Langsung ke konten utama

This Morning Was Awesome



Today was like another ordinary day. Bangun pagi (serius, kali ini pagi banget), mandi, menyiapkan sarapan, and then sarapan pagi ditemani credit serial The Original. Aktivitas rutin. Pergi ke kampus, mencari tempat parkir yang masih muat untuk kendaraanku yang satu itu. Kemudian mencari spot yang cocok untuk menunggu seorang teman, ditemani novel yang belum selesai aku baca tentunya. Sungguh, pagi yang seperti biasa.

Aku mencari tempat tepat di depan laboratorium biasa aku bekerja. Di terasnya, aku duduk di sebuah bangku semen yang menghadap langsung ke sisi jalan. Masih terlalu pagi untuk coffee-break, so aku hanya menggenggam bukuku dan untuk beberapa saat lamanya aku tenggelam dalam lamunanku. Tentang tempat itu, tentang apa saja yang sudah aku lakukan di tempat itu selama lebih dari empat tahun, tentang harapan yang dulu pernah terbakar habis di pelataran hati seorang gadis, dan juga tentang pria yang segera memadamkannya. Semua itu terekam dengan baik di memori otakku. Tanpa cacat.

Hari ini aku tidak ada jadwal untuk bekerja di laboratorium. Aku hanya akan menghabiskan waktu bersama temanku dengan obrolan hangat, di saat cuaca sedang cemberut seperti sekarang ini. Awan tebal menggantung di permukaan langit terluar, membuat sinar matahari cukup tahu diri untuk menampakkan batang hidungnya. Tetapi, langit yang sedang cemberut tidak menyurutkan semangat para mahasiswa baru untuk berjalan di trotoar jalan menuju fakultas masing-masing. Untuk menuntut ilmu, katanya. Meskipun pada kenyataannya banyak di antara mereka yang menghabiskan jam kuliah dengan mendengkur di pojokan kelas, sedangkan sisanya sibuk texting dengan orang terkasih hanya untuk mengucapkan selamat pagi. Mungkin, semangat yang masih tinggi lekat pada image mahasiswa baru tahun pertama. Lihat saja, dua atau tiga semester lagi, kau akan lebih memilih menjadi voluntir untuk districk 13 di film Hunger Games. Aku tersenyum kecil, sambil memandangi kaki ramping mereka yang berjalan di atas paving sehingga menimbulkan derapan suara kaki yang kadang teratur, seringkali gaduh, dan tidak jarang menimbulkan suara yang menyatu dengan suasana pagi. Sempurna.

Teman yang aku tunggu belum juga datang. Tidak, bukan dia yang terlambat. Aku memang sengaja datang lebih awal untuk menikmati suasana kampus. Sekedar bernostalgia bersama mendung yang cemberut. Aku juga melihat tukang kebun yang biasa tersenyum kepadaku setiap paginya. Pria paruh baya itu selalu bertanya, Ngapain ke kampus? Kan sudah lulus. Selalu pertanyaan yang sama, bahkan meski sudah aku jawab berkali-kali, tetap saja pria itu menanyakan hal yang sama di pertemuan selanjutnya. Begitulah setiap pagi. Hingga terkadang aku hanya tersenyum kecil sembari memberinya semangat ketika sedang membersihkan jalan dari daun-daun yang gugur atau sampah plastik yang terbang terbawa angin.

Hai, tempat ini benar-benar mean so much for me. Kemudian, beberapa menit kemudian aku melirik handphone-ku, masih pukul 07.53. Aku membuka novelku, menyelesaikan bagian yang belum selesai. Meresapi kata demi kata, terhanyut dalam alur ceritanya, dan tidak jarang tersenyum bahkan tertawa seorang diri. That’s me ketika aku sudah tenggelam dengan duniaku sendiri. Aku akan sedikit ‘lupa daratan’. Sebentar kemudian, teman yang aku tunggu akhirnya datang. Aku langsung menggenggam pergelangan tangannya dan mengajaknya masuk ke laboratorium, lebih tepatnya ke loby laboratorium dan menarik dua kursi kayu kemudian kami duduk berhadapan. Saling bertukar cerita tentang apa yang kami lakukan kemarin. Aku kemarin tidak menemani dia bekerja di laboratorium seperti hari-hari biasanya, sehingga aku bermaksud untuk  melakukan ‘farewel talk’ sebelum dia pulang ke kampung halamannya. let she do familu stuff cause tomorrow is weekend, she needs to gather with her fams.

Kami bertukar cerita cukup lama. Sampai kemudian ada dua orang teman kami yang masih berjuang dengan tugas akhirnya, mengambil kursi kayu dan meleburkan kebersaamaan dengan kami berdua. Kemudian perbincangan tersebut beralih ke kantin di fakultas. Mereka bermaksud sarapan pagi, karena aku sudah mengisi ‘amunisi’ sejak pagi, maka aku hanya membeli sebuah Iced Cappuccino. Perbincangan mengalir begitu saja seolah kita telah lama mengenal. Di meja makan itu, kami tertawa, kami serius menyimak cerita, kami menyampaikan pendapat, dan yang tidak kalah penting lagi, kami merasa ‘ada’.

Yah, kami merasa ada, dan kami merasa hidup. You know, what the most powerful sexy in this entire world? Real conversation. Tema orbolan kami adalah tentang social media dan juga human habit yang mengikutinya. Sebuah trend yang sekarang berubah ke era dimana dunia adalah gadget, dan apapun yang ada bertahan bersamanya maka akan terus bertahan. Seems like teori seleksi alam Charles Darwin. Kami hanya sedikit tidak setuju beberapa manusia yang menjadikan akun sosial media sebagai ‘wajah mereka’ dan yang lebih menyedihkan lagi ‘kepribadian’ mereka. And currently people lack of real communication, real conversation, and real friendship. And, that’s terrible.

Just think about that? Berapa lama lagi kau akan sembunyi di dalam sangkar emasmu, sibuk dengan fake friend yang ada di jejaring sosial dan terlalu takut untuk membuka pintu karena semua orang terlanjur terlena di dalamnya. Let me whisper that your life is outside there, go ahead and you’ll see what’s truly live. Bukan sekedar ‘ada’. And, I really enjoy this real conversation. Sebuah pertemanan yang tidak mengikat, tidak mengharuskan kamu selalu ada atau sebaliknya, because life change the way its change. All we need to do just grow up and be smarter. That’s it.

This morning was awesome. The street, the people, the morning view, the morning catch, the college moments and memories, the morning Iced Cappuccino, and also the morning conversation on the canteen corner.

Regards,
Rosalie.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tiga Puluh

Hai, sudah berkali-kali aku menemukanmu dalam kabar bisu. Bisu yang hanya aku yang mampu mendengarnya. Sudah selama inikah kita saling melempar senyum masam dan tidak lagi berjabat hati? Oh aku tahu, mungkin ada bagian hati lain yang telah mengoyak hingga mengeluarkan seluruh bagianku di hatimu. Benarkah? Entahlah, aku hanya tidak begitu percaya manusia akhir-akhir ini. Kau tahu? Semenjak kau pergi dalam sumur yang ku gali sendiri waktu itu, aku sering termenung dan memandang dalam-dalam sumur itu. Berharap kau muncul dengan bentuk lain yang lebih menyenangkan untuk hatiku. Tetapi, kita bahkan berada pada dimensi yang tidak sama, tidak pernah merasa satu gelombang atau bahkan satu frekuensi.  Hai kau? Sudah berapa kali kau melalui tanggal 30 bersama Muse-mu yang baru. Bahkan sehari pun aku tidak pernah berhenti memikirkanmu. Memikirkan betapa kejamnya dunia yang menyeret kita hingga hari ini aku bahkan tidak bisa melihatmu. Kau beranggapan aku yang menyakitimu, sedangkan aku...

Put the Gun up, Warrior !!!

Masih terdiam sembari mendengarkan pria paruh baya itu berbicara. Dari gaya bicaranya sudah bisa dipastikan bahwa pria yang tepat duduk di sampingku itu adalah seseroang yang very well-educated . Aku, dengan sikap sopan dan sesekali menatap mata pria itu masih saja terhanyut pada cerita panjang kehidupannya yang terpaksa harus beliau ringkas karena Taman Dayu (tempatku turun dari bis malam itu) sudah cukup dekat. Setelah berterima kasih karena telah membayar ongkos bisku, aku pun pamit. Ah, semoga Tuhan memberkati pria baik yang akhirnya aku tahu adalah seorang dosen di sebuah perguruan tinggi negeri di kotaku itu.  Aku turun dari bis malam, segera menghampiri seseorang yang sedang menghabiskan mocca float -nya di KFC Taman Dayu. Kami duduk berhadapan. Sedikit basa-basi kemudian saling memanjangkan lidah untuk bertukar cerita. Masing-masing dari kami tertawa, serius menyimak, tidak banyak menimpali, lebih banyak mendengarkan. Hal itulah yang selalu aku lakukan jika aku sed...

Farewel

Ini sama sekali bukan tentang ampas kopi yang tertinggal di cangkirmu yang mahal. Bukan tentang air hujan yang kau kibaskan dari jas biru tuamu. Bukan tentang loncatan bunga api yang pernah kita nikmati bersama di dekat museum. Sama sekali bukan. Karena aku cukup cerdas untuk kau bodohi sekali lagi. Aku hanya memandang dari mary-go-round sambil berteriak bahagia. Sementara kau menghiba. Minta dilepaskan dari rantai besi yang kau sulam sendiri. Kau mungkin melihat kebebasan di mataku. Rumput hijau yang memayungi New Orleans dan juga kuda hitam yang berlari mengejarku. Dan kau masih terikat dengan ‘entah-mu’ itu. Kau melihat linangan air hangat dari sudut mataku, air hangat yang tidak lagi menyisakan perih. Air hangat yang dulu pernah kau tuangkan ke gelas wine-mu dan kau campur dengan Pinot Noir-mu. Sekarang, bukan lagi seperti itu. Aku yang mengendalikan permainan, Sayang. Dan aku akan terus menunggumu. Kau yang meraung minta dilepaskan. Sedangkan...