Langsung ke konten utama

We were Friend



Some people live, some people gone. But, the good news is that’s a not a big deal.

Terkadang hidup ini sangat menggelikan, tidak bisa ditebak. Terlalu banyak teka-teki. Terlalu banyak konspirasi, dan kabar buruknya semakin banyak yang terlibat, maka akan semakin banyak yang akan merasakan sakitnya. Kekecewaan. Pengkhianatan. Apapun sebutannya yang menimbulkan rasa marah, membenci, air mata dan berakhir duka. Seperti itu seterusnya. Terkadang, manusia tidak meiliki pilihan lain. Mereka terus terjebak. Terbuai dengan permainan yang memiliki pola yang sama. When it’s good then it’s good, it’s all good ‘till it goes bad.
     Itulah bedanya aku dengan mereka. Aku bisa lebih awal mengantisipasi sesuatu. Sebelum semuanya terjadi dan berubah menjadi hal yang semakin buruk, dan sebelum aku semakin dalam terjatuh. Maka, aku memutuskan untuk menghentikannya.
      Why you here?” tanyaku antipasti.
      Wanita di sampingku menggeser letak duduknya, mendekatiku. Tetapi tidak sekalipun menatap mataku. Sementara aku menyapukan pandangan ke sisi kiriku, dimana aku tidak harus melihat wajah wanita disampingku itu. Alunan musik dubstep beradu dengan suara tawa, suara bising pengunjung yang sekedar bercakap-cakap di antara hingar bingar suasan pub, dan juga suara beberapa gelas yang bertemu di udara hingga menimbulkan nada melengking. Wanita di sampingku masih tidak berbicara. Dan, aku pikir aku akan lebih bahagia jika wanita di sampingku itu tidak ada.
      I’m sorry, D.” Ucapnya lirih.
     What did you say? I didn’t hear that??!” Aku bertanya setengah berteriak. Puas rasanya membuat wanita itu membatu seperti itu. Setidaknya itulah yang aku rasakan ketika dia melakukan sesuatu yang seharusnya tidak dia dilakukan . . . kepadaku.
     I’m sorry, D. For everything. Sorry to make you upset. Sorry to make you disappointed. I’m so sorry.” Aku bisa melihat air mata meluruh dari kedua sudut matanya. Haish, aku hanya tertawa kecil. Tanganku masih menggenggam gelas yang berisi whiskey. Kemudian aku menjatuhkan gelas tersebut ke lantai tepat di depan matanya.
     Can you see that? That’s broken, Hayley!! And do you think it would be fix with just your sorry say? Did you think it would be easier to make it like it was before?!!!!” Seorang bartender bermaksud menyela kata-kataku tetapi aku berhasil membungkamnya dengan tip yang aku selipkan dari bawah botol whiskeyku. Beberapa pengunjung pub memperhatikan kami. Hayley menangis sambil menundukkan kepalanya dan menggenggam kedua telapak tangannya di pangkuannya.
     We were friend, Hayley!!” lanjutku.
     I trusted you more than anyone else in this entire world. You know because what? Because I don’t have anyone to share with!! But then you screw up anything and make it worst. I can’t take it, Hayley. I can’t take it!!!” 
Rain Outside, Cry Inside
     Wanita yang berada di sampingku itu meraih tanganku, aku terburu melepaskannya dari genggamannya.
     “Now, you see? Everything has changed. No one can’t fix this. Not even you.” Aku beranjak dari meja bartender menuju pintu keluar pub. Seorang penjaga yang bertugas di depan pintu keluar sempat memperhatikanku dan membiarkan aku pergi setelah memastikan aku baik-baik saja. Diluar hujan lebat. Aku tidak sedang membawa kendaraan, aku tahu aku mungkin akan sedikit mabuk sehingga aku tidak mau mengambil resiko dengan berkendara dalam kondisi tidak sadar di malam hari. Aku menepi di sebuah emperan toko tidak jauh dari pub yang barusan aku kunjungi. Tidak ada taxi yang lewat, hujan terlampau lebat. Aku menelfon taxi langgananku, tetapi aku terhubung ke mail box. Sialan.
     Ada beberapa orang yang juga ikut berteduh di emperan toko tempat aku berdiri. Dan, salah satunya adalah wanita itu. Dia tidak menyerah. Wanita yang aku panggil Hayley itu terus membuntutiku sambil terus menangis.
     Why you following me, Hayley?! I don’t even want to see your face.” Ucapku sambil berjalan ke emperan toko lain, berharap Hayley segera lenyap dari pandanganku.
    Aku menghentikan langkah kakiku. Di depan sebuah museum dengan pelataran yang cukup luas untuk sekedar istilah berteduh. Hayley masih berjalan di belakangkum kemudian wanita berhenti tepat di sampingku, kemudian memegang tanganku yang dingin dan berkata,
     I’m sorry I could not be your friend, D.
    “I know it. We were happy. We were sing together. We were mad together. We were drink up together, share everything and protect each other. But, you’ll never be the same in my eyes. So, just leave, Hayley and never come back.” Kali ini aku berkata sambil menangis. Mengesampingkan gengsi. Kemudian Hayley memelukku untuk kali terakhir. Sebelum dia memilih jalannya sendiri. Jalan yang dia tentukan untuk mengkhianatiku sebagai sahabat sekaligus her partner in crime. Sejak pertemuan itu, aku tidak pernah melihat Hayley di sana. Karena bagiku, dia memang tidak pernah ada.


D.
     

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aku ingin pulang......

Pulang. Aku ingin pulang dan menghambur pelukan yang hangat pada siapapun yang kusebut “dia”. Aku ingin pulang dan meletakkan semua kesedihan pada karung kumal untuk kusembunyikan di gudang penyimpanan. Biar tikus dan kecoa menghancurkannya perlahan. Perlahan hingga tanpa sisa, tanpa bekas sedikitpun. Aku lupa arah yang membawaku ke jalan dimana aku kecil adalah Putri Kecil. Aku mungkin akan pulang membawa luka yang lebih parah dari sebelumnya. Tapi aku tidak akan terlihat begitu menyedihkan. Hanya saja aku akan datang dengan kemasan yang berbeda. Menyembunyikan sedikit memar yang tampak. Menyuguhkan senyum manja. Seperti yang sudah-sudah, aku akan mengangkat tinggi-tinggi kepalaku dan tidak akan menunduk lagi.    Pulang. Sudah lama aku tidak merasakan kehangatan roti buatan bunda atau cerita pendek ayah sepulang kerja. Sudah lama hingga aku sadar selama ini aku hanya ditemani nyamuk-nyamuk yang putus harapan. Atau kotak-kotak indah yang dalamnya ternyata hanyalah s...

Now...

Karena hidup adalah sekarang. Bukan kemarin, bukan besok. Dan aku butuh waktu lama untuk menyadarinya. Secuil aku secara tidak sadar mulai hidup kembali dengan kemasan yang baru. Dengan raga yang baru. Dengan ketangguhan yang setiap hari kuamini di setiap doa atas nama orang-orang terkasih. Seperti itulah proses kehidupan, dari sebuah titik hingga menjadi kalimat. Dari sebuah aku sampai menjadi kita. Seperti itulah cara Tuhan menjaga keseimbangan semesta raya dengan rumus empirisnya.  Hidup akan mengikis siapapun yang memilih diam. Yang memilih   menggali lubangnya sendiri. Karena untuk mendaki ketangguhan dibutuhkan sedikit rasa berani. Hanya sedikit, agar manusia tidak menjadi begitu sombong. Hanya sedikit, karena Tuhan menciptakan semuanya sudah pada proporsinya. Tidak kurang. Tidak lebih. Maka, seperti itulah bahagia. Tidak pernah lebih, tidak pernah kurang. Lalu tentang hati, ada password yang harus mereka pecahkan untuk menjajahi hatiku, juga hatimu. Jangan ...

Rindu

Ada rindu yang hanya tanggal secarik tulisan usang. Yang menatapku lekat-lekat di kamar 4x4 dengan harap yang tak lagi hidup. Sudah lama mati. Rindu itu menjelma malam yang dingin yang pasrah dijajah pagi, menjelma awan hitam yang kelihatannya kuat tetapi ketika disentuh hanyalah gantungan asap yang rapuh. Rindu itu semrawut, tidak tertata dengan indah seperti buku cokelat yang kuhadiahkan sebagai kado ulangtahun pada seseorang.  Rindu itu kacau. Semakin kau tahan, semakin manja dan tak tahu diri. Mungkin, di antara aku dan kamu, ada pesan yang belum tersampai. Ada naskah yang belum sempat diketik ulang, ada banyak proposal yang belum sempat ditantangani, dan ada ribuan kata yang belum sempat dideklarasikan. Lalu, jika pagi datang dengan senyumnya, aku mengingat segala ucapan semangat dan selamat pagi yang dulu sering membanjiri kotak masuk phonecellku hingga penuh sesak. Tapi seiring dewasanya pagi, semuanya sepi. Hening. Alam seakan tidak mau berisik karena tak...