Langsung ke konten utama

Sesederhana Tawa Itu



Musim panas, 2015.

Hari ini aku akan kembali menemuimu di museum tua itu. Sinar matahari pagi masih cukup malu untuk tampak dan menyapaku. Aku berjalan perlahan sambil menikmati semilir angin pagi di emperan toko tidak jauh dari apartemen tempatku hidup. Di sebuah toko roti emperan yang sangat sederhana aku menghentikan langkah. Keharuman uap roti yang sedang dipanggang semakin menggugah seleraku untuk sekedar duduk dan menikmati kesendirian di sudut tempat bangunan berkonsep Vintage itu. 

Secangkir Gren Tea Latte dan Tiramissue menemani tubuh kecilku yang terbalut kaos putih tipis dengan syal biru tua sebagai pelengkap. Menu sarapan yang sempurna, pikirku.

Toko roti itu tidak begitu dipadati pengunjung, cocok untuk berdiam diri barang tiga puluh sampai empat puluh menit. Pemiliki toko roti itu adalah sepasang kakek dan nenek yang kini usianya menjelang senja. Tangan nenek yang halus namun sudah cukup keriput dengan sabar mengambil adonan roti dan mencetaknya di loyang untuk selanjutnya dipanggang di oven sederhana. Sementara, suaminya dengan lihai meramu bahan-bahan yang akan digunakan sebagai roti dan menyulapnya menjadi adonan yang kalis. Pasangan yang saling melengkapi. Sesekali terlihat mereka berdua tertawa ketika secara tidak sengaja sang nenek terkena serbuk tepung yang sedang diaduk oleh sang kakek. Pemandangan yang menggemaskan.

Aku adalah pengunjung pertama yang hadir di toko roti bernama Pedretti’s Bakery itu. Beberapa menit kemudian muncullah seorang bocah lelaki yang datang sembari menunjuk muffin coklat yang terhidang di etalase. Sang Nenek dengan nada menggoda seakan berpura-pura tidak mau mengambilkan kue kesayangan si bocah tersebut. Aku tersenyum sekilas.

Pedretti's Bakery

Entah sudah sejak kapan aku tidak memperhatikan hal-hal kecil seperti itu di kanan-kiriku. Aku terlalu sibuk dengan urusanku sendiri. Mungkin juga dengan pekerjaan baruku sebagai jurnalis. 

Kemudian aku bertemu denganmu. Secara tidak sengaja ketika proyekmu sedang di atas angin. Kau dengan selera yang sangat exclusive itu hadir dan memilihku yang sangat sederhana ini. Dan untuk kesekian detik pertama dalam hidupku, aku merasa lengkap. 

Kau tidak berhenti membuat hatiku terkejut dan sejak saat itu aku semakin memantapkan hati untuk melangkah ke depan bersamamu. Karena kau bilang, bersama selalu lebih baik.

Kadang, kau secara sengaja menuliskan sepatah atau beberapa patah kata penyemangat di blocnoteku. Dan seperti yang sudah-sudah, aku akan membacanya setelah dua sampai tiga hari kau tuliskan. 

Aku sangat menikmati hidupku.  Entah dengan alasan apa aku tidak ingin  pindah dari kota ini. Kau mengajakku menikah dan beranjak ke kota yang lebih besar. Aku masih berpikir ulang. Meskipun usiaku memang sudah cukup matang untuk sebuah pernikahan, aku masih belum yakin aku bisa mengimbangi kehidupanku yang begitu mobile dan super lux itu. Aku mencintaimu, tetapi ada hal lain dalam diriku yang ingin kembali dihidupkan, yaitu kemandirian.

Aku hanya tidak ingin kau mengganggu fokusku untuk meraih karir. Mungkin, kau akan memberikan apapun yang aku butuhkan. Tetapi tidak ada yang mengalahkan kepuasan ketika aku mendapatkannya dengan usahaku sendiri.

Sementara aku sendiri hanyalah gadis lulusan universitas tidak terlalu ternama yang saat ini sedang menekuni karir di dunia jurnalistik. Setellah kedua orang tuaku bercerai, aku memutuskan untuk pindah ke kota 
kecil ini dan mencari pekerjaan di sini sambil memulihkan kembali trauma yang sempat aku alami. Sementara kau adalah pimpinan sebuah perusahaan bergengsi yang cabangnya tersebar di tiga kota berbeda.

In the other hand, aku berpikir untuk menjadi Ratu dari Raja yang sempurna sepertimu hanyalah ada di dalam dongeng-dongeng masa kecil. Tetapi, kau hadir dan membuka mataku bahwa kau benar-benar ada. You’re really exist, indeed.

Aku menyruput Green Tea Latte hangat yang sedari tadi hanya aku genggam saja.

Entah, menyaksikan pasangan kakek nenek yang menyajikan cinta dengan sederhana itu sudah cukup membuatku damai. Lega. Bahagia.

Aku hanya menginginkan hal yang sederhana. Sesederhana pasangan kakek nenek yang dengan tawa riuhnya senantiasa menghadirkan cinta bagi pelanggan tokonya. Dan kau dengan hadirmu serta segala ke-kamu-anmu yang serba wah itu, kurasa sudah sangat berlebihan bagiku.

Sudah lebih dari tiga puluh menit, aku harus bergegas nememuimu di museum kota. Hari ini adalah jadwal dating rutin kita. Minggu pagi di musim panas yang menggembirakan.

Rosalie.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aku ingin pulang......

Pulang. Aku ingin pulang dan menghambur pelukan yang hangat pada siapapun yang kusebut “dia”. Aku ingin pulang dan meletakkan semua kesedihan pada karung kumal untuk kusembunyikan di gudang penyimpanan. Biar tikus dan kecoa menghancurkannya perlahan. Perlahan hingga tanpa sisa, tanpa bekas sedikitpun. Aku lupa arah yang membawaku ke jalan dimana aku kecil adalah Putri Kecil. Aku mungkin akan pulang membawa luka yang lebih parah dari sebelumnya. Tapi aku tidak akan terlihat begitu menyedihkan. Hanya saja aku akan datang dengan kemasan yang berbeda. Menyembunyikan sedikit memar yang tampak. Menyuguhkan senyum manja. Seperti yang sudah-sudah, aku akan mengangkat tinggi-tinggi kepalaku dan tidak akan menunduk lagi.    Pulang. Sudah lama aku tidak merasakan kehangatan roti buatan bunda atau cerita pendek ayah sepulang kerja. Sudah lama hingga aku sadar selama ini aku hanya ditemani nyamuk-nyamuk yang putus harapan. Atau kotak-kotak indah yang dalamnya ternyata hanyalah s...

Now...

Karena hidup adalah sekarang. Bukan kemarin, bukan besok. Dan aku butuh waktu lama untuk menyadarinya. Secuil aku secara tidak sadar mulai hidup kembali dengan kemasan yang baru. Dengan raga yang baru. Dengan ketangguhan yang setiap hari kuamini di setiap doa atas nama orang-orang terkasih. Seperti itulah proses kehidupan, dari sebuah titik hingga menjadi kalimat. Dari sebuah aku sampai menjadi kita. Seperti itulah cara Tuhan menjaga keseimbangan semesta raya dengan rumus empirisnya.  Hidup akan mengikis siapapun yang memilih diam. Yang memilih   menggali lubangnya sendiri. Karena untuk mendaki ketangguhan dibutuhkan sedikit rasa berani. Hanya sedikit, agar manusia tidak menjadi begitu sombong. Hanya sedikit, karena Tuhan menciptakan semuanya sudah pada proporsinya. Tidak kurang. Tidak lebih. Maka, seperti itulah bahagia. Tidak pernah lebih, tidak pernah kurang. Lalu tentang hati, ada password yang harus mereka pecahkan untuk menjajahi hatiku, juga hatimu. Jangan ...

Rindu

Ada rindu yang hanya tanggal secarik tulisan usang. Yang menatapku lekat-lekat di kamar 4x4 dengan harap yang tak lagi hidup. Sudah lama mati. Rindu itu menjelma malam yang dingin yang pasrah dijajah pagi, menjelma awan hitam yang kelihatannya kuat tetapi ketika disentuh hanyalah gantungan asap yang rapuh. Rindu itu semrawut, tidak tertata dengan indah seperti buku cokelat yang kuhadiahkan sebagai kado ulangtahun pada seseorang.  Rindu itu kacau. Semakin kau tahan, semakin manja dan tak tahu diri. Mungkin, di antara aku dan kamu, ada pesan yang belum tersampai. Ada naskah yang belum sempat diketik ulang, ada banyak proposal yang belum sempat ditantangani, dan ada ribuan kata yang belum sempat dideklarasikan. Lalu, jika pagi datang dengan senyumnya, aku mengingat segala ucapan semangat dan selamat pagi yang dulu sering membanjiri kotak masuk phonecellku hingga penuh sesak. Tapi seiring dewasanya pagi, semuanya sepi. Hening. Alam seakan tidak mau berisik karena tak...