Langsung ke konten utama

The Other Glass



Between the bars. Evening Glance. 

Pertama masuk bar baru itu, aku merasa ‘familiar’. Konsep, ornamen, dekorasi, bahkan pemilihan merk tempat duduk dan segala tata letak perabotnya. Its feel so homy. Kemudian aku menemukan sesosok manusia dari masa lampau yang entah karena alasan apa tiba-tiba menginginkan kehadiranku ke bar baru itu.

Josh  : So, long time not se, Rose! How’s life? What about your city of lights? (pria itu tersenyum menggodaku sambil tersenyum licik sedangkan aku buru-buru melemparkan majalah Runway ke arahnya)

Me    : Well, my city of lights were still full of lights, Josh. Maybe. Okay, berhenti menggodaku. So, tell me what’s your point to drag your ex girlfriend here. This place sick me off so much. (Mukaku kusut).

Josh  : Wow!!! Easy, girl. Aahahahhahaha ah akhirnya aku masih kau akui sebagai your ‘ex-boyfriend’ then.

Me    : Sialan.

Josh  : Well, this is my place at the moment, Rose. Aku dan kakakku yang mendesainnya. Dua bulan yang lalu. So, karena studiku sudah selesai aku memutuskan untuk kembali ke sini. Dan, siapa tahu aku bisa berkencan kembali dengan bidadariku.

Me    : Najis, Josh!!! Hey, wait. You said your brother, I mean Rai here too? And, congratulation!!! This is your dream. (Aku tersenyum).

Josh  : Iya, Rai juga tinggal di sini. Tapi saat ini dia sedang membersihkan sisa kekacauannya di negeri seberang.

Me    : No no no no, Rai pasti membersihkan sisa kekacauanmu. I really know you, boy!!! (Kami berdua tertawa).

Josh  : I really love this city, Rose. You know, Sidney may great. But here is miracle for me.

Me    : Welcome home!! And, don’t forget to tell me when Rai come back.

Josh  : Sure, Miss. May I? (Josh memberiku two shots of Merlot, my favourite wine anyway)

Me    : I really glad you here. So, tell me about your girl, I mean your girl at the moment.

Josh  : There’s nothing to tell about, Rose. Maybe. . .

Me    : Wait, don’t tell me kalau semuanya tidak berjalan mulus. Come on, kamu jagonya masalah beginian. Just show me that you’re still Josh Atventa.

Josh  : No, no, it’s not something like that. It was just . . . not working.

Me    : Okay, this girl must be special. Get the point. And now excuse me ‘cause I have to meet someone.

Josh  : Your boy?

Me    : Just somebody that I used to know. He asked me for help.

Josh  : Wow!!! Just be careful, Rosalie Way. His charm might makes you crashed. Again.

Me    : You shut up. I’ll come back here. We’re not done yet. (Aku mengacungkan tangan ke arahnya, tanda ancaman).

Josh  : Ahahahhahahahaha look then, siapa yang tertarik kepada siapa sekarang.

Me    : Damn it, Josh.

Two hours after later. Evening Glance.

Josh, pria dari masa lalu itu masih duduk di tempat yang sama. Sama persis seperti saat aku meninggalkannya untuk bertemu seseorang tadi. Masih di meja yang menghadap ke jendela langsung. Spot favoritnya dari dulu. I know it.

Josh : Wow, my girl already here.

Me    : (Tersenyum tumpul sambil menyeret sebuah bangku mendekat ke arah jendela)

Josh  : So, how? Sukses acara ‘persatuan kembali tali yang putus’-nya? (Pria itu terkekeh).

Me    : (Aku hanya tersenyum, sembari memainkan kunci mobil yang dari tadi aku genggam. Kalut.)

Josh  : Just tell me, ada apa anak muda?

Me    : Hmm, I don’t know Josh. Rasanya aneh. Bertemu dengan seseorang yang in technically has been hurting you.

Josh  : Okay, the way you said ‘has been hurting’, so semua itu masih terjadi sampai saat ini. Dia menyakitimu.

The Other Glass
Me    : I don’t know. I just could not be nice to him. I was in anger. I was in pain. Maybe. Who knows? (Josh menuangkan Merlot ke gelas wine-ku).

Josh  : Do you feel exactly the same way to him when you’re with me? I mean the way you act or the way you talk maybe describe something. For example, you hate me.

Me    : Hey, its different. We broke up because our distance, remember? No, no, I still feel comfort with you. As a friend, as a brother, as everything but couple stuff. We’re done, Josh. And for me, what’s done is done.

Josh  : I know it. Let me guess. Kamu masih berpegang teguh pada prinsipmu yang dulu. Dan, honestly aku salut. Kamu masih sekuat and sesetia dulu dengan segala prinsip hidupmu.

Me    : Begitulah.

Josh  : So, kamu belum bisa melupakan dia? Okay, mungkin kamu benci. But, that’s the sign that you still have something for him, Rose. Am I right?

Me    : No, hmm yes. Maybe. Its feel like. . .  aku sedang berperang dengan sisi lainku. Mungkin, ada belahan jiwaku yang entah di sebelah mana, masih menginginkan kehadirannya. Tapi, diriku yang lain berkata jangan.

Josh  : So, kamu cenderung yang mana?

Me    : Absolutely no, Josh. You know me for more than seven years. Aku tidak akan mengorbankan akal sehatku untuk hal yang sifatnya sementara. Fantasi tentang ‘beautiful sense’ or whatever is it. Okay maybe he’s great in ways, but aku tidak akan mempertaruhkan kepercayaanku untuk orang yang sama dua kali.

Josh  : So, you seem like you don’t give him another try. You know, maybe there’s second chance for him. (Josh mengerutkan kening).

Me    : Okay, listen! I do believe in second chance but I don’t believe that everyone deserve it.

Josh  : Waooooow. You still stay smart. Proud of you.

Me    : It’s not only about the broken heart itself, but it’s also about trust. I do not trust him. No more.

Josh  : So, just move, little girl. Move on!!

Me    : Move on gak harus dengan cari pasangan lain, kan?

Josh  : But, it will you help for sure, Rose. Just try it!

Me    : If the ‘try’ you said mean an experiment, I don’t wanna do stupid experiment when it comes to heart. Just take it or leave it, there’s nothing in between.

Josh  : Then, you will be dead alone, sweetheart.

Me    : Let’s take it this way, Josh. Mungkin kamu benar, kehadiran orang baru akan membantu mengalihkan fokus kita dari let’s say somebody that we used to know. Tapi, coba pikir lagi sampai kapan siklus itu berhenti? Kita bakalan tetep ketergantungan sama orang lain, Josh. And, aku sedang berusaha memustuskan rantai itu. Mungkin bagi beberapa orang aku terlihat sinting. Terlalu drama atau apalah istilahnya anak muda jaman sekarang, but I don’t give a fuck with their opinion. I don’t care. All I wanna do just to save my heart. And the only one who can do that is just myself.

Josh  : But, you need someone who makes you happy, right?

Me    : I may with someone who makes me happy, but I don’t want if my happiness depends on others. That’s it. The key is myself, Josh. And I don’t want to fall to stupid statement about being single is being lone wolf or whatever is that. Like I said, I-don’t-give-a-fuck!!

Josh  : (Meneguk sisa wine-nya dan tersenyum untuk waktu yang sangat lama). It’s seem crazy. Indeed. But, its not totally crazy, Rose. You do the right way. It’s salvage. For your heart. For your soul. I think that Rai should learn something from you. (Josh tersenyum sembari melambaikan tangan, seperti sedang menyapa seseorang).

Me    : Oh my God. That’s Rai.  

Begitulah pertemuanku sore itu. Bersama Josh, mantan sekaligus teman lelaki terbaikku hingga saat ini. Bersama seseorang yang seharusnya sudah aku hapus dari playlist-ku sejak dahulu, sebut saja somebody that I used to know. Kemudian, Rai. Complete with his super electrical smile.

Bagiku, yang berlalu akan berlalu dan memang harus berlalu. Gelas itu harus dikosongkan. Karena jika masih ada sedikit saja sisa dari wine yang lain, rasa wine yang baru tidak akan pernah bisa menggantikan yang lama.

Rosalie Way.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hai Januari

Hai, Januari. Bulan suciku. Bulan dimana aku 22 tahun yang lalu hanya seonggok daging yang bisa jadi dihidupkan. Atau bisa jadi kehidupan itu dibatalkan. Januari berbekas seperti sisi luka yang tidak pernah mereka tahu. Mereka hanya melihat, tidak menatap tajam. Mereka hanya lewat, tidak merapat. Bulan yang penuh hujan air mata. Ah, andai aku bisa membendungnya. Sedikit saja agar mata ini tidak membengkak kemudian mengumbar tanya. Ada apa dengan matamu? Kemudian aku buru-buru membungkusnya dengan kerutan senyum yang aku buat sendiri. Sembari mengucapkan aku tidak apa-apa versiku sendiri. Hai, Januari. Kau ingat lilin yang meleleh di pelataran tart mewah itu? Kau ingat bungkusan indah yang terbalut pita biru muda yang anggun? Aku masih mengingatnya, tetapi seingatku aku telah lama membuangnya. Bagiku semua itu sudah tidak ada pengaruhnya pada hati yang mulai meradang ini. Radangnya sudah bercabang, hingga membentuk kubangan luka yang ku sebut...

It's Just for Nothing

KARENA SEMUA INI PERCUMA. Percuma. Percuma setiap hari aku berharap kau membaca semua tulisanku. Percuma setiap saat aku berharap kau akan sadar bahwa aku ada untukmu. Percuma setip waktu aku berharap kau akan datang kepadaku. Benar-benar payah. Lebih baik aku lepaskan saja sosokmu itu. Yang dahulu merogoh masuk ke dalam jiwaku dan menembus menguliti dinding hatiku yang kelam. Sudah tidak berarti saat ini. Sudah tidak berpengaruh lagi. Hari ini aku putuskan untuk tidak lagi menjadi manusia menyedihkan bernama diriku. Bukankah seharusnya cinta itu diperjuangkan berdua, bukan sendiri? Aku terbahak dalam imajiku sendiri. Mengumpat pasrah tentang paradox rasa yang hingga saat ini masih susah aku cerna. Aku tersedak dalam stigma-stigma yang bahkan aku sendiri tidak paham tentangnya. Aku tersudut di ujung pikiranku yang tumpul. Aku tersisih di penghujung hatiku yang kian membeku.  Aku terbawa arus hingga ke seberang dan aku tidak mampu berenang, pun menyelam. Sem...

Pesan Singkat

12 November 2014 Tuhan, aku malu. Aku malu memandang wajah teduh yang menyilangkan senyum pasi itu. Aku malu melihat senyum yang sebaiknya tidak pernah kulihat itu. Aku terlampau malu hingga aku hanya bisa memandang jari kakiku sendiri. Tuhan, bolehkah aku melihatnya sekali lagi? Sebelum aku mengurung semua uap-uap memoar ini dalam bingkai kenangan? Hari ini aku berpikir kau tidak akan datang. Satu, dua, tiga, dan aku terus menghitung hingga detik ke sekian ribu. Aku masih saja belum mencium aroma tubuhmu. Aku kembali menghitung, dan pada hitungan kesekian aku teringat kembali serentetan kejadian yang seharusnya tidak pernah terjadi. Yang seharusnya tidak pernah berubah menjadi kenangan yang hanya akan usang dan berdebu seperti aroma rumah tua yang ditinggalkan penghuninya.  Aku kembali duduk santai di tempat duduk dimana aku mengerjakan tugas akhirku. Ada hasrat menghubungimu, tetapi untuk keperluan apa? Aku bahkan bukan partnermu. Aku hanyalah wanita dengan bol...