Langsung ke konten utama

Farewel



Ini sama sekali bukan tentang ampas kopi yang tertinggal di cangkirmu yang mahal.
Bukan tentang air hujan yang kau kibaskan dari jas biru tuamu.
Bukan tentang loncatan bunga api yang pernah kita nikmati bersama di dekat museum.
Sama sekali bukan.
Karena aku cukup cerdas untuk kau bodohi sekali lagi.
Aku hanya memandang dari mary-go-round sambil berteriak bahagia.
Sementara kau menghiba.
Minta dilepaskan dari rantai besi yang kau sulam sendiri.
Kau mungkin melihat kebebasan di mataku.
Rumput hijau yang memayungi New Orleans dan juga kuda hitam yang berlari mengejarku.
Dan kau masih terikat dengan ‘entah-mu’ itu.
Kau melihat linangan air hangat dari sudut mataku, air hangat yang tidak lagi menyisakan perih.
Air hangat yang dulu pernah kau tuangkan ke gelas wine-mu dan kau campur dengan Pinot Noir-mu.
Sekarang, bukan lagi seperti itu.
Aku yang mengendalikan permainan, Sayang.
Dan aku akan terus menunggumu.
Kau yang meraung minta dilepaskan.
Sedangkan, aku ingin berjalan-jalan sebentar.
Goergia mungkin.
Atau Athena.
Sedikit merayakan kegembiraan di City of Angels.
Dan jika tidak lupa, aku akan kembali.
‘Melepaskanmu’ secara harfiah.
Jika aku tidak lupa.

Goodbye, My Lover.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tiga Puluh

Hai, sudah berkali-kali aku menemukanmu dalam kabar bisu. Bisu yang hanya aku yang mampu mendengarnya. Sudah selama inikah kita saling melempar senyum masam dan tidak lagi berjabat hati? Oh aku tahu, mungkin ada bagian hati lain yang telah mengoyak hingga mengeluarkan seluruh bagianku di hatimu. Benarkah? Entahlah, aku hanya tidak begitu percaya manusia akhir-akhir ini. Kau tahu? Semenjak kau pergi dalam sumur yang ku gali sendiri waktu itu, aku sering termenung dan memandang dalam-dalam sumur itu. Berharap kau muncul dengan bentuk lain yang lebih menyenangkan untuk hatiku. Tetapi, kita bahkan berada pada dimensi yang tidak sama, tidak pernah merasa satu gelombang atau bahkan satu frekuensi.  Hai kau? Sudah berapa kali kau melalui tanggal 30 bersama Muse-mu yang baru. Bahkan sehari pun aku tidak pernah berhenti memikirkanmu. Memikirkan betapa kejamnya dunia yang menyeret kita hingga hari ini aku bahkan tidak bisa melihatmu. Kau beranggapan aku yang menyakitimu, sedangkan aku...

Put the Gun up, Warrior !!!

Masih terdiam sembari mendengarkan pria paruh baya itu berbicara. Dari gaya bicaranya sudah bisa dipastikan bahwa pria yang tepat duduk di sampingku itu adalah seseroang yang very well-educated . Aku, dengan sikap sopan dan sesekali menatap mata pria itu masih saja terhanyut pada cerita panjang kehidupannya yang terpaksa harus beliau ringkas karena Taman Dayu (tempatku turun dari bis malam itu) sudah cukup dekat. Setelah berterima kasih karena telah membayar ongkos bisku, aku pun pamit. Ah, semoga Tuhan memberkati pria baik yang akhirnya aku tahu adalah seorang dosen di sebuah perguruan tinggi negeri di kotaku itu.  Aku turun dari bis malam, segera menghampiri seseorang yang sedang menghabiskan mocca float -nya di KFC Taman Dayu. Kami duduk berhadapan. Sedikit basa-basi kemudian saling memanjangkan lidah untuk bertukar cerita. Masing-masing dari kami tertawa, serius menyimak, tidak banyak menimpali, lebih banyak mendengarkan. Hal itulah yang selalu aku lakukan jika aku sed...