Dear My Lovely Devy,
Aku kecewa, aku marah, dan sekali
lagi aku tidak sanggup menjadi apa yang kau harapkan terhadapku. Aku tidak bisa
selamanya menjadi sumber penghasilan untukmu. Sementara, kau bahkan tidak
pernah melihat perjuanganku. Setidaknya dengarlah ketika aku berbicara
kepadamu. Tentang apa yang aku rasakan selama 22 tahun ini, sejauh aku masih
menyandang status adik kandungmu. Setidaknya jika kau tidak ingin mendengarkanku
sebagai adikmu, dengarkanlah aku sebagai orang lain. Itu saja. Tetapi kau tidak
pernah melakukannya.
Sampai aku mengetahui sebuah fakta
bahwa kau sudah sangat keterlaluan memperlakukan Ibumu, juga Ayahmu. Aku masih
belum bisa berbuat apa-apa untuk mereka berdua. Untuk menyelamatkan mereka
darimu. Mungkin, aku payah.
Kau lupa bahwa kau adalah orang yang
paling disayang oleh Ayahmu. Entah apakah Ayah juga menyayangiku seperti ia
menyayangimu. Dan aku tidak pernah protes atas hal itu. Aku tahu bahwa kau
mungkin saja memiliki sesuatu yang tidak aku miliki, sehingga Ayah lebih
menyayangimu dengan caranya sendiri.
Kau lupa, berapa banyak air mata
yang aku keluarkan ketika kau berkata bahwa aku tidak pantas untuk menginjakkan
rumah dimana aku dulu pernah dibesarkan dengan kasih sayang yang ganjil. Di rumah
kita. Kemudian aku pergi dan berharap aku tidak akan kembali. Tetapi pada suatu titik, aku harus
kembali ketika Ayahmu masuk rumah sakit dan aku tidak bisa tinggal diam
mendengar hal tersebut. Aku tidak tahu apakah aku masih patut menyebut Ayahmu
nsebagai Aayahku juga.
Kau lupa bahwa waktu itu kau pernah
berusaha mencelakaiku sampai akhirnya aku menagis dan kau juga ikut menangis
lantaran takut Ibu akan mengetahui perbuatanmu. Kau mungkin sudah lupa karena
saat itu aku masih berusia 5 tahun.
Kau juga mungkin lupa ketika kau
melempar piring ke lantai ketika aku sedang makan bersama teman SD-ku di rumah.
Kau tahu? Sejak saat itu ia bahkan takut untuk berkunjung ke rumah.
Tetapi kau selalu ingat satu hal,
yaitu uang. Lantas kau akan menerorku sepanjang malam dan merajuk seperti anak
kecil yang minta dibelikan permen atau balon udara. Kau tidak berhenti
melakukannya sampai aku memberimu uang. Sudah berapa lama hal itu terjadi jika kau ingat? Sejak aku masuk
kuliah.
Aku tidak mempermasalahkan berapa
banyak uang yang telah aku habiskan untuk dirimu, tetapi setidaknya
perlakukanlah aku sewajarnya. Sebagai adikmu yang sesungguhnya, bukan hanya
sebagai adik di kartu keluarga.
Jujur saja, aku lelah tadi malam. Lelah
fisik dan juga batinku. Kau tahu betapa sakitnya menahan sesuatu yang
sebenarnya tidak dapat kau tahan. Tetapi kau harus bersikap seolah kau
baik-baik saja. Itu yang aku rasakan selama ini. Dengan kondisi seperti itu kau
kembali meminta uang dengan nominal yang lebih tinggi. Honorku sebbagai
pengajar private tidak sebberapa jika dibanding dengan target dan keinginan
yang ada di kepalamu.
Kau tahu? Komunikasi keluarga kita
hancur. Sangat buruk. Kau yang seharusnya menjadi panutan justru bertingkah
seperti anak kecil, sedangkan Ayahmu yang seharusnya menjadi penengah tetapi
seringkali menjadi pengeruh suasana. Entah apakah aku telah melakukan hal yang
benar untuk keluarga kita, tetapi aku telah berusaha semampuku.
Kau lupa ketika aku terbaring sakit
di rumah tetapi kau justru tidak suka dengan kehadiranku. Lantas aku pulang ke
tempat perantauanku, walaupun waktu itu aku menahan sakit ketika aku berada di
atas bis. Kau tidak pernah tahu itu. Yang kau tahu hanya uangku dan hanya uangku.
Kau mulai menelantarkan ayahmu. Ayah
yang selalu membahagiakanmu sejak kecil dan selalu menjadi Raja dari Putri
macam dirimu. Sementara aku hanyalah tokoh kecil yang tidak pernah terlihat
oleh mata kalian yang selalu haus oleh sesuatu yang tampak. Sedangkan yang aku
inginkan hanyalah hal sederhana, kasih sayang. Tetapi kini hal itu telah
menjelma menjadi sesuatu yang sangat langka di keluarga kita. Bahkan aku harus
terlebih dahulu susah payah mencarinya. Tentang apa yang orang sebut sebagai
kasih sayang.
Lantas, aku mencari kasih sayang itu
diluar pagar rumah kita. Karena rumah kita telah lama beku. Aku pernah datang
membawa api untuk mencairkan segala kebekuan itu, tetapi kau justru menjatuhkan
api itu ke tubuhku.
Aku mulai lupa. Lupa ketulusan itu
yang bentuknya seperti apa. ketulusan itu yang warnanya bagaimana dan dengan
aroma seharum apa? Aku benar-benar telah lupa.
Sampai aku bertemu mereka yang
secara suka rela menawarkan ketulusan dan pelukan hangat ketika aku membutuhkan
kekuatan. Aku tumbuh sangat kuat hingga kadang aku lupa bahwa aku sebenarnya
masih merindukan sosok keluarga yang normal. Aku tumbuh menjadi gadis yang
harus bekerja sepnajang malam untuk memperoleh rupiah dan seperti itu
seterusnya hingga aku sadar satu hal, bahwa ini bukanlah diriku yang
sesungguhnya.
Lantas aku mencoba untuk memperbaiki
komunikasi denganmu. Aku meletakkan egoku di tempat sampah kemudian aku tutup
rapat-rapat. Bahkan aku pastikan tidak ada orang lain yang akan membuka tempat
sampah itu. Tetapi kau tetap saja hidup dengan pemikiranmu. Tetap memojokkanku
dengan alasanmu yang tidak logis, lantas mempersalahkan Ibu.
Kau tetap seperti itu bahkan ketika usiamu
menginjak dewasa, dengan pemikiranmu yang tetap saja kaku. Kau luput akan satu
hal, bahwa untuk meraih kesuksesan kau harus berusaha dan berjuang dengan cara
yang kau rasa masuk akal.
Kau juga memperhitungkan hal-hal
kecil seperti saat aku berjalan-jalan dengan temanku. Apakah aku tidak boleh
merasakan kebersamaan? Aku sangat muak dengan segalanya hingga aku harus
menelan valium setiap hari. Kau tidak pernah tahu hal itu, bukan? Ketika aku
mengalami gangguan kecemasan dan rasa takut yang berlebihan akibat segala
tekanan hidup yang aku rasakan dan pada akhirnya aku harus masuk Ruang
Internist karena hal tersebut. Kau tidak tahu rasanya mengalami insomnia dan
benar-benar tidak bisa tidur selama tiga hari? Tetapi aku diam saja. Hanya karena
aku tidak ingin menambah beban bagi keluarga kita.
Aku diam saja dengan semua itu, lalu
mengapa kau mempermasalahkan Ibuku yang membanggakanku? Jika kau tidak suka
dengan cara Ibu yang seperti itu, banggakan Ibu. Ubah sudut pandang Ibu
terhadapmu, dan buktikan bahwa kau juga patut dibanggakan.
Jangan menghalangiku untuk mendaki. Jika
kau ingin di atas, mendakilah. Jangan menarikku atau melemparku dengan batu. Jika
kau butuh bantuan, tanganku selalu ada untuk dijulurkan menggandeng tanganmu. Tetapi
jika kau tetap keras kepala, itu urusanmu.
Rosalie.
Komentar
Posting Komentar