Langsung ke konten utama

Elang



Namanya Elang. Tatapan matanya tajam, benar-benar seperti Elang. Tetapi aku tidak begitu menyukainya. Bukan tipeku. Pria itu sungguh arogan. Meskipun aku tidak sepenuhnya paham dengan pria bermata sipit itu. Kebetulan beberapa temanku kenal baik dengannya. Dan, aku tidak akan pernah tertarik dengan pria macam dia. Selamanya. Begitulah kira-kira opini teman-temanku ketika aku menyanyakan beberapa hal tentang pria misterius itu kepada mereka.

Sampai suatu ketika di musim gugur, aku berjalan sendirian di trotoar menuju apartemenku. Aku menyukai cahaya senja yang menghangatkan tubuh di kota ini, kota tempatku bekerja selama hampir tiga tahun. Kota yang dulu menjadi kota impian masa kecilku. So, sekarang aku sudah bisa merasakan sebagian dari mimpi-mimpi itu terwujud. Apartemenku tidak begitu lux. Hanya sebuah ruang kecil berukuran tujuh kali tujuh. Gajiku sebagai auditor di sebuah perusahaan swasta tidak memungkinkanku untuk tinggal di apartemen yang lebih mewah.

Sore itu, pukul empat waktu setempat. Aku tiba-tiba terhenti di pinggir jalan dan untuk sekejap saja terasa tersihir oleh pemandangan sore yang sangat menawan. Aku memarkirkan mobilku tidak jauh dari rindangnya pepohonan di sekitar trotoar jalan dan keluar dari mobil. Pohon-pohon yang telah mencapai masanya secara bergiliran menggugurkan selembar, dua lembar hingga berlembar-lembar daunnya. Damai. Aku menikmati reruntuhan daun itu menghambur di wajahku. Kemudian aku tersenyum sambil memejamkan mata, sebelum akhirnya seorang pria menarik lenganku kuat-kuat. Aku segera membuka mata dan tatapanku mendarat ke wajah teduh pria bernama Elang itu. Ternyata, aku nyaris tertabrak anak kecil yang mengayuh sepedanya terlalu cepat. Aku bahkan belum sempat mengucapkan terima kasih, pria itu sudah terlebih dahulu berlalu. Seperti hantu.

Keesokan harinya ketika aku membuka pintu apartemenku, aku menemukan sebuah blocknote warna hijau toska di lantai. Blocknoteku. Blocknote itu tidak beralaskan apa-apa,  hanya tertulis sebuah pesan di atasnya “Lain kali hati-hati kalau berjalan”. Sudah. Tidak ada inisial, tidak ada pesan lainnya yang menunjukkan identitas. Ah mungkin ini ulah Doni, tetanggaku yang secara kebetulan menemukan blocknoteku jatuh di lobby apartemen.

Hari itu, bisa dibilang hari yang paling sial dalam hidupku. Cuaca hujan, sedangkan ban kendaranku pecah. Doni, teman sekaligus tetanggaku sudah berangkat bekerja sejak pukul tujuh. Ada meeting dadakan katanya. Tempat kerjaku sebenarnya bisa ditempuh dengan berjalan kaki selama 20 menit. Tetapi, aku tidak memiliki payung untuk berjalan di bawah hujan. Ah, sial. Aku mengumpat hebat. 

Aku mematung di depan pintu lobby. Berharap hujan segera reda dan aku bisa segera berangkat bekerja. Aku merasa tanganku kembali ditarik seseorang. Pria itu, pria bermata sipit dengan tatapan yang tajam. Aku tidak sempat merasakan guyuran hujan yang menetes karena aku sibuk memperhatikan mata coklat pria itu. Pria itu memandang lurus ke arah jalan yang basah oleh guyuran hujan, sama sekali tidak menoleh ke arahku. Pria berkemeja flannel dengan sepatu kats hitam itu terus menarik lenganku. Aku tidak sempat mengucapkan sepatah kata pun. 

“Kalau kau takut hujan, kau tidak berhak memperoleh indahnya sinar pelangi”, ucapnya singkat.

Beberapa menit kemudian aku sampai di tempat kerjaku. Pria bernama Elang itu melepaskan genggamannya dan berlalu sambil berkata “Have a great day, Miss!”

Aku masih tidak percaya dengan semua ini. Pria itu, aku tidak begitu paham dengannya. Yang aku tau, ia bernama Elang. Dan, aku tidak pernah mengerti mengapa ia selalu hadir di saat-saat yang genting dalam hidupku. Dan matanya, Tuhan aku tidak sanggup menahan untuk tidak menatap mata yang sungguh menawan itu. Benar-benar tidak sanggup. 

***

Di lift menuju lantai 8 apartemenku pukul 4 sore waktu setempat.

Aku masih berbalut kemeja hitam lengkap dengan skirt sebatas lutut dan high heel 10 cm. Hari ini aku memutuskan untuk berjalan kaki menuju tempat kerjaku. Entah sejak kejadian pagi dan hujan bersama Elang beberapa hari yang lalu, aku mulai menyadari satu hal. Bahwa, aku sering melewatkan keindahan jalan ketika aku mengendarai mobilku. Aku melewatkan beberapa pedagang mainan anak-anak yang kini selalu menyapaku setiap pagi. Aku melewatkan tiga bocah lelaki yang bersepeda sembari berceloteh manja khas anak kecil. Aku melewatkan aroma toko roti yang terletak beberapa blok dari apartemenku dan tentunya dengan pemiliknya yang sangat ramah kepadaku. Beberapa kali aku sempat mampir ke toko roti kecil itu untuk menikmati muffin favoritku. Pemiliknya kemudian menghadiahiku secangkir teh hangat gratis dan obrolan sore yang sangat menyenangkan.

Terima  kasih, Elang. Aku berutang banyak kepadamu.

Dan lagi, di saat aku ingin mengucapkan terima kasih, kau keburu cepat berlalu. Aku seharusnya tidak menilai dengan penilaian yang sepihak atas dirimu. Ternyata di balik sifatmu yang misterius, kau menyimpan banyak kejutan. Dan aku sangat menikmati setiap kejutan yang kau berikan. Entah, kau akan datang lagi dalam ketidaksengajaan yang dibuat oleh Tuhan atau tidak. Aku harap iya.

***

Sudah beberapa hari pria itu tidak muncul. Ah, mungkin sedang pulang ke kampung halamannya. Aku dengar dari teman-temanku, ia bukan asli penduduk sini. Wajarlah, minggu ini adalah long weekend. Mungkin ia ingin mengunjungi  keluarganya, pikirku.

Aku pulang dari bekerja berjalan kaki seperti hari yang sudah-sudah. Entah sejak kapan aku mulai mengacuhkan kendaraan hitamku di garasi. Seperti biasa, aku naik lift dan menekan tombol 8. Hari itu sepi. Hanya aku sendiri di dalam lift. Lift tiba-tiba berhenti di lantai 4 dan pintu lift terbuka perlahan. 

Aku melihatnya.

Pria bermata hitam sipit itu. Dan ia mengulaskan sedikit senyum dari bibirnya. Mempesona. 

***

Hari ini adalah hari pertama aku memepersilakan tamu pria masuk ke apartemenku. Ternyata aku sangat bodoh selama ini. Pria misterius bernama Elang yang selalu menyelamatkanku itu adalah tetangga sebelah kamarku. Ia bekerja sebagai freelance fotografer di kotaku. Tuhan, mungkin selama ini aku sangat buta. 

Cangkir Teh Sore Hari

Pria itu tidak searogan yang aku kira. Hari ini ia menerima tawaranku minum teh sebagai ungkapan terima kasih karena selama ini telah membantuku. Atau lebih tepatnya menyelematkanku. Aku membuka orbolan ringan bersamanya. Dan tidak terasa, waktu berjalan begitu cepat. Tetapi aku bersyukur, setidaknya hari ini aku bisa mengenal Elang secara langsung. Bukan dari opini teman. Bukan dari sekelebat bayangan yang lewat atau bukan pula dari hasil mengasumsikan sendiri.  

Hari ini, aku yang banyak bercerita. Ia hanya memperhatikan. Kadang kami tertawa, kadang ia mengerutkan kening kemudian aku segera meluruskan kalimatku. Kami menggenggam cangkir teh masing-masing untuk menghangatkan diri karena di luar cuaca sedang hujan. Seperti biasa, hujan deras. 

Pria itu berjanji akan datang kembali esok sore. Selepas aku bekerja. Untuk menikmati senja dari sudut kamarku sembari menyruput teh hangat buatanku.

Dan besok, kami akan hadir dengan cerita baru. Bersama cangkir teh lain yang menunggu untuk dihabiskan … bersama.


Rosalie.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hai Januari

Hai, Januari. Bulan suciku. Bulan dimana aku 22 tahun yang lalu hanya seonggok daging yang bisa jadi dihidupkan. Atau bisa jadi kehidupan itu dibatalkan. Januari berbekas seperti sisi luka yang tidak pernah mereka tahu. Mereka hanya melihat, tidak menatap tajam. Mereka hanya lewat, tidak merapat. Bulan yang penuh hujan air mata. Ah, andai aku bisa membendungnya. Sedikit saja agar mata ini tidak membengkak kemudian mengumbar tanya. Ada apa dengan matamu? Kemudian aku buru-buru membungkusnya dengan kerutan senyum yang aku buat sendiri. Sembari mengucapkan aku tidak apa-apa versiku sendiri. Hai, Januari. Kau ingat lilin yang meleleh di pelataran tart mewah itu? Kau ingat bungkusan indah yang terbalut pita biru muda yang anggun? Aku masih mengingatnya, tetapi seingatku aku telah lama membuangnya. Bagiku semua itu sudah tidak ada pengaruhnya pada hati yang mulai meradang ini. Radangnya sudah bercabang, hingga membentuk kubangan luka yang ku sebut...

It's Just for Nothing

KARENA SEMUA INI PERCUMA. Percuma. Percuma setiap hari aku berharap kau membaca semua tulisanku. Percuma setiap saat aku berharap kau akan sadar bahwa aku ada untukmu. Percuma setip waktu aku berharap kau akan datang kepadaku. Benar-benar payah. Lebih baik aku lepaskan saja sosokmu itu. Yang dahulu merogoh masuk ke dalam jiwaku dan menembus menguliti dinding hatiku yang kelam. Sudah tidak berarti saat ini. Sudah tidak berpengaruh lagi. Hari ini aku putuskan untuk tidak lagi menjadi manusia menyedihkan bernama diriku. Bukankah seharusnya cinta itu diperjuangkan berdua, bukan sendiri? Aku terbahak dalam imajiku sendiri. Mengumpat pasrah tentang paradox rasa yang hingga saat ini masih susah aku cerna. Aku tersedak dalam stigma-stigma yang bahkan aku sendiri tidak paham tentangnya. Aku tersudut di ujung pikiranku yang tumpul. Aku tersisih di penghujung hatiku yang kian membeku.  Aku terbawa arus hingga ke seberang dan aku tidak mampu berenang, pun menyelam. Sem...

Pesan Singkat

12 November 2014 Tuhan, aku malu. Aku malu memandang wajah teduh yang menyilangkan senyum pasi itu. Aku malu melihat senyum yang sebaiknya tidak pernah kulihat itu. Aku terlampau malu hingga aku hanya bisa memandang jari kakiku sendiri. Tuhan, bolehkah aku melihatnya sekali lagi? Sebelum aku mengurung semua uap-uap memoar ini dalam bingkai kenangan? Hari ini aku berpikir kau tidak akan datang. Satu, dua, tiga, dan aku terus menghitung hingga detik ke sekian ribu. Aku masih saja belum mencium aroma tubuhmu. Aku kembali menghitung, dan pada hitungan kesekian aku teringat kembali serentetan kejadian yang seharusnya tidak pernah terjadi. Yang seharusnya tidak pernah berubah menjadi kenangan yang hanya akan usang dan berdebu seperti aroma rumah tua yang ditinggalkan penghuninya.  Aku kembali duduk santai di tempat duduk dimana aku mengerjakan tugas akhirku. Ada hasrat menghubungimu, tetapi untuk keperluan apa? Aku bahkan bukan partnermu. Aku hanyalah wanita dengan bol...