Langsung ke konten utama

Sepasang Sikat Gigi



Hari ini sabtu kelabu. Yeayehaaaaaay, setidaknya aku masih merasakan udara pagi dan kebulan uap kopi dari cangkirku. 

Pagi ini cerah, tetapi tidak secerah perasaanku. Sejak perpisahan itu, aku mulai membiasakan diri untuk tidak lagi memasuki zona-mu. Sebut saja demikian. Zona dimana ketawamu sudah seperti heroine merk-ku sendiri. Zona dimana setiap celotehan tajamku berujung pada dandanan rambutku yang kacau akibat kau acak-acak menggunakan tanganmu yang kasar namun hangat itu. Zona dimana aku dan kau berbagi cangkir kopi yang sama, dengan isi kopi yang sama pula tentunya. Juga zona-zona lainnya yang akan semakin menyeretku ke gravitasimu yang super kuat.

Aku mulai membiasakan. Bangun sepagi mungkin dan segera mencuci muka sembari menggosok gigi. Karena aku sadar, tidak akan ada lagi pria yang sibuk menarik selimutku hanya lantaran aku sangat susah dibangunkan. Kau ingat ritual pagi kita yang selalu  kita lakukan selama hampir 4 tahun ini? Lomba menggosok gigi. Barang siapa yang bisa menggerakkan sikat gigi dengan cepat akan keluar sebagai pemenangnya. Aku selalu kesusahan menyamai kecepatanmu dalam menggerakkan sikat gigi bergagang lucu itu. Dalam hal apapun sepertinya aku kalah cepat denganmu. Termasuk dalam urusan melupakan. Kau mungkin lupa tentang perdebatan kita di supermarket waktu kita berbelanja kebutuhan rumah. Kau orangnya sangat detail, bahkan untuk urusan sikat gigi sekalipun. Kau memilih sikat gigi sedemikian rupa yang bisa aku sebut aneh, sampai-sampai aku heran. Ketika aku bertanya untuk apa kau membeli sikat gigi yang modelnya aneh seperti itu, kau hanya berkata “Biar lucu aja.” 

Our Weird Toothbrush
Kadang kau aneh, kadang kau romantis, kadang kau juga seperti orang yang berbeda. Seperti orang asing yang sama sekali tidak aku kenal. Kau, seperti memiliki banyak model-mu yang berbeda. Atau mungkin kau memiliki lebih dari dua alter ego. Bisa saja itu terjadi. 

Pagi ini, masih sabtu kelabu. Terhitung sejak dua bulan kepergianmu yang entah kemana. Kau susah untuk aku hubungi. Bahkan kabar terakhir yang aku terima dari bosmu, kau sengaja resign dengan alasan ada tawaran pekerjaan di Singapura. Setahuku, aku tidak pernah melihatmu memasukkan lamaran ke perusahaan asing. 

Dua bulan yang aku lalui lebih terasa seperti neraka. Panas, tetapi setiap malam merayap, aku merasa kedinginan tanpa ampun. Tidak ada cerita konyol yang kau hidangkan untukku. Tidak ada teman nonton movie di channel kesayangan. Dan, tidak ada teman menghabiskan pasta buatanku. Semua hal itu kini aku lakukan seorang diri. Tanpa campur tanganmu. 

Pagi ini, masih sabtu kelabu. Aku membatalkan beberapa janji dengan client-ku karena aku ingin menikmati akhir pekanku tanpa ada unsur pekerjaan. Bekerja menjadi lawyer sepertiku kadang memang membutuhkan extra time yang tinggi. Aku ingin berjalan-jalan. Pergi ke mall mungkin bisa menjadi alternative yang cukup menggembirakan. Mungkin.

Aku tidak tahu seberapa banyak hidupku benar-benar dipenuhi oleh memori tentangmu. Bahkan ketika aku beranjak dari tempat tidurku dan meletakkan cangkir kopiku yang kini mulai dingin, aku melihat secarik kertas berwarna merah jambu bertuliskan tulisan tanganmu yang otentik. Aku pertama kali menemukan surat itu ketika pulang bekerja dua bulan yang lalu. Dengan posisi dan tempat yang sama. Di dekat lampu tidur berwarna gold itu. Lampu tidur yang tidak pernah aku matikan, karena aku takut kegelapan. Tulisan tanganmu sangat singkat, namun cukup untuk mengoyak hatiku dan menghamburkan perasanku ke semesta. 

Dear Ve,
Kau orangnya kuat. Kau pasti bisa menjalani hari-hari tanpaku.
Rey.

Tidak ada pesan lain. Tidak ada alamat atau apapun, bahkan tidak ada alasan mengapa kepergianmu sangat mendadak. Kau lantas hilang seperti kabut di malam hari. Tanpa jejak. Tanpa bayangan. Dan sejak saat itu, aku mulai gila mengejar bayangaanmu. Tetapi semakin aku kejar, semakin aku tertipu oleh kenyataan. Mungkin memang harusnya berakhir seperti ini. 

Sabtu pagi yang kelabu ini, aku bersiap menghadapi segala kemungkinan yang terjadi. Termasuk kemungkinan kau tidak akan pernah kembali. Aku sudah  sangat  siap.

Aku menyalakan mesin mobilku dan baru menginjak persneling ketika tiba-tiba smartphoneku berbunyi. Ada pesan singkat darimu. Kau menungguku di Wine Bar dekat museum kota. Tanpa berpikir panjang, aku segera memasukkan gigi satu kendaraanku dan memacunya dengan kencang.

***

Wine Bar lantai dasar.

Siluet tubuhmu sudah tampak bahkan ketika aku baru memarkir kendaraan. Kau memilih tempat duduk tepat seperti pertama kali kita bertemu dulu. Lima tahun yang lalu. Tempat duduk exclusive di dekat jendela, spot favoritmu yang kemudian menjadi spot favoritku. Kau menggunakan setelan kemeja kerja yang sengaja kau gulung sampai sebatas siku. Tangan kananmun sibuk dengan gelas wine berisi cairan berwarna merah yang hanya kau pandangi saja, yang aku yakin itu adalah Cabernet Sauvignon. Wine kesukaanmu.

Tetapi kali ini aku datang dengan pesanan wine yang berbeda. Warnanya tidak semenyala Cabernet Sauvignon favoritmu. Aku memilih Cabernet Merlot yang berwarna vibrant purple dengan aroma manis blackberry dikombinasi dengan rasa mint dan milk chocolate oak. Perpaduan yang sempurna.

Kau masih diam ketika aku datang dan duduk di hadapanmu. Tanpa  suara, meminimalisir ggerakan. Aku masih terdiam menunggu aba-aba darimu. Hanya keheningan yang berbicara.

Kau berusaha menyembunyikan wajah frustasimu.  Tetapi kau keliru, aku  sangat tahu apa yang terjadi denganmu. Empat tahun bersamamu sudah bisa dijadikan jaminan  bahwa aku tahu segalanya tentangmu. Segalanya.demikian pikirku. 

Tetapi aku tidak tahu bahwa selama empat tahun hidup bersamaku, kau memendam sesuatu yang sangat berat. Kau tidak ingin mengungkapkannya karena kau tidak ingin menjadi beban untukku. 

Siang itu di Wine Bar kau bercerita semua. Tentang masa lalumu, tentang  hidupmu sebelum kau bertemu denganku. Sebelum kau bertemu dengan Jeff, sahabat baikku yang sekaligus menjadi bosmu di perusahaan ternama di kota ini. Kau bercerita segalanya  hingga tanganmu gemetar, lantas aku segera memelukmu dan tangis kita pecah. Aku memelukmu sangat erat karena aku tahu selama ini kau sedang berpura-pura menjadi semmpurna untukku. Kau bahkan mulai berpikir bahwa menjadi Raja dari Ratu yang sempurna sepertiku adalah hal yang sangat melelahkan. Tetapi kau bertahan, karena bersamaku kau bisa menjadi orang terkuat di semesta. Karena bersamaku, membuat hidupmu lebih aman meskipun kau tidak  pernah sekalipun membagi beban hidupmu kepadaku. Kau melakukannya hanya semata kau mencintaiku. 

Mencintai diriku yang plain, bukan diriku yang exclusive seperti yang orang lain lihat

Aku tidak berhenti memelukmu, air mataku semakin banyak membanjiri kemeja merah maroonmu. Aku terus menangis dan kau terus mengelus lembut rambutku, sama seperti yang pernah kau lakukan kepadaku dulu.

Hati kita sama-sama patah. Tetapi lantas kita mengembalikannya dan membalutnya dengan perban seadanya. Dengan tangan kita sendiri. Tanpa bantuan orang lain.

Ketika kau bertanya mengapa aku masih menerimamu kembali dengan kondisi seperti itu, aku hanya diam.

Tetapi kau berdiri dan ingin beranjak pergi.

“Tidak ada alasan untuk menerimamu kembali, Rey. Karena sebenarnya tidak ada alasan untuk kita berpisah”. Aku mengucapkannya sambil menutup mata karena air mataku sudah sangat manja.

Langkahmu terhenti, kemudian entah apa yang terjadi. Aku merasa tubuhku seketika hangat. Kau memelukku sangat erat.

Kemudian kau mengeluarkan sesuatu dari tas kerjamu. Sepasang sikat gigi lain yang  juga berbentuk aneh. Kita berdua seketika tertawa dan kau berkata, 

“Menjadi Raja untuk Ratu yang sempurna sepertimu memang melelahkan. Tetapi setidaknya aku masih unggul satu hal, perlombaan sikat gigi”.

Siang itu, aku belajar satu hal bahwa untuk bersama tidak harus dengan pesanan wine yang sama. Untuk duduk berdua bersamamu dengan kemeja  kerja yang  acak-acakan dan dengan sepasang sikat gigi aneh, sudah  lebih dari cukup. 

Aku  mencintaimu, Rey.
 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hai Januari

Hai, Januari. Bulan suciku. Bulan dimana aku 22 tahun yang lalu hanya seonggok daging yang bisa jadi dihidupkan. Atau bisa jadi kehidupan itu dibatalkan. Januari berbekas seperti sisi luka yang tidak pernah mereka tahu. Mereka hanya melihat, tidak menatap tajam. Mereka hanya lewat, tidak merapat. Bulan yang penuh hujan air mata. Ah, andai aku bisa membendungnya. Sedikit saja agar mata ini tidak membengkak kemudian mengumbar tanya. Ada apa dengan matamu? Kemudian aku buru-buru membungkusnya dengan kerutan senyum yang aku buat sendiri. Sembari mengucapkan aku tidak apa-apa versiku sendiri. Hai, Januari. Kau ingat lilin yang meleleh di pelataran tart mewah itu? Kau ingat bungkusan indah yang terbalut pita biru muda yang anggun? Aku masih mengingatnya, tetapi seingatku aku telah lama membuangnya. Bagiku semua itu sudah tidak ada pengaruhnya pada hati yang mulai meradang ini. Radangnya sudah bercabang, hingga membentuk kubangan luka yang ku sebut...

It's Just for Nothing

KARENA SEMUA INI PERCUMA. Percuma. Percuma setiap hari aku berharap kau membaca semua tulisanku. Percuma setiap saat aku berharap kau akan sadar bahwa aku ada untukmu. Percuma setip waktu aku berharap kau akan datang kepadaku. Benar-benar payah. Lebih baik aku lepaskan saja sosokmu itu. Yang dahulu merogoh masuk ke dalam jiwaku dan menembus menguliti dinding hatiku yang kelam. Sudah tidak berarti saat ini. Sudah tidak berpengaruh lagi. Hari ini aku putuskan untuk tidak lagi menjadi manusia menyedihkan bernama diriku. Bukankah seharusnya cinta itu diperjuangkan berdua, bukan sendiri? Aku terbahak dalam imajiku sendiri. Mengumpat pasrah tentang paradox rasa yang hingga saat ini masih susah aku cerna. Aku tersedak dalam stigma-stigma yang bahkan aku sendiri tidak paham tentangnya. Aku tersudut di ujung pikiranku yang tumpul. Aku tersisih di penghujung hatiku yang kian membeku.  Aku terbawa arus hingga ke seberang dan aku tidak mampu berenang, pun menyelam. Sem...

Pesan Singkat

12 November 2014 Tuhan, aku malu. Aku malu memandang wajah teduh yang menyilangkan senyum pasi itu. Aku malu melihat senyum yang sebaiknya tidak pernah kulihat itu. Aku terlampau malu hingga aku hanya bisa memandang jari kakiku sendiri. Tuhan, bolehkah aku melihatnya sekali lagi? Sebelum aku mengurung semua uap-uap memoar ini dalam bingkai kenangan? Hari ini aku berpikir kau tidak akan datang. Satu, dua, tiga, dan aku terus menghitung hingga detik ke sekian ribu. Aku masih saja belum mencium aroma tubuhmu. Aku kembali menghitung, dan pada hitungan kesekian aku teringat kembali serentetan kejadian yang seharusnya tidak pernah terjadi. Yang seharusnya tidak pernah berubah menjadi kenangan yang hanya akan usang dan berdebu seperti aroma rumah tua yang ditinggalkan penghuninya.  Aku kembali duduk santai di tempat duduk dimana aku mengerjakan tugas akhirku. Ada hasrat menghubungimu, tetapi untuk keperluan apa? Aku bahkan bukan partnermu. Aku hanyalah wanita dengan bol...