelai halus rambutku. 
At My Window

“Aku merindukan Ibu,” lanjutku parau. 

Pria itu melepaskan pelukannya. Memandangku lekat-lekat. Tangannya yang kurus sedang sibuk memegangi wajahku yang ramping. Aku memandang matanya yang bundar. Dan aku melihat wajahku di sana. Aku melihat ada air mata di sana. Aku melihat ada kenangan di sana. Ada ibu, ada aku, dan juga ada ayunan dari ban mobil di belakang rumah kami. Aku melihat semuanya dengan jelas.

“Dengarkan Ayah, Embun,” pria itu mulai memberikan aba-aba.

“Tidak ada yang tidak merindukan Ibu. Ayah juga merindukan Ibu. Kita semua merindukan Ibu. Ibu di sana juga pasti sangat merinduka kita. Ibu akan tetap hadir. Di hati kita masing-masing,” kalimat itu diakhiri dengan meluruhnya cairan bening dari sudut mata ayahku. 

“Cepat mandi, hari ini ada yang harus kita rayakan.” Ayah menyingkap selimut tebalku dan memberikan isyarat kepadaku agar segera mempercantik diri.
 
“Perjodohan lagi?” tanyaku bĂȘte.

“Bukan, ayo cepat. Ayah tunggu di bawah. Mumpung cuacanya mendukung.”

***

Di rumah sederhana kami lantai dasar, tempat makan. 

So, kita mau hang-out kemana? Cari Mama baru?” godaku sambil melirik manja. 

Ayahku tampak salah tingkah dan segera menutup surat kabar yang dari tadi sedang beliau baca. Setiap kali aku menyinggung tentang mama atau ibu baru, beliau selalu mengalihkan topik pembicaraan. Aku tahu, ayah tidak akan semudah itu menggantikan cintanya kepada Ibu dengan wanita lain. Setia. Bisa jadi. 

Aku menyambar kunci mobil di atas meja makan. 

“Hari ini hang-out nya tanpa ini, ya? Sekali-sekali peduli lingkungan dan cintai tulang sendiri,” tukasku sambil menyelipkan kunci mobil itu di saku celana jeansku. 
 
Ayahku hanya tersenyum sebagai tanda setuju.

***

Di taman kota dekat rumah.

“Biangalala, yuk?” tawar ayahku.

Aku menggelengkan kepala sambil menjilat es krim yang dibelikan ayahku sebagai hadiah ulang tahun. 

Hanya es krim. Tidak lebih. Bukan karena ayah tidak memiliki uang untuk membelikanku hadiah yang lebih mahal. Uang pensiunan ayah masih cukup untuk sekedar membelikanku tas channel keluaran terbaru atau sepatu hak tinggi kesukaanku. Aku yang memintanya demikian. Aku hanya ingin dibelikan es krim. Itu saja. 

“Ayah ingat umur, dong. Nanti kalo kena serangan jantung di atas gimana? Kan Embun yang susah,” gerutuku.

“Ayah masih segar bugar gini kok dibilang mau kena serangan jantung. Dulu Ayah sama Ibu juga sering naik bianglala.” Protesnya tidak mau kalah.

“Yaelah bilang aja kalo Ayah mau nostalgia. Ciyeee!! Aku digendong pokoknya, ya?” aku langsung lari meraih tubuh ayahku dan ayahku berusaha menghindar, kemudian aku mengejar pria tampanku itu hingga ke tempat pembelian karcis bianglala.

Siang itu. Aku bahagia. Aku bahagia meski aku kesepian. Meski aku tidak memiliki Ibu. Meski aku belum memiliki pendamping mengingat usiaku yang semakin beranjak dewasa (baca: tua). Tetapi, setidaknya aku memiliki satu pria tampan yang selalu berada di sampingku. Yang selalu membuatku tersenyum. Yang selalu membuatku terkejut oleh ulahnya yang kadang usil. Aku bersyukur menjadi putrinya.

Dan terima kasih untuk kaca jendelanya. Aku akan bangun dengan harapan baru. Harapan yang lebih pantas untuk diharapkan. Bukan mimpi di siang bolong seperti gadis kecil yang merindukan bertemu peri pohon. Peri pohonku telah bahagia di surga. Biarlah ia tetap berada di surga. Aku akan mencintainya dan merindunya dari sini. Dan akan aku kirimkan suara sehalus embun di pagi hari yang berbisik, “Aku mencintaimu, Ibu.”


dhe.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hai Januari

Hai, Januari. Bulan suciku. Bulan dimana aku 22 tahun yang lalu hanya seonggok daging yang bisa jadi dihidupkan. Atau bisa jadi kehidupan itu dibatalkan. Januari berbekas seperti sisi luka yang tidak pernah mereka tahu. Mereka hanya melihat, tidak menatap tajam. Mereka hanya lewat, tidak merapat. Bulan yang penuh hujan air mata. Ah, andai aku bisa membendungnya. Sedikit saja agar mata ini tidak membengkak kemudian mengumbar tanya. Ada apa dengan matamu? Kemudian aku buru-buru membungkusnya dengan kerutan senyum yang aku buat sendiri. Sembari mengucapkan aku tidak apa-apa versiku sendiri. Hai, Januari. Kau ingat lilin yang meleleh di pelataran tart mewah itu? Kau ingat bungkusan indah yang terbalut pita biru muda yang anggun? Aku masih mengingatnya, tetapi seingatku aku telah lama membuangnya. Bagiku semua itu sudah tidak ada pengaruhnya pada hati yang mulai meradang ini. Radangnya sudah bercabang, hingga membentuk kubangan luka yang ku sebut...

It's Just for Nothing

KARENA SEMUA INI PERCUMA. Percuma. Percuma setiap hari aku berharap kau membaca semua tulisanku. Percuma setiap saat aku berharap kau akan sadar bahwa aku ada untukmu. Percuma setip waktu aku berharap kau akan datang kepadaku. Benar-benar payah. Lebih baik aku lepaskan saja sosokmu itu. Yang dahulu merogoh masuk ke dalam jiwaku dan menembus menguliti dinding hatiku yang kelam. Sudah tidak berarti saat ini. Sudah tidak berpengaruh lagi. Hari ini aku putuskan untuk tidak lagi menjadi manusia menyedihkan bernama diriku. Bukankah seharusnya cinta itu diperjuangkan berdua, bukan sendiri? Aku terbahak dalam imajiku sendiri. Mengumpat pasrah tentang paradox rasa yang hingga saat ini masih susah aku cerna. Aku tersedak dalam stigma-stigma yang bahkan aku sendiri tidak paham tentangnya. Aku tersudut di ujung pikiranku yang tumpul. Aku tersisih di penghujung hatiku yang kian membeku.  Aku terbawa arus hingga ke seberang dan aku tidak mampu berenang, pun menyelam. Sem...

Pesan Singkat

12 November 2014 Tuhan, aku malu. Aku malu memandang wajah teduh yang menyilangkan senyum pasi itu. Aku malu melihat senyum yang sebaiknya tidak pernah kulihat itu. Aku terlampau malu hingga aku hanya bisa memandang jari kakiku sendiri. Tuhan, bolehkah aku melihatnya sekali lagi? Sebelum aku mengurung semua uap-uap memoar ini dalam bingkai kenangan? Hari ini aku berpikir kau tidak akan datang. Satu, dua, tiga, dan aku terus menghitung hingga detik ke sekian ribu. Aku masih saja belum mencium aroma tubuhmu. Aku kembali menghitung, dan pada hitungan kesekian aku teringat kembali serentetan kejadian yang seharusnya tidak pernah terjadi. Yang seharusnya tidak pernah berubah menjadi kenangan yang hanya akan usang dan berdebu seperti aroma rumah tua yang ditinggalkan penghuninya.  Aku kembali duduk santai di tempat duduk dimana aku mengerjakan tugas akhirku. Ada hasrat menghubungimu, tetapi untuk keperluan apa? Aku bahkan bukan partnermu. Aku hanyalah wanita dengan bol...