Langsung ke konten utama

Mom



Mom, doakan aku ya. Semoga aku bisa kembali mengukir kenangan kita yang sempat ternodai selama beberapa tahun ini.

Mom, kau masih ingat dulu aku sering sekali protes kepadamu. Protes perihal rambutku yang selalu panjang dan selalu kau kuncir ekor kuda. Aku sebenarnya bosan memiliki model rambut seperti itu. Setiap hari selalu menggunakan model rambut yang sama. Aku sempat mengajukan proposal pemotongan rambut, tetapi kau tolak mentah-mentah. Alasanmu tidak cukup ku mengerti. Kau bilang gadis yang anggun harus memiliki rambut panjang, biar terlihat semakin  cantik. Padahal aku ingin sekali menjadi jagoan dan berkelahi dengan temanku yang resek itu (sebut saja namanya Rio). Aku ingin membuktikan bahwa gadis kecil sepertiku juga bisa menjadi kuat dan sangat sanggup menghajar siapa saja yang selalu menghinaku. Tetapi, kau tidak pernah membiarkan hal itu terjadi.

Aku dulu berpikir bahwa kau adalah orang yang paling baik di dunia, bahkan di seluruh semesta raya. Karena kau tidak pernah sekali pun mengeluh tentang hidupmu. Meski aku tahu, kadang kau menangis dan membelakangi tidurku. Kau ingat kan dulu aku tidak pernah bisa tidur tanpa dirimu. Bahkan, aku tidak pernah membayangkan bahwa aku akan berpisah denganmu. Tidak akan, batinku membenarkan.

Kau tidak pernah menunjukkan rasa sedih itu yang bagaimana, rasa sakit itu yang seperti apa. Kau tidak pernah sekalipun menunjukkannya kepadaku. Karena itulah aku mengira hidup adalah tentang kebahagiaan dan hanya tentang perihal menghabiskan stok uang di dompetmu. Itu saja.

Tetapi, semakin aku dewasa, semakin aku sadar bahwa kita hidup dalam keluarga yang sedikit aneh. Aku memiliki Dad, aku memiliki kau, dan aku bahkan memiliki kakak dan adik tetapi aku tidak pernah merasakan sebuah kebersamaan. Entah sejak kapan, masing-masing dari kita memutuskan untuk mencari kebahagiaan sendiri-sendiri. Lantas, pergi.

Dan hingga saat ini, aku masih menunggu waktu yang tepat untukku bersatu bersamamu kembali. Tanpa air mata, tanpa ratap penyesalan, dan juga tanpa beban yang tertahan-tahan. Aku ingin melepaskan semua jerat yang membuat langkah kita terganggu, yang membuat setiap hembusan nafas kita tersengal, dan yang membuat senyum kita muncul dengan paksaan. Aku ingin melepaskannya.

Mom, aku merindukanmu. Entah apa yang aku rindukan terhadap sosokmu itu, apa mungkin terlalu banyak hal yang aku rindukan sehingga aku bahkan tidak sanggup menyebutnya satu per satu. Aku hanya ingin kau kembali. Suatu saat nanti.

Mom, kau bahkan tidak pernah marah kepadaku. Sama sekali tidak. Kau selalu memberikan pilihan hidupku 100% kepadaku, karena kau bilang bahwa ini semua adalah hidupku. Yang berhak menentukannya adalah diriku sendiri. Kau bahkan mengizinkan aku menjalin kasih dengan pemuda yang berbeda keyakinan denganku. Tetapi, ketika aku dicampakkan, kau lantas tidak meninggalkanku begitu saja. Kau tetap menerimaku apa adanya. Kau tetap membesarkan hatiku. Kau juga masih sempat berkata bahwa aku adalah wanita cantik yang akan mendapatkan hati pangeran tampan suatu hari nanti. Kau bahkan mengucapkannya di saat kau tahu bahwa putrimu ini tidak lebih cantik dari orang lain.

Mom
Mom, sekarang aku paham tentang alasanmu tidak pernah membiarkanku memiliki rambut pendek. Aku ternyata terlihat lebih anggun dengan potongan rambut hitam panjangku. Ada beberapa hal yang akhirnya bisa aku pahami dan bisa aku mengerti dengan baik setelah aku beranjak dewasa dan bisa merasakan apa yang kau rasakan. Termasuk pertanyaanku yang dulu, tentang apakah aku sanggup hidup tanpamu dan tidur tanpamu. Jawabannya sangat jelas, aku bisa melakukannya. Ternyata aku sanggup. Dan aku takjub. Entah kenapa semua yang kau katakan saat aku masih kecil dulu, seakan berubah menjadi kenyataan. Kau seperti Ibu Peri yang mengucapkan mantra ajaib dan zim zalabiiim, semua itu benar-benar terjadi. Dan lagi, kau tidak berhenti memeberiku mantra-mantra ajaib yang sangat hebat.

Mom, kau tidak pernah ikut merayakan ulang tahunku. Bahkan saat usiaku menjelang 22 tahun. Kau selalu absen. Tetapi, aku tidak berhenti menceritakan setiap tindakan konyol sahabatku dan kejutan luar biasanya. Kau ikut senang ketika aku senang. Tetapi kau akan menjadi orang pertama yang menangis ketika aku bersedih. Karena alasan itu, aku tidak pernah menceritakan apa yang aku alami kepadamu. Aku tidak ingin membuatmu merasa menjadi Ibu yang tidak berguna. Bagiku, kau adalah segalanya.

Mom, kau masih ingat kejadian tahun lalu? Ketika secara tiba-tiba kau mengirimkan pesan singkat kepadaku dengan isi yang sangat mengharukan. Saat itu aku sedang berada di tempat makan bersama temanku. Tiba-tiba tanganku gemetar dan handphoneku jatuh ke lantai. Lantas aku berurai air mata. Kau berkata bahwa selama ini kau belum bisa menjadi sosok Ibu yang baik, yang memenuhi segala keperluanku, yang setia menemaniku, dan yang tidak membebaniku. Kau meminta maaf atas semua hal itu. Dan lagi, kau meminta maaf sambil menyalahkan dirimu sendiri. Kau menyalahkan dirimu yang pergi nmeninggalkan kami. 

Mom, bagiku kau selalu ada di sampingku, sama sekali tidak pernah jauh. Jarak kita hanya 100 km dan bisa ditempuh dengan kendaraan jenis apapun. Bagiku kau tetap di sini. Mengawasiku ketika aku belajar, menemaniku ketika aku pulang bekerja di malam hari, dan kau senantiasa terbaring di sampingku ketika aku tertidur. Tidak pernah berubah.

Mom, kau satu-satunya orang yang dengan gigih membantu mewujudkan mimpiku. Meskipun kau tahu, mimpi anakmu ini sudah kelewat batas. Aku harusnya sadar, jika aku terus-terusan memaksakan kehendakku, aku justru bisa membuatmu kecewa. Tetapi kau selalu meyakinkanku, bahwa impianku adalah hak yang pantas aku peroleh. Kau selalu menyalahkan dirimu sendiri atas penderitaan hidup yang aku rasakan. Mom, ini semua sama sekali bukan salahmu. Tuhan telah mengaturnya untuk kita. Agar kita senantiasa berjalan beriringan sambil menguatkan pundak masing-masing. Agar kita senantiasa berbagi senyum di saat kenyataan pahit menyapu halaman rumah kita.

Mom, kau setia mendukungku menjadi penulis. Kau juga orang pertama yang mendukungku untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi di saat Dad meruntuhkan semua itu. Bahkan, kau berjanji kau akan akan mengusahakan apapun untukku. Tetapi, izinkan aku berhenti di sini dan mulai menata kembali apa yang selama ini berantakan. Izinkan aku untuk memulai lagi dari awal sesuatu yang sejak dahulu tidak pernah dimulai, karena memang tidak ada yang berusaha untuk memulai. Gelar Master bukan lagi menjadi tujuan utamaku, Mom. Kaulah tujuan utamaku saat ini. Ketika aku tahu Dad tidak  pernah benar-benar menyayangiku, lantas aku harus kembali kemana? Hanya ke pelukanmu, Mom. Setidaknya aku harus membeli rumah kecil-kecilan untuk kita berdua. Mom, aku ingin mengukir senyummu dan mengganti semua rasa pahit itu dengan rasa manis di penghujung hidupmu. Percayalah, suatu saat nanti aku pasti akan mendapat gelar Master itu. Seperti yang selalu kau panjatkan dalam doamu untukku.

Mom, aku benar-benar telah menjadi jagoan sekarang. Sangat jagoan. Bahkan aku sangat takjub ketika aku bisa mengendarai motor lelaki secara autodidak. Aku sangat jagoan karena aku menuruti setiap apa yang kau ucapkan. Aku sangat jagoan dan aku selalu diandalkan oleh teman-temannku. Mereka menamaiku Walker. Walker sang penguasa jalanan. Mom, aku sangat bahagia ketika hidupku berguna bagi orang lain. Aku sangat lega ketika apa yang aku usahakan mampu meringankan beban orang lain. Karena itu, jangan salahkan aku jika aku sering keluar bersama teman-temanku, Mom. Aku melakukannya bukan karena apa-apa, hanya karena mereka membutuhkan uluran tanganku dan mereka percaya kepada anakmu. Aku percaya kau tidak akan menilaiku seperti orang-orang diluar sana menilaiku.

Mom, I owe your life. 

Rosalie.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hai Januari

Hai, Januari. Bulan suciku. Bulan dimana aku 22 tahun yang lalu hanya seonggok daging yang bisa jadi dihidupkan. Atau bisa jadi kehidupan itu dibatalkan. Januari berbekas seperti sisi luka yang tidak pernah mereka tahu. Mereka hanya melihat, tidak menatap tajam. Mereka hanya lewat, tidak merapat. Bulan yang penuh hujan air mata. Ah, andai aku bisa membendungnya. Sedikit saja agar mata ini tidak membengkak kemudian mengumbar tanya. Ada apa dengan matamu? Kemudian aku buru-buru membungkusnya dengan kerutan senyum yang aku buat sendiri. Sembari mengucapkan aku tidak apa-apa versiku sendiri. Hai, Januari. Kau ingat lilin yang meleleh di pelataran tart mewah itu? Kau ingat bungkusan indah yang terbalut pita biru muda yang anggun? Aku masih mengingatnya, tetapi seingatku aku telah lama membuangnya. Bagiku semua itu sudah tidak ada pengaruhnya pada hati yang mulai meradang ini. Radangnya sudah bercabang, hingga membentuk kubangan luka yang ku sebut...

It's Just for Nothing

KARENA SEMUA INI PERCUMA. Percuma. Percuma setiap hari aku berharap kau membaca semua tulisanku. Percuma setiap saat aku berharap kau akan sadar bahwa aku ada untukmu. Percuma setip waktu aku berharap kau akan datang kepadaku. Benar-benar payah. Lebih baik aku lepaskan saja sosokmu itu. Yang dahulu merogoh masuk ke dalam jiwaku dan menembus menguliti dinding hatiku yang kelam. Sudah tidak berarti saat ini. Sudah tidak berpengaruh lagi. Hari ini aku putuskan untuk tidak lagi menjadi manusia menyedihkan bernama diriku. Bukankah seharusnya cinta itu diperjuangkan berdua, bukan sendiri? Aku terbahak dalam imajiku sendiri. Mengumpat pasrah tentang paradox rasa yang hingga saat ini masih susah aku cerna. Aku tersedak dalam stigma-stigma yang bahkan aku sendiri tidak paham tentangnya. Aku tersudut di ujung pikiranku yang tumpul. Aku tersisih di penghujung hatiku yang kian membeku.  Aku terbawa arus hingga ke seberang dan aku tidak mampu berenang, pun menyelam. Sem...

Pesan Singkat

12 November 2014 Tuhan, aku malu. Aku malu memandang wajah teduh yang menyilangkan senyum pasi itu. Aku malu melihat senyum yang sebaiknya tidak pernah kulihat itu. Aku terlampau malu hingga aku hanya bisa memandang jari kakiku sendiri. Tuhan, bolehkah aku melihatnya sekali lagi? Sebelum aku mengurung semua uap-uap memoar ini dalam bingkai kenangan? Hari ini aku berpikir kau tidak akan datang. Satu, dua, tiga, dan aku terus menghitung hingga detik ke sekian ribu. Aku masih saja belum mencium aroma tubuhmu. Aku kembali menghitung, dan pada hitungan kesekian aku teringat kembali serentetan kejadian yang seharusnya tidak pernah terjadi. Yang seharusnya tidak pernah berubah menjadi kenangan yang hanya akan usang dan berdebu seperti aroma rumah tua yang ditinggalkan penghuninya.  Aku kembali duduk santai di tempat duduk dimana aku mengerjakan tugas akhirku. Ada hasrat menghubungimu, tetapi untuk keperluan apa? Aku bahkan bukan partnermu. Aku hanyalah wanita dengan bol...