Langsung ke konten utama

I'm Not Single, I Date My Career



Mungkin, kau terlalu banyak membuat aturan dalam hidupmu. Kamu terlalu perfeksionis. Kamu terlalu ketinggian standart, turunin dikit napa sih? Kamu suka pilih-pilih. Kamu terlalu mentingin karir.

So, kurang lebih seperti itulah opini teman-temanku tentang diriku. Well, aku masih 22 tahun dan aku terlalu bangga menyandang status single atau bahasa ngenesnya adalah jomblo. Tetapi kebanyakan orang lebih suka menamai diri mereka single, katanya sih biar terlihat lebih internasional. Ahahahhahahahha. Tetapi, aku lebih memilih kata lain, panggil saja aku pemain solo. 

Yap, that’s me. Seseorang yang sedang dan sepertinya bakalan terus dikelilingi kaum-kaum berpasangan. Aaaaaand, aku sendiri bahkan masih belum tahu nasib asmaraku akan aku labuhkan kemana. Bukannya nggak ada, tetapi Cuma belum ada saja yang benar-benar mau membuktikan bahwa he is the one. Nope lol. 

Sementara, aku sendiri lebih senang dengan kehidupan yang secara teknisnya aku jalanin seorang diri. Yah, walaupun nggak menutup kemungkinan aku bakal butuh orang lain juga  sih. Tetapi, prinsip hidupku dari dulu adalah selagi kamu bisa menghidupi diri kamu sendiri, jangan pernah bebani orang lain dengan masalahmu. Dan hal tersebut sepertinya sudah sangat kuat terpatri dalam benakku.

Aku selalu merencanakan sesuatu di awal. Mulai dari pendidikanku, masa depan keluarga intiku, hingga masa depan ayah-ibu serta saudara-saudaraku. Sejak kecil aku terbiasa dengan planning dan target. Ayahku orang yang terkenal sangat keras mendidik anaknya. Aku dulu sempat tidak berani masuk rumah lantaran aku mendapatkan ranking 3. Bagi ayahku, putrinya harus rangking 1. Dulu sempat stress juga jadi anaknya ayahku, sampai akhirnya aku sadar bahwa dengan begitu beliau telah mengajarkanku cara mendapatkan atau meraih sebuah mimpi tanpa kenal ampun dan tanpa mengibarkan bendera putih. I won’t put my hands up and surrender-lah pokoknya.

Dan entah mengapa diantara semua rencanaku itu, yang tertinggal adalah masalah suami. Bukan berarti aku tidak pernah berharap untuk mendapatkan suami, hanya saja untuk saat ini aku masih fokus sama pengembangan diriku, peningkatan karir dan juga kebahagiaan ayah-ibu serta suadaraku. Meskipun aku bukan anak pertama di dalam keluargaku tetapi aku merasa ikut memiliki beban untuk menanggung pendidikan mereka. Yah, walaupun nggak banyak paling nggak udah bisa bantu 25%-40% sudah sangat luar biasa bagiku.

Hidup di keluarga yang pas-pasan dan harus mengatur pengeluaran sebijak mungkin akhirnya membuatku sedikit mandiri. Aku mensiasatinya dengan memasuki dunia freelance di bidang pendidikan. Aku mengalokasikan 60% pendapatan untuk hidup, 20% untuk saving, dan 20% untuk keluarga. Yah, aku belum memperoleh gaji yang sesuai dengan harapanku. Pekerja freelance tidak seberapa bila dibanding dengan pekerja kantoran. Harapannya tahun ini aku sudah memiliki pekerjaan yang benar-benar pekerjaan yang bisa aku jadikan sandaran hidup.

Well, lanjut ke urusan masa depan. Aku menetapkan dua titik aman selama 10 tahun. Titik aman pertama jatuh pada tahun kelima dari sekarang. Artinya tahun 2020. Sedangkan titik aman kedua lima tahun berikutnya, artinya sampai tahun 2025. Aku menargetkan beberapa hal pada titik aman pertama. Diantaranya aku harus sudah menyelesaikan urusan perekonomian di keluargaku. Aku sudah harus memiliki pekerjaan yang bisa aku gunakan untuk membeli rumah beserta perabotannya. Kemudian pada titik aman kedua aku sudah harus menikah dan aku harus sampai selesai mengantarkan adikku memperoleh gelar sarjana. Selain itu pada titik aman kedua aku harus sudah memiliki kendaraan pribadi yang bisa memuat banyak orang. Ahahhahahahaha.

Hidup ini memang keras, kawan, terkadang apa yang telah aku tuliskan tidak semuanya berakhir dengan senyum puas. Tidak selalu seperti itu. Jika sesuatu yang ditarget aja masih meleset apalagi jika tidak ditarget? Ada kalanya hal-hal yang menurut kita penting dalam hidup ini justru tergantikan dengan sesuatu yang jauh lebih berharga. Salah satunya adalah keluarga. Beberapa hari lalu aku sibuk mencari informasi tentang harga mobil bekas antara tahun 2009 sampai 2012. Di tengah-tengah pencarianku, aku tersentak. Aku mengingat adikku masih kelas 2 SMP, sedangkan aku juga masih memiliki banyak PR untuk hal-hal lain yang berbau kemanusiaan. Maka aku singkirkan niatku untuk membeli mobil dan mulai menata kembali masa depan penerusku. Untuk apa aku berpendidikan tinggi jika aku tidak bisa memberikan sesuatu yang bermanfaat bahkan bagi keluargaku? That’s why, kawan! Mulai pikir-pikir ulang jika mau membeli sesuatu yang kiranya masih belum begitu penting. Ada hal lain yang lebih penting menunggu untuk diperbaiki, plafon rumah ayahmu.
Lady Independent  

That’s the reason aku kadang lebih acuh dengan apa yang disebut sebagai pacar, pasangan atau apalah itu. Selagi aku tidak keburu menikah aku tidak bakalan bingung dan terlalu ambil pusing dengan masalah itu. Semua sudah ada yang mengatur pastinya. Dan aku lebih percaya kepada Dia daripada kepada meme-meme yang menye-menye tentang pasangan dan semacamnya.

Pernah ada juga yang bilang gini, “Siapa tahu nanti dengan kamu punya pacar, bakal bisa ringanin beban hidupmu. Seenggaknya kamu bisa lebih bahagia”. Wow, saya selama ini sudah sangat bersyukur dan bahagia, kawanku sayang.  Aku memiliki keluarga, aku memiliki teman, aku memiliki pekerjaan, aku memiliki tempat tinggal, dan aku memiliki beberapa orang “aneh” yang selalu membutuhkan aku di saat mereka sulit menentukan pilihan. Dan, tentunya aku masih dalam lindungan-Nya adalah kebahagiaan terbesar. 

Pernah beberapa kali aku menjalani sesuatu yang disebut hubungan kasih itu dengan orang yang berbeda. Tetapi selalu berakhir dengan sangat tidak mulus. Ahahahaha. Kalo istilah klisenya sih mungkin memang bukan jodoh. Dan aku terlalu tidak ambil pusing dengan hal tersebut.

Beberapa hari terakhir sempat juga merasakan galau karena mengalami sekarat semangat dan kebetulan lagi jauh juga sama keluarga karena sedang terjadi sesuatu yang kurang mengenakkan. Di sisi lain sahabat-sahabat terdekatku telah pergi mengejar mimpinya masing-masing (wish lucky for Nick, Rizky, and Vera yaRabb). So, jadilah aku galau dengan mulai bertanya pada diri sendiri “Butuhkan aku sosok seorang pasangan?”

Aku mengalihkannya ke hobiku. Menulis. Apapun aku tulis hingga pegal semua tangan dan juga punggung karena kebanyakan duduk. Setiap hari sampai harus tidur pukul 03.00 karena asyik dengan tulisan dan dengan blog-blog menarik yang sedang aku gandrungi. Kemudian, aku merasakan inilah aku yang sebenarnya. Aku yang ambisius, aku yang selalu konyol, aku yang kadang jutek, aku yang terkesan kadang puitis, aku yang ekspresif, aku yang tomboy abis tapi kalau mau keluar dandannya lama banget, aku yang selalu mencolok dengan dandanan yang aneh dan sangat terlalu over PeDe akan hal itu, aku yang selalu mengendarai kendaraan dengan kecepatan di atas rata-rata, aku yang selalu menyanyi keras dan tidak jarang pula merekam suara buasku kemudian aku kirimkan ke beberapa temanku sampai berakhir dengan hujatan dan canda tawa bahagia, aku yang selalu men-DJ dengan caraku sendiri, dan aku yang selalu menyruput kopi hitam di sore hari. Then, I’m feeling great about myself and thanks God for this beautiful life.

Sampai akhirnya aku menemukan sebuah tulisan. Quotes by Lady Gaga. Kira-kira seperti ini tulisannya :

Terkadang perempuan dihadapkan pada dua pilihan dalam hidupnya. Untuk mengejar karir atau mengejar lelakinya. Aku lebih memilih mengejar karirku, karena hanya karirku yang tidak akan bangun pagi dan memberi ucapan selamat sembari berkata “Aku tidak mencintaimu lagi”.

Dan hal tersebut sudah lebih dari cukup untuk menjadi jawaban atas segala kegalauanku.

Rosalie.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hai Januari

Hai, Januari. Bulan suciku. Bulan dimana aku 22 tahun yang lalu hanya seonggok daging yang bisa jadi dihidupkan. Atau bisa jadi kehidupan itu dibatalkan. Januari berbekas seperti sisi luka yang tidak pernah mereka tahu. Mereka hanya melihat, tidak menatap tajam. Mereka hanya lewat, tidak merapat. Bulan yang penuh hujan air mata. Ah, andai aku bisa membendungnya. Sedikit saja agar mata ini tidak membengkak kemudian mengumbar tanya. Ada apa dengan matamu? Kemudian aku buru-buru membungkusnya dengan kerutan senyum yang aku buat sendiri. Sembari mengucapkan aku tidak apa-apa versiku sendiri. Hai, Januari. Kau ingat lilin yang meleleh di pelataran tart mewah itu? Kau ingat bungkusan indah yang terbalut pita biru muda yang anggun? Aku masih mengingatnya, tetapi seingatku aku telah lama membuangnya. Bagiku semua itu sudah tidak ada pengaruhnya pada hati yang mulai meradang ini. Radangnya sudah bercabang, hingga membentuk kubangan luka yang ku sebut...

It's Just for Nothing

KARENA SEMUA INI PERCUMA. Percuma. Percuma setiap hari aku berharap kau membaca semua tulisanku. Percuma setiap saat aku berharap kau akan sadar bahwa aku ada untukmu. Percuma setip waktu aku berharap kau akan datang kepadaku. Benar-benar payah. Lebih baik aku lepaskan saja sosokmu itu. Yang dahulu merogoh masuk ke dalam jiwaku dan menembus menguliti dinding hatiku yang kelam. Sudah tidak berarti saat ini. Sudah tidak berpengaruh lagi. Hari ini aku putuskan untuk tidak lagi menjadi manusia menyedihkan bernama diriku. Bukankah seharusnya cinta itu diperjuangkan berdua, bukan sendiri? Aku terbahak dalam imajiku sendiri. Mengumpat pasrah tentang paradox rasa yang hingga saat ini masih susah aku cerna. Aku tersedak dalam stigma-stigma yang bahkan aku sendiri tidak paham tentangnya. Aku tersudut di ujung pikiranku yang tumpul. Aku tersisih di penghujung hatiku yang kian membeku.  Aku terbawa arus hingga ke seberang dan aku tidak mampu berenang, pun menyelam. Sem...

Pesan Singkat

12 November 2014 Tuhan, aku malu. Aku malu memandang wajah teduh yang menyilangkan senyum pasi itu. Aku malu melihat senyum yang sebaiknya tidak pernah kulihat itu. Aku terlampau malu hingga aku hanya bisa memandang jari kakiku sendiri. Tuhan, bolehkah aku melihatnya sekali lagi? Sebelum aku mengurung semua uap-uap memoar ini dalam bingkai kenangan? Hari ini aku berpikir kau tidak akan datang. Satu, dua, tiga, dan aku terus menghitung hingga detik ke sekian ribu. Aku masih saja belum mencium aroma tubuhmu. Aku kembali menghitung, dan pada hitungan kesekian aku teringat kembali serentetan kejadian yang seharusnya tidak pernah terjadi. Yang seharusnya tidak pernah berubah menjadi kenangan yang hanya akan usang dan berdebu seperti aroma rumah tua yang ditinggalkan penghuninya.  Aku kembali duduk santai di tempat duduk dimana aku mengerjakan tugas akhirku. Ada hasrat menghubungimu, tetapi untuk keperluan apa? Aku bahkan bukan partnermu. Aku hanyalah wanita dengan bol...